IKN dan Prostitusi: Potret Buram Pembangunan di Sistem Sekuler


Oleh: Noura 

Bayangkan sebuah kota masa depan. Gedung-gedung tinggi, jalan-jalan lebar, teknologi canggih. Tapi di balik gedung yang menjulang, ada luka sosial yang menganga. Prostitusi online sudah ramai sebelum istana negara dipindahkan. Inilah potret buram Ibu Kota Negara (IKN) yang katanya dibangun untuk masa depan bangsa.

Baru-baru ini, Satpol PP Penajam Paser Utara mengungkap praktik prostitusi yang marak di Desa Bumi Harapan, kawasan IKN. Modusnya memanfaatkan aplikasi MiChat, beroperasi di guest house murah dengan tarif Rp300.000–Rp500.000, dan pelanggan utama adalah para pekerja proyek yang jauh dari keluarga. Para PSK datang dari luar daerah—Makassar, Surabaya, Bandung. Seolah ada jaringan migrasi maksiat yang mengiringi proyek ambisius negara.

Setelah dua kali razia, praktik ini tetap tumbuh. Seperti jamur yang tumbuh subur di lingkungan lembap tanpa cahaya—demikianlah maksiat menyebar ketika tidak ada sistem yang benar-benar mencegah.


Pembangunan Ala Kapitalisme: Materialistik dan Hampa Secara Makna

Inilah konsekuensi pembangunan yang berbasis pada sistem kapitalisme sekuler. Ketika pembangunan hanya dilihat dari kacamata fisik dan ekonomi, maka sisi moral dan sosial dianggap bukan prioritas. Pembangunan infrastruktur berjalan, tapi masyarakat dibiarkan rentan—tanpa arah pergaulan, tanpa kontrol sosial, tanpa aturan yang menjaga kemuliaan hidup.

Allah SWT berfirman: “Barang siapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang fasik.” (QS. Al-Mā’idah: 47)

Dalam sistem sekuler, pembangunan bersifat materialistik dan parsial. Negara tak punya kewajiban untuk menegakkan aturan moral berbasis agama. Maksiat dianggap urusan pribadi, asal tidak mengganggu ketertiban umum. Prostitusi tak dicegah dari akar karena sistemnya memang tak dirancang untuk itu. Padahal, rusaknya pergaulan, menjamurnya konten cabul, lemahnya sanksi, dan ketidakpedulian masyarakat adalah kombinasi dari sistem hidup sekuler yang gagal total. Idealnya harus ada perencanaan menyeluruh, termasuk bagaimana menjaga moralitas masyarakat di tengah perubahan.


Islam: Pembangunan Berbasis Akidah Islam 

Dalam Islam, pembangunan bukan sekadar soal bangunan. Ia harus berpijak pada akidah Islam—menjadikan takwa sebagai landasan. Prostitusi tidak akan tumbuh jika tiga pilar dijalankan: ketakwaan individu, kontrol masyarakat, dan peran negara sebagai penjaga syariat.

Firman Allah SWT: “Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk.” (QS. Al-Isrā’: 32)

Ketakwaan individu yang dibina lewat pendidikan akidah. Islam mengatur sistem pergaulan antara laki-laki dan perempuan sehingga tidak ada interaksi yang tidak syar'i yang dapat membuka celah merebaknya perzinahan.

Kontrol masyarakat melalui amar makruf nahi mungkar. Masyarakat dididik untuk tidak permisif terhadap kemaksiatan, bahkan menjadi penjaga bagi sesamanya.

Negara wajib hadir dengan sanksi yang menjerakan—bersifat jawabir (penebus dosa) dan jawazir (pencegah). 

"Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera.." (QS. An-Nūr: 2)

Islam tidak membiarkan ruang gelap bagi maksiat berkembang. Negara bukan hanya menindak pelaku prostitusi, tapi menciptakan sistem sosial dan ekonomi yang mencegah lahirnya kebutuhan untuk menjual tubuh. 

Jika pilar-pilar ini tegak, maka prostitusi tak akan semudah itu tumbuh di kota manapun—termasuk di kota yang sedang dibangun. Tanpa visi ini, IKN bisa menjadi kota besar yang rapuh di dalamnya.


IKN, Kota Impian atau Kota Kemaksiatan?

Pertanyaannya: IKN mau dibentuk jadi apa? Jika arah pembangunan tak diubah dari akar, maka IKN hanya akan menjadi megaproyek yang menanam benih kerusakan sejak awal.

Sudah saatnya pembangunan tidak hanya dibingkai oleh pertumbuhan ekonomi, tapi juga oleh pertumbuhan nilai keimanan dan ketakwaan. Jika tidak, maka IKN hanya akan menjadi monumen kesenjangan antara kemajuan fisik dan kemunduran moral.

Wallahu'alam




Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.

Posting Komentar

0 Komentar