Imunisasi HPV dan Paradoks Kebebasan dalam Kapitalisme


Oleh: Noura

Pemerintah Indonesia tengah gencar menyukseskan program imunisasi HPV sebagai upaya pencegahan kanker serviks. Di Kalimantan Timur, Dinas Kesehatan bahkan menggandeng Dinas Pendidikan, Kemenag, dan Kominfo untuk memastikan anak perempuan usia 5–15 tahun mendapat vaksin HPV sebelum tahun 2030. Alasannya sederhana: kanker serviks adalah penyebab kematian tertinggi kedua bagi perempuan, dan vaksinasi dianggap solusi yang paling preventif.

Namun, benarkah vaksin adalah jawaban utama atas masalah ini? Bukankah infeksi HPV sendiri ditularkan melalui hubungan seksual yang tidak sehat—yang ironisnya justru dilegalkan dalam sistem yang menjunjung tinggi kebebasan pribadi?


Akar Masalah yang Tak Pernah Diakui

Virus HPV (Human Papilloma Virus) memang bisa menyebabkan kanker serviks. Tapi bukankah fakta medis juga mengakui bahwa HPV menular terutama melalui hubungan seksual, termasuk hubungan bebas di luar pernikahan? Jika akar masalahnya adalah gaya hidup seksual bebas, mengapa negara justru berfokus pada vaksinasi, bukan pencegahan gaya hidup itu sendiri?

Inilah paradoks sistem kapitalisme sekuler: ia membiarkan masyarakat mengejar kebebasan seksual atas nama hak asasi, tetapi ketika kebebasan itu membawa bencana, negara hadir dengan solusi tambal sulam. Vaksin hanya memperpanjang ilusi keamanan, bukan mencegah bahaya yang sesungguhnya.

Alih-alih mengoreksi budaya pergaulan bebas yang merusak, sistem ini justru terus memfasilitasinya. Edukasi seks tanpa nilai agama, tayangan vulgar, bahkan layanan kontrasepsi remaja—semua ini menjamur dalam kerangka kebebasan. Maka, vaksin HPV pada akhirnya hanya menjadi solusi semu yang menormalisasi risiko akibat kemaksiatan.


Kapitalisme: Ketika Kesehatan Jadi Komoditas

Di balik program vaksinasi ini, terselip kepentingan ekonomi yang tak bisa diabaikan. Industri farmasi global, termasuk produsen vaksin HPV seperti Gardasil dan Cervarix, memperoleh keuntungan miliaran dolar dari distribusi vaksin. Dalam sistem kapitalisme, kesehatan bukanlah hak dasar rakyat, melainkan lahan bisnis yang menggiurkan.

Tak heran jika pendekatan negara terhadap isu kesehatan pun cenderung pragmatis dan bias pasar. Ketimbang membentuk masyarakat yang menjaga kesucian dan akhlak, negara justru sibuk memasarkan vaksin sebagai solusi tunggal.


Islam: Sistem yang Mencegah Bukan Sekadar Mengobati

Berbeda dengan sistem kapitalisme, Islam membangun pencegahan dari akarnya. Alih-alih mengandalkan vaksinasi massal, Islam melindungi perempuan dari penyakit melalui tata pergaulan yang berbasis akidah dan syariat.

Islam mengharamkan zina, bahkan menutup semua jalan menuju ke sana, seperti khalwat (berdua-duaan dengan nonmahram), ikhtilat bebas, pornografi, dan hubungan seksual di luar pernikahan. Allah SWT berfirman: “Dan janganlah kamu mendekati zina, sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk.” (QS. Al-Isra: 32)

Larangan ini bukan hanya bersifat individu, tapi dijalankan oleh negara dengan sistem yang menyeluruh. Dalam Islam, negara wajib:
1. Menerapkan kurikulum pendidikan berbasis akidah,
2. Mengawasi konten publik yang merusak moral,
3. Menegakkan hukum hudud terhadap pelaku zina sebagai bentuk jawabir dan jawazir (penebus dosa sekaligus pencegah kemaksiatan).

Dengan sistem seperti ini, Islam bukan hanya menekan penyebaran HPV, tapi menghapus akar sosial yang menyebabkan penularannya.


Penutup: Solusi Sejati Bukan Tambal Sulam

Sudah saatnya publik mengkritisi paradigma kesehatan yang dibangun di atas pondasi kebebasan sekuler. Vaksinasi tanpa penataan gaya hidup hanyalah bentuk pembiaran terselubung atas pergaulan bebas. Bahkan, bisa menjadi perisai semu yang membuat masyarakat merasa aman untuk terus hidup dalam maksiat.

Islam menawarkan solusi komprehensif yang menjaga akidah, akhlak, dan kesehatan masyarakat. Bukan dengan tambal sulam, tapi dengan sistem kehidupan yang holistik dan bertanggung jawab.

Jika negara benar-benar ingin menyelamatkan generasi dari bahaya kanker serviks, maka jalan satu-satunya adalah meninggalkan sistem liberal dan kembali kepada syariat Islam secara kaffah.

Apakah hukum jahiliah yang mereka kehendaki? Dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada hukum Allah bagi orang-orang yang yakin?” (QS. Al-Ma’idah: 50)




Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.

Posting Komentar

0 Komentar