Oleh: Mutiara Aprillia Dzakiroh
Kemiskinan merupakan masalah global yang sangat kompleks, yang sering kali hanya dipahami melalui angka-angka statistik. Salah satu tantangan utama dalam mengukur kemiskinan adalah perbedaan standar yang diterapkan oleh masing-masing negara dan badan internasional. Perbedaan ini menciptakan gambaran yang berbeda mengenai siapa yang termasuk dalam kategori miskin, baik secara nasional maupun global (Tirto, 2024). Artikel ini membahas perbedaan standar kemiskinan antara negara-negara, serta bagaimana sistem ekonomi kapitalisme berperan dalam memperburuk ketimpangan ini.
Perbedaan Standar Kemiskinan Nasional dan Global
Standar kemiskinan yang diterapkan oleh Bank Dunia dan pemerintah Indonesia memiliki perbedaan yang cukup signifikan. Bank Dunia mengukur kemiskinan dengan standar yang lebih tinggi, di mana seseorang yang pengeluarannya kurang dari Rp 113.777 per hari dianggap miskin ekstrem (Liputan6, 2024). Sebaliknya, di Indonesia, garis kemiskinan yang ditetapkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) jauh lebih rendah, yang sering digunakan untuk mengklaim keberhasilan pemerintah dalam menurunkan angka kemiskinan. Namun, angka-angka ini sering kali tidak mencerminkan kenyataan di lapangan. Meskipun seseorang tidak tercatat sebagai miskin menurut standar nasional, kenyataannya mereka mungkin hidup dalam kondisi yang sangat memprihatinkan dan berjuang untuk memenuhi kebutuhan dasar mereka. Menurut laporan dari Bank Dunia, lebih dari 60% penduduk Indonesia hidup dalam kondisi rentan atau miskin, meskipun tidak tercatat sebagai miskin menurut garis kemiskinan nasional (Detik, 2024). Hal ini menunjukkan adanya "kemiskinan tersembunyi" yang tidak terlihat dalam angka-angka yang dipublikasikan (Bank Dunia, 2024).
Manipulasi Angka Kemiskinan dalam Sistem Kapitalisme
Penyebab utama perbedaan standar kemiskinan ini adalah penerapan sistem ekonomi kapitalisme. Dalam sistem kapitalisme, banyak negara memilih untuk menetapkan garis kemiskinan yang lebih rendah agar dapat mengklaim keberhasilan dalam mengurangi kemiskinan. Namun, klaim tersebut sering kali hanya berupa manipulasi angka untuk menciptakan citra positif dan menarik investasi asing. Padahal, kenyataannya ketimpangan sosial dan ekonomi justru semakin tajam, dengan segelintir orang dan perusahaan besar semakin kaya, sementara banyak rakyat yang tetap terperosok dalam kemiskinan meskipun mereka tidak tercatat sebagai miskin menurut standar nasional. Kapitalisme, dengan mekanisme pasar dan dominasi korporasi besar, gagal memberikan solusi yang efektif untuk mengentaskan kemiskinan. Alih-alih memenuhi kebutuhan masyarakat, sistem ini justru berfokus pada akumulasi kekayaan yang tidak merata. Akibatnya, banyak individu yang bekerja keras masih tidak mampu memenuhi kebutuhan dasar mereka. Hal ini menyoroti kegagalan kapitalisme dalam menciptakan kesejahteraan bagi seluruh lapisan masyarakat.
Sistem Ekonomi Islam sebagai Solusi Mengentaskan Kemiskinan
Islam memberikan pandangan yang berbeda mengenai penanggulangan kemiskinan. Islam memandang pemenuhan kebutuhan dasar setiap individu sebagai tanggung jawab negara, bukan diserahkan kepada mekanisme pasar atau korporasi. Negara memiliki kewajiban untuk memastikan setiap individu, terutama yang miskin, mendapatkan akses yang cukup untuk kebutuhan dasar mereka, seperti pangan, sandang, papan, pendidikan, dan kesehatan. Rasulullah ï·º bersabda: "Imam (khalifah) adalah pemelihara dan ia bertanggung jawab terhadap rakyatnya." (HR. Bukhari dan Muslim) (Sunnah.com, 2024).
Hadis ini menggarisbawahi bahwa negara (khalifah) memiliki kewajiban untuk menjaga kesejahteraan rakyatnya, termasuk mengatasi kemiskinan dengan cara yang adil dan merata. Dalam sistem ekonomi Islam, negara tidak hanya berperan sebagai pengatur, tetapi juga sebagai pemelihara yang menjamin kebutuhan dasar rakyat tanpa mengandalkan mekanisme pasar yang sering kali tidak adil.
Penerapan sistem ekonomi Islam menawarkan pendekatan yang lebih inklusif dan adil dalam mengatasi kemiskinan. Negara memiliki peran utama dalam mendistribusikan sumber daya untuk memenuhi kebutuhan rakyat, memastikan bahwa tidak ada yang tertinggal. Ini adalah solusi nyata yang dapat mengurangi kesenjangan sosial dan menghilangkan kemiskinan lebih efektif daripada sistem ekonomi kapitalis.
Kesimpulan
Perbedaan standar kemiskinan antara nasional dan global menunjukkan adanya ketidakcocokan dalam pengukuran yang sering menyembunyikan kenyataan kemiskinan yang lebih dalam. Manipulasi angka kemiskinan dalam sistem kapitalisme sering kali tidak mencerminkan realitas di lapangan. Untuk mengentaskan kemiskinan secara efektif, dibutuhkan sistem ekonomi yang lebih adil, seperti yang diajarkan dalam Islam, yang menempatkan negara sebagai pemelihara kebutuhan dasar rakyat. Hanya dengan sistem yang adil dan merata, kemiskinan dapat diatasi, dan kesejahteraan dapat dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat.
Sumber:
> Tirto, (2024). Penyebab Data Kemiskinan BPS dan Bank Dunia Berbeda
> Liputan6, (2024). Pengeluaran Rp 113.777 Per Hari Masuk Kategori Miskin
> Detik, (2024). Laporan Bank Dunia: 60% Penduduk RI Miskin
> Bank Dunia, (2024). Laporan Bank Dunia
> Sunnah.com, (2024). Hadis tentang Kepemimpinan dalam Islam
Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.
0 Komentar