Krisis Solar di Negeri Berlimpah Migas dan Gaza yang Terjajah: Saatnya Umat Bangkit!


Oleh: Noura (Pemerhati Sosial dan Generasi)

Rabu, 6 Agustus 2025, para sopir truk menggelar aksi unjuk rasa di depan Kantor Bupati Penajam Paser Utara. Mereka mempertanyakan alasan tidak adanya pasokan solar sejak 29 Juli 2025. Kelangkaan ini membuat mereka harus membeli ke pengecer dengan harga tinggi, tanpa ada informasi jelas dari SPBU maupun Pertamina. Para sopir menduga ada oknum yang bermain dalam distribusi solar.

Ironis, di negeri yang kaya cadangan migas, rakyat justru kesulitan mengakses bahan bakar. Masalah ini bukan sekadar urusan teknis distribusi, melainkan buah pahit dari sistem kapitalisme yang menempatkan keuntungan segelintir pihak di atas kepentingan rakyat.

Kapitalisme menjadikan sumber daya alam milik umat—seperti minyak dan gas—dikuasai oleh korporasi, sementara negara hanya bertindak sebagai pengatur distribusi yang seringkali tunduk pada mekanisme pasar. Akibatnya, rakyat di daerah penghasil migas pun harus rela mengantri berjam-jam demi solar, seolah hidup di negeri yang miskin sumber daya.

Fenomena ini mengingatkan kita dengan tragedi yang terjadi di Gaza. Baru-baru ini, Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, terang-terangan menyatakan rencana “pendudukan penuh” Gaza. Padahal, hakikatnya pendudukan Zionis atas Palestina sudah berlangsung 75 tahun, dan Gaza hanyalah satu fragmen dari proyek penjajahan Zionis yang lebih luas. Sumber daya Gaza—dari lahan subur hingga potensi gas alam di lepas pantai—dirampas demi keuntungan korporasi global yang bersekongkol dengan penjajah.

Baik krisis solar di Penajam Paser Utara maupun penjajahan Gaza, akar masalahnya sama: ketiadaan kedaulatan sejati. Indonesia memang merdeka secara simbolik sejak 17 Agustus 1945, tetapi dalam pengelolaan sumber daya strategis, kita masih tunduk pada logika kapitalisme global. Sementara Gaza, yang belum pernah merasakan kemerdekaan sejati, terus menjadi korban agresi dan blokade.

Sejarah mengajarkan bahwa kemerdekaan tidak akan bertahan jika hanya bergantung pada diplomasi tanpa kekuatan. Bangsa ini merdeka karena ada perlawanan bersenjata yang terorganisir. Begitu pula Gaza—pembebasannya hanya mungkin dengan kekuatan militer dan jihad fii sabilillah, yang dipimpin oleh seorang Khalifah sebagai komando tertinggi umat.

Islam memandang bahwa setiap bentuk penjajahan dan penindasan adalah kezaliman yang wajib dihapuskan. Allah berfirman: "Dan mengapa kamu tidak mau berperang di jalan Allah dan membela orang-orang yang lemah, baik laki-laki, wanita-wanita, maupun anak-anak yang berdoa: ‘Ya Tuhan kami, keluarkanlah kami dari negeri ini yang penduduknya zalim, dan berilah kami pelindung dari sisi Engkau, dan berilah kami penolong dari sisi Engkau.’" (QS. An-Nisā’ [4]:75)

Ayat ini menjadi seruan langsung bagi umat Islam untuk membebaskan mereka yang tertindas, baik di Gaza maupun di manapun umat mengalami penindasan. 

"Imam (Khalifah) adalah perisai, di belakangnya kaum Muslimin berperang dan dengannya mereka berlindung." (HR. Bukhari dan Muslim)

Tanpa perisai ini, umat akan terus tercerai-berai, mudah dipecah belah, dan tak memiliki kekuatan menghadapi penjajah maupun penindas.

Inilah saatnya umat Islam menyadari bahwa perjuangan melawan penjajahan—baik dalam bentuk krisis energi di negeri sendiri maupun pendudukan di tanah umat—hanya akan berhasil jika kita bersatu di bawah satu kepemimpinan. Dengan penerapan Islam, sumber daya alam dikelola untuk kemakmuran rakyat, dan kekuatan jihad diarahkan untuk membebaskan setiap jengkal tanah yang dijajah.

Umat Islam Indonesia, yang pernah merasakan getirnya penjajahan, seharusnya menjadi yang terdepan dalam membela Gaza dan menolak segala bentuk perampasan sumber daya. Kemerdekaan sejati hanya akan terwujud ketika kita kembali pada aturan Allah secara kaffah—di bawah naungan kepemimpinan Islam yang mempersatukan.

Wallahu'alam bishawab




Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.

Posting Komentar

0 Komentar