Oleh: Imas Royani, S.Pd.
Belakangan ini, kebijakan kontroversial yang diusulkan oleh Dedi Mulyadi, Gubernur Jawa Barat, tentang mensyaratkan vasektomi bagi pria miskin untuk menerima bansos, memicu perdebatan. Banyak yang mempertanyakan apakah cara seperti ini benar-benar menyelesaikan masalah kemiskinan, atau justru mencederai hak asasi manusia dan martabat individu.
Sebagaimana telah viral beritanya bahwa Gubernur Jawa Barat (Jabar) Dedi Mulyadi berencana menjadikan kepesertaan Keluarga Berencana (KB) sebagai syarat bagi masyarakat untuk menerima bantuan. Dedi mengungkapkan nantinya akan ada berbagai bantuan yang akan diberikan pada masyarakat, seperti sambungan listrik baru, beasiswa, bantuan rumah tidak layak huni, serta bantuan lainnya. Hal ini, kata Dedi, bertujuan agar pemberian bantuan pemerintah, termasuk dari provinsi, lebih merata dan tidak terfokus pada satu pihak atau satu keluarga itu-itu saja.
Kebijakan ini dinilai Dedi sebagai jalan keluar, karena saat ini keluarga tidak mampu banyak yang melahirkan dengan cara operasi sesar, yang per tindakannya sedikitnya Rp25 juta.
"Uang segitu bisa untuk bangun rumah kan. Makannya berhentilah bikin anak kalau tidak sanggup, menafkahi dengan baik," ucap Dedi Mulyadi.
Dedi juga mengungkapkan rencana kebijakan KB itu dalam rapat koordinasi bidang kesejahteraan rakyat bertajuk "Gawé Rancagé Pak Kadés jeung Pak Lurah" di Pusdai Jawa Barat, yang dihadiri oleh Mensos Saifullah Yusuf, Mendes PDT Yandri Susanto, Mendukbangga/Kepala BKKBN Wihaji, Menkes Budi Gunadi Sadikin, dan perwakilan Kementerian Lingkungan Hidup (KLH), guna meminta dukungan.
Dalam rapat tersebut Dedi mengatakan KB, terlebih KB pria berupa vasektomi (Metode Operasi Pria/MOP), akan menjadi syarat untuk penerimaan bantuan sosial, mengingat dari temuannya banyak keluarga prasejahtera ternyata memiliki banyak anak, padahal kebutuhan tidak tercukupi.
"Jadi ketika nanti kami menurunkan bantuan, dicek dulu. Sudah ber-KB atau belum. Kalau sudah ber-KB boleh terima bantuan. Jika belum ber-KB, KB dulu. KB-nya harus KB laki-laki, KB pria. Ini serius. Walaupun saya tidak punya istri, saya berpihak kepada kaum perempuan, tapi perempuan yang memiliki tekad kuat mewujudkan kualitas dan kesejahteraan keluarga," tutur Dedi. (Antaranews, 28/4/2025).
Vasektomi adalah metode kontrasepsi permanen untuk pria dengan cara memotong atau mengikat saluran sperma, sehingga sperma tidak keluar saat ejakulasi. Ini tidak memengaruhi hormon, libido, atau kemampuan ereksi, tetapi membuat pria tidak lagi dapat membuahi perempuan secara permanen (kecuali dalam kasus-kasus reversi yang sangat langka dan tidak dijamin).
Kebijakan ini ditujukan bagi kepala keluarga miskin yang menerima bansos. Mereka akan diminta menjalani vasektomi sebagai syarat keberlanjutan bantuan. Tujuan utamanya adalah mengendalikan laju pertumbuhan penduduk, menekan angka kemiskinan, dan mendorong kesetaraan tanggung jawab KB antara pria dan wanita. Sebab selama ini beban KB lebih banyak diemban oleh perempuan. Vasektomi dianggap lebih aman dan efektif secara jangka panjang dibandingkan kontrasepsi hormonal pada perempuan.
Hal ini sebagai penyesuaian dan pengamalan Pancasila terutama sila kelima, "keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia" agar bantuan bisa dirasakan oleh semua masyarakat, bukan satu keluarga yang itu itu juga. Jika keluarga tak mampu secara ekonomi, maka menambah anak dianggap sebagai beban tambahan. Membatasi kelahiran dianggap sebagai upaya memperbaiki kualitas hidup. Maka dengan mengatur kelahiran di keluarga miskin, negara berupaya mempercepat pengurangan beban anggaran sosial dan pembangunan kualitas SDM.
Tidak heran, sebab itulah watak demokrasi kapitalisme. Apa-apa diukur oleh materi, termasuk kelahiran anak yang sebenarnya diluar kuasa manusia. Bonus demografi tidak disyukuri, malah dianggap sebagai beban. Seolah menutup mata, atau memang matanya telah benar-benar tertutup dari kenyataan pahit negara maju yang kini mengalami krisis kekurangan generasi tersebab minimnya angka kelahiran.
Jika benar tujuannya untuk mempercepat pengurangan beban anggaran sosial dan pembangunan kualitas SDM, seharusnya yang dilakukan adalah mengambil alih semua SDA dan dikelola sepenuhnya oleh negara dimana hasilnya diperuntukkan bagi kemaslahatan umat. Dengan pengelolaan SDA yang benar, negara tidak perlu susah-susah membuat aturan siapa yang berhak menerima bantuan sebab rakyat secara otomatis akan sejahtera. Ini malah mengeluarkan aturan nyeleneh. Mengkaitkan bantuan dengan sterilitas bisa berujung pada eugenika terselubung.
Memang benar KB sementara (misalnya pil, suntik, kondom) boleh asal tidak membahayakan kesehatan dan atas persetujuan suami-istri. Akan tetapi sterilisasi permanen (termasuk vasektomi) adalah haram, kecuali jika ada darurat medis yang jelas dan tidak ada alternatif lain. Jika tidak, maka itu dapat terkategori sebagai pelanggaran HAM. Pria yang disteril tanpa kesiapan mental juga bisa mengalami penyesalan, tekanan sosial, dan konflik keluarga.
Mensterilkan diri secara permanen (seperti vasektomi atau tubektomi) tanpa alasan medis yang dibenarkan, adalah bentuk penolakan terhadap takdir Allah SWT. dan bentuk penyimpangan terhadap tujuan syariat dalam menjaga keturunan (hifzh al-nasl). Jadi, mensterilkan diri secara permanen karena takut miskin dianggap bertentangan dengan akidah tauhid dan tawakkal.
Islam memberikan pendekatan yang jauh lebih beradab dan adil dalam mengatasi kemiskinan. Dalam sistem kekhalifahan Islam, kemiskinan bukanlah masalah individu semata, tetapi juga tanggung jawab bersama, yaitu pemerintah, masyarakat, dan individu itu sendiri.
Islam mengajarkan bahwa rakyat adalah amanah, dan pemimpin adalah pelayan. Bukan dengan menyingkirkan atau mengontrol jumlah penduduk, tapi dengan memastikan setiap individu memiliki akses ke sumber daya yang mereka butuhkan untuk hidup dengan layak.
Islam memandang anak sebagai karunia dan rezeki, bukan beban. Penduduk yang banyak dianggap potensi kekuatan, bukan beban negara. Hal ini ditegaskan melalui firman Allah SWT., “Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut miskin. Kami-lah yang memberi rezeki kepada mereka dan juga kepadamu.” (QS. Al-Isra: 31).
Tidak ada catatan bahwa Khulafaur Rasyidin, Dinasti Umayyah, Abbasiyah, maupun Utsmaniyah memaksakan kebijakan pengendalian kelahiran. Justru mereka mendorong pernikahan dan memperbanyak keturunan. Sebagaimana hadis Rasulullah Saw., “Menikahlah kalian dengan perempuan yang penyayang dan subur, karena aku akan berbangga dengan banyaknya kalian di hadapan umat-umat lain pada Hari Kiamat.” (HR. Abu Dawud).
Alih-alih membatasi kelahiran, kekhalifahan Islam menangani kemiskinan melalui distribusi zakat dan baitul mal secara adil, pemberdayaan ekonomi umat dengan jaminan lapangan kerja, pendidikan, pengelolaan SDA dan tanah negara. Negara juga membuat kebijakan urbanisasi dan pertanian, seperti pemberian tanah gratis oleh Umar bin Khattab kepada yang mau menggarap lahan mati.
Solusi untuk kemiskinan dalam Islam jauh lebih manusiawi dan berkelanjutan, bukan dengan cara yang menghilangkan hak-hak individu. Islam memandang setiap orang memiliki martabat, dan negara bertanggung jawab untuk menjamin kesejahteraan mereka tanpa harus mengorbankan kebebasan dan hak asasi manusia.
Berikut cara kekhalifahan Islam dalam mengentaskan kemiskinan:
1. Zakat
Setiap Muslim wajib mengeluarkan sebagian hartanya untuk membantu yang miskin dan membutuhkan. Zakat bukan hanya kewajiban agama, tetapi juga bentuk solidaritas sosial yang meringankan beban mereka yang kurang beruntung.
2. Wakaf dan Sedekah
Masyarakat dianjurkan untuk memberikan bantuan jangka panjang melalui wakaf, atau sedekah yang dapat membantu orang miskin memenuhi kebutuhan dasar mereka tanpa mengandalkan sistem bantuan negara yang terbatas.
3. Pendidikan Gratis
Islam mengutamakan pendidikan untuk semua, tanpa memandang status sosial atau ekonomi. Di masa kekhalifahan, pendidikan disediakan secara gratis untuk memastikan bahwa setiap orang, termasuk yang miskin, dapat memperbaiki nasib mereka.
4. Baitul Mal
Lembaga keuangan negara yang bertugas mengelola zakat dan sumber daya lainnya untuk kesejahteraan umat. Dana ini digunakan untuk membantu mereka yang membutuhkan, tanpa syarat yang membebani.
5. Sistem Kesehatan yang Merata
Pemerintah Islam bertanggung jawab untuk menyediakan layanan kesehatan yang gratis atau terjangkau bagi seluruh rakyat, terutama yang miskin, agar tidak ada yang terpinggirkan.
6. Kebijakan Ekonomi yang Adil
Islam mendorong pemerataan ekonomi melalui kebijakan yang mendukung penciptaan lapangan kerja, pembangunan infrastruktur, dan pemberdayaan ekonomi rakyat kecil.
Alangkah indahnya hidup ketika Islam diterapkan di seluruh aspek kehidupan. Alangkah sejahteranya di bawah naungan Khilafah. Indonesia bisa asalkan mau mengganti sistem demokrasi kapitalisme dengan sistem Islam. Langkah pertama yang harus kita lakukan adalah mengkaji Islam kaffah bersama kelompok dakwah Islam ideologis dan mendakwahkannya di tengah-tengah masyarakat, tanpa nanti tanpa tapi. In syaa Allah kita pasti bisa. Allahu Akbar!
Wallahu'alam bishshawab.
Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.
0 Komentar