Satgas PHK Solusi Kapitalisme Atasi PHK


Oleh: Imas Royani, S.Pd.

Presiden Prabowo Subianto membentuk Satuan Tugas Pemutusan Hubungan Kerja (Satgas PHK) sebagai respons terhadap ancaman ekonomi global yang berdampak pada stabilitas ketenagakerjaan nasional. Pembentukan Satgas ini bukan hanya reaksi terhadap PHK yang meningkat, tetapi juga upaya untuk mengubah paradigma hubungan industrial di Indonesia. Langkah ini melibatkan pemerintah, pengusaha, pekerja, dan ahli, menandakan kesadaran kolektif untuk menyelesaikan masalah ketenagakerjaan secara komprehensif.

Namun, keberhasilan jangka panjang Satgas PHK masih dipertanyakan. Pertanyaannya, apakah Satgas ini hanya simbol politik atau benar-benar mampu menjamin masa depan pekerja Indonesia? Tantangannya kompleks, karena masalah PHK tidak hanya berasal dari relasi kerja konvensional yang stagnan, tetapi juga dari transformasi ekonomi global yang cepat. Kebijakan proteksionisme global, misalnya, berdampak pada sektor ekspor dan investasi di Indonesia, sehingga upaya menghindari PHK memerlukan pendekatan yang sistemik dan antisipatif.

Sebelumnya, Presiden Prabowo Subianto juga membuat kebijakan pemberian 60% gaji selama enam bulan bagi karyawan yang di-PHK. Regulasi ini tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) 6/2025 yang merupakan Perubahan atas PP 37/2021 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP). Pasal 21 Ayat (1) PP tersebut menjelaskan pekerja yang terkena PHK yang terdaftar dalam Program JKP dapat menerima manfaat uang tunai setiap bulan dengan besaran 60% dari upah untuk paling lama 6 bulan.

Namun, regulasi ini tidak menyelesaikan masalah karena hanya bersifat sementara, yaitu hanya enam bulan. Sedangkan kebutuhan hidup terus-menerus harus dipenuhi, bukan hanya selama enam bulan. Apalagi mencari pekerjaan baru setelah mengalami PHK bukanlah hal yang mudah. Lebih-lebih jika usia pekerja saat di-PHK sudah tidak muda lagi, tentu kesempatan mendapatkan pekerjaan formal makin rendah.

Pemetaan potensi pasar kerja baru sangat penting untuk memberikan peluang bagi korban PHK. Program reskilling dan upskilling harus dirancang secara strategis, berorientasi pada kebutuhan pasar kerja baru seperti ekonomi digital, energi terbarukan, dan agribisnis modern. Tujuannya bukan hanya membantu korban PHK bertahan hidup, tetapi juga mempersiapkan mereka untuk masa depan.

Saat ini, diskusi yang dilakukan dengan berbagai pihak, termasuk Wakil Ketua DPR RI, Mensesneg, dan perwakilan serikat pekerja, menunjukkan semangat kolaboratif. Salah satu fokusnya adalah memastikan JKP dari BPJS Ketenagakerjaan berjalan maksimal. Diperlukan evaluasi mendalam untuk memastikan program tersebut efektif menjangkau pekerja yang kehilangan pekerjaan secara mendadak dan proses pencairannya mudah dan cepat. 

Satgas PHK juga harus memiliki mandat yang kuat untuk mengeksekusi kebijakan, memberikan rekomendasi langsung kepada Presiden, dan melakukan intervensi pada indikasi PHK massal yang tidak adil. Dibutuhkan unit analisis data ketenagakerjaan untuk mendeteksi gejala awal kerentanan industri terhadap PHK.

Integrasi data perusahaan, status keuangan, dan catatan hubungan industrial ke dalam sistem deteksi dini Satgas PHK merupakan gagasan inovatif. Dengan sistem ini, negara dapat mencegah PHK dengan intervensi kebijakan sebelum krisis terjadi. Contohnya, jika perusahaan mengalami penurunan produksi selama tiga kuartal berturut-turut, Satgas dapat segera turun tangan untuk mencari solusi bersama perusahaan dan pekerja.

Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja (PHI dan Jamsos) Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker), Indah Anggoro Putri, menekankan bahwa Satgas PHK tidak hanya mengurus PHK, tetapi juga langkah antisipatif terkait perluasan kerja. May Day 1 Mei, yang akan dihadiri Presiden Prabowo, menjadi momen strategis untuk mengumumkan visi pemerintah terhadap masa depan ketenagakerjaan Indonesia. (Merdeka online, 21/4/2025).

Kehadiran Presiden harus dibarengi dengan deklarasi komitmen konkret, termasuk reformasi regulasi ketenagakerjaan yang lebih adil, investasi besar dalam pelatihan kerja, dan pembentukan ekosistem industri yang berkelanjutan. Indonesia membutuhkan kebijakan yang berbasis data, berpihak pada masa depan, dan berlandaskan keadilan sosial untuk melindungi pekerjanya.

Jika dikelola dengan visi jangka panjang, Satgas PHK dapat menjadi simbol era baru hubungan industrial di Indonesia, yaitu kemitraan strategis antara pengusaha dan pekerja untuk ketahanan ekonomi nasional. Satgas PHK bukan hanya menangani PHK, tetapi juga melindungi martabat kerja, mengawal keadilan sosial, dan menjaga masa depan bangsa.

Maraknya PHK, selain menunjukkan buruknya iklim investasi di Indonesia, juga membukakan mata kita tentang rentan dan lemahnya posisi buruh dalam sistem kapitalisme. Buruh dalam kapitalisme tidak dianggap sebagai mitra kerja pengusaha, serta tidak dipandang sebagai manusia yang memiliki kebutuhan untuk hidup maupun rakyat yang harus dilindungi oleh negara. Tidak ada anggapan manusiawi bagi mereka.

Dalam kapitalisme, buruh hanya dianggap sebagai faktor produksi sebagaimana bahan baku, mesin, dan alat produksi lainnya. Karena hanya menjadi faktor produksi, ketika perusahaan menghendaki penghentian produksi, baik karena bangkrut maupun relokasi ke negara lain yang iklim investasinya lebih bagus, buruh pun dikorbankan. Tidak di-PHK saja, nasib buruh selalu “di bawah”. Upah yang minimum, tidak ada jaminan kesejahteraan, hak-hak pekerja yang kerap dikebiri, hingga sistem outsourcing yang zalim. Ketika di-PHK, nasib buruh makin marginal. Di dalam kapitalisme, buruh hanyalah faktor produksi sehingga hubungan pengusaha dengan buruh bersifat eksploitatif, sedangkan negara juga abai dalam pengurusan rakyat. 

Berbeda dengan sistem Islam. Di dalam Islam, buruh adalah mitra pengusaha. Keduanya saling tolong-menolong dalam mewujudkan kebaikan sebagaimana perintah Allah SWT.,
ۘ ÙˆَتَعَاوَÙ†ُÙˆْا عَÙ„َÙ‰ الْبِرِّ Ùˆَا لتَّÙ‚ْÙˆٰÙ‰ ۖ ÙˆَÙ„َا تَعَاوَÙ†ُÙˆْا عَÙ„َÙ‰ الْاِ Ø«ْÙ…ِ Ùˆَا Ù„ْعُدْÙˆَا Ù†ِ ۖ Ùˆَا تَّÙ‚ُوا اللّٰÙ‡َ ۗ اِÙ†َّ اللّٰÙ‡َ Ø´َدِÙŠْدُ الْعِÙ‚َا بِ
“Dan tolong-menolonglah kalian dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan.” (QS. Al-Maidah: 2).

Syekh Taqiyuddin an-Nabhani rahimahullah menyampaikan di dalam buku Sistem Ekonomi dalam Islam (Nizhamu Al-Iqtishadiyi fii al-Islam), “ljarah (pengupahan) pada dasarnya adalah upaya seorang majikan (musta’jir) mengambil manfaat (jasa) dari seorang pekerja (ajir) dan upaya seorang pekerja untuk mengambil harta (upah) dari majikan. Artinya, ijarah adalah akad (transaksi) jasa dengan adanya suatu kompensasi.” Berdasarkan hal ini, hubungan buruh dengan pengusaha adalah hubungan yang saling memberi kebaikan. Buruh memberi jasa dan pengusaha memberi upah. Keduanya saling tolong-menolong dalam aktivitas produksi. Kedudukan keduanya setara sehingga tidak ada kezaliman antara satu dengan yang lain.

Sedangkan hubungan negara dengan buruh adalah hubungan ri’ayah (pengurusan urusan rakyat), demikian pula hubungan negara dengan pengusaha. Negara berfungsi sebagai raa’in (pengurus rakyat) sehingga wajib memenuhi kebutuhan pokok rakyat, termasuk buruh, berupa sandang, pangan, papan, pendidikan, kesehatan, dan keamanan. Dengan demikian, tanggung jawab pemenuhan kebutuhan pokok rakyat ada di tangan negara, bukan pengusaha. Rasulullah Saw. bersabda, “Imam adalah pemimpin dan setiap pemimpin akan diminta pertanggungjawaban atas orang yang dia pimpin.” (HR. Al-Bukhari).

Pengusaha tidak ada kewajiban untuk menjamin kebutuhan pokok karyawannya. Kewajiban pengusaha adalah memberikan upah kepada buruh secara layak, sesuai kesepakatan keduanya. Pengusaha wajib menjelaskan segala sesuatu tentang pekerjaan, yaitu deskripsi tugas, upah, jam kerja kepada buruh sehingga terwujud keadilan, tidak ada kezaliman. Rasulullah Saw. bersabda, “Apabila salah seorang di antara kalian mengontrak (tenaga) seorang pekerja maka hendaknya diberitahukan kepadanya upahnya.” (HR. Ad-Daruquthni).

Negara Islam (Khilafah) berperan penting untuk mewujudkan iklim investasi yang kondusif sehingga industri bisa tumbuh dengan baik dan tidak mengalami kebangkrutan. Misalnya, negara akan menghilangkan pungutan-pungutan (pajak, retribusi, dan pungli) yang membebani pengusaha sehingga menghambat pertumbuhan industri.

Jika ada perusahaan yang bangkrut, Khilafah wajib menyediakan lapangan kerja bagi rakyat yang menjadi korban PHK. Ini berdasarkan sabda Rasulullah Saw., “Siapa saja yang meninggalkan harta maka harta tersebut menjadi hak keluarganya. Siapa saja yang meninggalkan utang atau keluarga (yang wajib diberi nafkah) maka itu urusanku dan kewajibanku (penguasa).” (HR. Muslim).

Khilafah akan mengelola SDA, bukan menyerahkannya pada swasta seperti saat ini. Khilafah juga melakukan industrialisasi. Kedua hal ini akan membuka lapangan pekerjaan bagi rakyat. Bagi rakyat yang ingin bertani, Khilafah akan menyediakan lahan dan alat produksi pertanian. Bagi rakyat yang ingin berbisnis, Khilafah akan membantu permodalan dan bimbingan sehingga berhasil.

Dengan demikian, tidak ada rakyat yang hidup kekurangan karena tidak punya atau kehilangan pekerjaan. Semua rakyat akan memiliki pekerjaan dan mampu memenuhi kebutuhan keluarganya berupa sandang, pangan, dan papan. Sedangkan kebutuhan pokok berupa pendidikan, kesehatan, dan keamanan disediakan oleh negara secara gratis.

Dengan pengaturan berdasarkan syariat Islam kaffah, rakyat (termasuk buruh) akan merasakan kesejahteraan yang sebenarnya. Sayangnya saat ini tidak ada satu negara pun yang menerapkan sistem Islam, termasuk Indonesia. Maka menjadi kewajiban kita semua untuk berusaha menegakkannya. Langkah pertama yang harus kita lakukan adalah dengan mengkaji Islam kaffah bersama kelompok dakwah Islam ideologis dan mendakwahkannya di tengah-tengah masyarakat.

Wallahu'alam bishshawab.




Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.

Posting Komentar

0 Komentar