Oleh : Sherly Agustina, M. Ag. (Penulis dan Pemerhati Kebijakan Publik)
KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) menjelaskan skor Survei Penilaian Integritas (SPI) pendidikan tahun 2024 berada di angka 69,50 atau masuk dalam posisi koreksi. Skor tersebut turun dari skor SPI 2023 yang berada di angka 71. Ada beberapa temuan dari hasil SPI pendidikan 2024 terkait dengan integritas pendidikan di Indonesia, di antaranya ialah kejujuran akademik. Hasil survei menunjukkan bahwa 78 persen sekolah dan 98 persen kampus masih ditemukan kasus menyontek. (Kompas.com, 24-04-2025)
Fakta terbaru kecurangan peserta seleksi dalam UTBK SNBT 2025 menambahkan bukti minimnya integritas dan rusaknya generasi saat ini di dunia pendidikan. Dilansir dari kompas.com, (25-04-2025), ditemukan kecurangan dalam Ujian Tulis Berbasis Komputer Seleksi Nasional Berdasarkan Tes (UTBK SNBT) yang dilaksanakan selama dua hari. Di hari pertama, tim Seleksi Nasional Penerimaan Mahasiswa Baru (SNPMB) menemukan sembilan kasus kecurangan dan di hari kedua ada lima kasus. Ketua Umum penanggung jawab SNPMB, Prof Eduart Dolok mengatakan kecurangan peserta yang hendak melakukan perekaman soal selalu terjadi setiap tahun. Namun, tahun ini makin variatif caranya. Misalnya, ada peserta yang menggunakan kamera dan dipasang di behel (braces gigi), kuku, ikat pinggang, dan kancing yang tidak terdeteksi menggunakan metal detector.
Mengapa Bisa Terjadi?
Sungguh sangat disayangkan, di saat teknologi semakin canggih tidak digunakan untuk kebaikan. Sebaliknya, pemanfaatan teknologi digunakan untuk keburukan salah satunya yang viral terjadi saat ini yaitu mengakali test UTBK SNBT 2025. Hal ini menggambarkan buruknya akhlak calon mahasiswa dan mengukuhkan gagalnya sistem pendidikan dalam mewujudkan generasi berkepribadian Islam dan memiliki keterampilan. Hasil survei SPI oleh KPK di atas menguatkan hal tersebut bahwa banyak siswa SMA dan mahasiswa yang menyontek.
Selain itu, fenomena ini menggambarkan hasil menjadi orientasi, abai pada halal dan haram. Kondisi ini adalah buah dari sistem hidup yang diterapkan saat ini yaitu berlandaskan kapitalisme yang menjadikan ukuran keberhasilan atau kebahagiaan berorientasi pada hasil atau materi an sich. Tak heran, karena memang sistem kapitalisme mengajarkan manusia hanya berburu aspek materi duniawi bukan ukhrawi. Sekularisme yang menjadi dasar kapitalisme membuat manusia tidak menjadikan agama sebagai landasan dalam kehidupan sehari-hari, agama hanya dianggap di ranah privat saja. Untuk mengatur kehidupan dan negara tidak perlu bawa agama.
Tentu miris, berharap out put generasi yang cerdas dan berkualitas namun, budaya curang dan ketidakjujuran masih ada di dunia pendidikan. Generasi yang diharapkan bukanlah generasi yang hanya cerdas secara akal namun, tidak memiliki integritas yang tinggi. Kecerdasan itu penting, kejujuran jauh lebih penting karena kejujuran adalah salah satu modal dalam menghadapi kehidupan. Apalagi jika disatukan kecerdasan dan kejujuran, tentu generasi seperti ini sangat diharapkan.
Pertanyaannya, bisakah lahir generasi yang diharapkan tersebut dalam sistem kapitalisme-sekularisme? Di mana kebahagiaan hanya diukur dengan materi saja. Di mana kesuksesan hanya dinilai dengan berlimpahnya materi. Di mana agama hanya ditempatkan di ranah privasi, bukan dalam semua aspek kehidupan sehari-hari. Apabila generasi memiliki self control (akidah), tentu memiliki integritas yang tinggi karena dia sadar bahwa apa yang dilakukan dilihat oleh Allah dan akan diminta pertanggungjawaban suatu saat nanti di hadapan-Nya.
Islam Melahirkan Generasi Cemerlang
Sementara Islam, menjadikan ukuran kebahagiaan adalah keridaan Allah semata. Negara dalam Islam akan menjaga agar setiap individu senantiasa terikat dengan aturan Allah. Sistem pendidikan Islam berasas akidah Islam mencetak generasi unggul berkepribadian Islam, terikat pada syariat Allah, memiliki ketrampilan yang handal, dan menjadi agen perubahan. Dengan kuatnya kepribadian Islam, kemajuan teknologi pun akan dimanfaatkan sesuai dengan tuntunan Allah, untuk meninggikan kalimat Allah, dan memberikan manfaat yang banyak untuk umat.
Sistem pendidikan dalam Islam memiliki tujuan untuk membentuk generasi memiliki kepribadian Islam, di mana pola pikir dan pola sikap sesuai dengan syariat. Maka, antara ucapan dan perbuatan ada kesesuaian. Paham tentang kejujuran bagian dari hukum syariat, maka perilakunya jujur dan takut melanggar syariat. Selain itu, pendidikan dalam Islam memiliki tujuan agar generasi menguasai tsaqofah Islam dengan baik dan memiliki keterampilan atau skill dalam kehidupan. Belajar diniatkan karena Allah dan bisa memberikan manfaat sebesar-besarnya untuk umat. Terbukti dalam sejarah, lahir generasi para ulama sekaligus ilmuwan yang banyak memberikan manfaat untuk umat hingga saat ini menjadi rujukan dunia. Misalnya, Ibnu Sina ahli dalam dunia kedokteran, menghafal Al-Qur'an sejak usia 10 tahun, memiliki pemahaman yang mendalam tentang ilmu teologi Islam, termasuk ilmu-ilmu syariat dan fikih, dan menulis tafsir pendek pada beberapa ayat dan bab Al-Qur'an.
Dikenal juga Al Farabi seorang filsuf dan ahli matematika yang dikenal dengan pemikirannya tentang filsafat politik dan etika, sering disebut juga sebagai "Guru Kedua" setelah Aristoteles. Keberhasilan ini tidak lepas dari penerapan syariat Islam dalam bingkai Khilafah yang memadukan materi dengan ruh. Melakukan aktivitas diniatkan karena Allah, sadar Allah melihat, berharap pahala dan rida Allah. Sehingga bisa bertanggung jawab atas semua perbuatan yang dilakukan, implikasinya senantiasa hati-hati dalam ucapan dan perbuatan agar tidak melanggar syariat. Hanya sistem Islam yang mampu mewujudkan generasi yang berkualitas dan cemerlang, bahkan pernah menjadi mercusuar dunia. Allahua'lam Bishawab.
Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.
0 Komentar