Oleh: Imas Royani, S.Pd.
Panglima TNI menerbitkan Keputusan Nomor Kep/554/IV/2025 tentang Pemberhentian dari dan Pengangkatan dalam Jabatan di Lingkungan TNI. Total ada 237 perwira TNI yang dimutasi, salah satunya Letjen Kunto Arief Wibowo dari Pangkogabwilhan I menjadi Staf Khusus KSAD. Kunto digantikan Laksda Hersan, mantan ajudan Presiden ke-7 RI Joko Widodo (Jokowi) yang menjabat Pangkoarmada III.
Mutasi Letjen TNI Kunto Arief ramai diperbincangkan masyarakat. Karena beberapa hari sebelumnya, ayahnya, Jenderal TNI (Purn) Try Sutrisno, termasuk dalam jajaran purnawirawan yang menelurkan 8 petisi bagi pemerintahan Presiden Prabowo Subianto. Salah satu poinnya adalah pemakzulan Wapres Gibran Rakabuming Raka, yang tak lain adalah putra sulung Jokowi.
Setelah mutasi Letjen TNI Kunto Arief ramai, muncul surat telegram Perubahan Keputusan Panglima TNI Nomor Kep/554.a/IV/2025 tentang Pemberhentian dari dan Pengangkatan dalam Jabatan di Lingkungan Tentara Nasional Indonesia. Selain Kunto Arief, ada 6 perwira lain yang batal dimutasi.
Apa alasan Panglima TNI Jenderal Agus Subiyanto membatalkan mutasi 7 perwira TNI yang ditetapkan pada akhir April 2025? Apakah karena salah satunya Letjen TNI Kunto Arief Wibowo, putra Try Sutrisno, yang saat ini menjabat sebagai Pangkogabwilhan I? Hal itu menjadi pertanyaan banyak pihak yang melihat kejanggalan atas revisi mutasi TNI pada akhir April 2025.
Kepala Pusat Penerangan (Kapuspen) TNI Brigjen Kristomei Sianturi menegaskan revisi mutasi TNI akhir April 2025 bukan dilatarbelakangi unsur di luar organisasi. Revisi mutasi murni kepentingan organisasi TNI.
"Sudah saya tegaskan di awal bahwa mutasi ini tidak terkait apa pun di luar dari organisasi. Jadi bukan karena 'oh kemarin orang tuanya Pak Kunto', tidak. Tidak ada kaitannya dengan itu. Beliau (Try Sutrisno) purnawirawan. Tidak terkait dengan TNI aktif saat ini. Ini sesuai dengan profesionalitas, proporsionalitas dan memang kebutuhan organisasi saat ini," kata Kristomei kepada wartawan dikutip, Sabtu (3/5/2025). (SINDOnews online, 5/5/2025).
Hanya saja tidak semudah itu meredakan keheranan publik. Hal ini tidak berlebihan, sebab banyak pihak yang menyangsikan. Salah satunya adalah Eks Wakil Menteri Luar Negeri RI, Dino Patti Djalal yang melayangkan kritik tajam terhadap pembatalan mutasi Letjen Kunto.
Dino menilai, kebijakan ini penuh dengan kejanggalan, dampaknya tidak hanya kepada lembaga TNI namun juga kepercayaan masyarakat. Di lain sisi, pengumuman mutasi yang dilontarkan dengan tegas harus dibatalkan selang dua hari saja, menunjukkan ada komunikasi yang datang dari 2 arah berlawanan.
"Apapun alasan diatas kertas pembatalan mutasi Letjen Kunto (yang penuh kejanggalan, meresahkan publik & juga internal TNI), nampaknya ini sinyal keras dari Istana bahwa Panglima Tertinggi TNI adalah Presiden Prabowo, bukan pihak lain," tulis Dino Patti Djalal, dilansir X dinopattidjalal, Sabtu, (3/5/2025).
Pegiat media sosial dan sekaligus Eks Sekretaris Kementerian BUMN, Muhammad Said Didu menaruh curiga terkait situasi internal TNI saat ini. Melalui cuitan di media sosial X pribadinya, Said Didu bicara terkait Pemerintahan Presiden Prabowo yang bisa memegang kendali dari TNI.
“Awalnya banyak pihak berpendapat bahwa di awal pemerintahan Prabowo, baru TNI yang sudah ditangan 100 persen. Lainnya masih dikendalikan oleh Geng Solo. Situasi yang terjadi di lapangan justru berbeda. Dimana, kendali dari TNI masih di pegang oleh Geng Solo. Terbukti dari kasus ‘pemecatan’ Letjen Kunto yang sebelumnya juga dilakukan oleh Geng Solo dalam hal ini Jokowi,” tulisnya dikutip Senin (5/5/2025).
Pengamat Kebijakan Publik, Gigin Praginanto, turut memberikan pandangan terhadap pembatalan mutasi para perwira.
"Saya curiga, mutasi para jenderal yang batal sesungguhnya bagian dari kudeta merayap. Pembatalan tersebut sangat kuat hubungannya dengan otoritas Presiden Prabowo Subianto. Gagal total karena menganggap presiden tak bernyali untuk menge'bom' permainan kotor tersebut. Politik sudah demikian merasuk pimpinan TNI sehingga lebih mengedepankan kekuasaan ketimbang profesionalisme. Dalam kondisi seperti ini, percuma memiliki persenjataan hebat karena moncongnya diarahkan ke dalam negeri," kata Gigin dilansir X @giginpraginanto, Senin (5/5/2025).
Dalam mengamini hal ini sudah seharusnya masyarakat membuka mata, telinga, hati, dan pikiran akan kebobrokan sistem yang dipakai saat ini. Stop mengutamakan perasaan dan piguritas karena jika terus-terusan seperti itu sudah dapat dipastikan kekecewaan yang didapat akan semakin besar. Terbukti pemimpin yang dielu-elukan ternyata sibuk dengan urusannya sendiri, sibuk dengan kepentingan golongannya, dan itu bukan rakyat. Hanya bertepuk sebelah tangan.
Sudah saatnya berpaling dari sistem demokrasi kapitalisme dan berlabuh pada sistem Islam. Sebab dalam sistem Islam, setiap individu dibentuk memiliki jiwa pemimpin dan mempunyai kesadaran sesadar-sadarnya akan tanggung jawab sebagai pemimpin.
Rasulullah Saw. bersabda sebagaimana yang dituturkan oleh Ibnu ’Umar, “Setiap kalian adalah pemimpin yang akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya. Seorang amir (kepala pemerintahan) adalah pemimpin bagi rakyatnya, yang akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya; seorang laki-laki adalah pemimpin rumah tangga, yang akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya; seorang perempuan adalah pemimpin atas rumah tangga suaminya dan anak-anaknya yang akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya.….” (HR. Bukhari Muslim).
Menjelang wafatnya, Rasulullah Saw. begitu mengkhawatirkan umatnya, bukan istrinya, bukan pula anaknya. "Ummati...ummati...ummati..." itulah wasiat terakhir beliau. Bahkan beliau bernegosiasi dengan malaikat yang datang akan mencabut nyawanya. Beliau baru ikhlas melepaskan nyawanya ketika telah ada janji pasti dari Allah SWT. bahwa tidak akan ada yang masuk surga dari kalangan umat manapun kecuali setelah semua umat Rasulullah Saw. masuk surga. Maa syaa Allah tabarakaallah!
Sikap seperti itu menular kepada Khulafaur Rasyidin dan para pemimpin sesudahnya. Saat detik-detik terakhir hayatnya, Khalifah Umar bin Khattab diminta umat untuk menunjuk siapa yang layak menggantikannya kemudian Khalifah Umar bin Khattab memberikan 6 nama dan menolak ketika ada sahabat yang mengusulkan agar anaknya yang menggantikan posisi ayahhanda karena sahabat tersebut menilai anaknya layak dan berkompeten. Khalifah Umar bin Khattab menolak bukan karena anaknya bodoh, atau tidak mampu. Beliau menolak karena menghindari kekuasaan warisan atau adanya sangkaan putra mahkota sebagaimana dalam kekaisaran. Beliau sadar betul bahwa keputusan yang beliau ambil saat ini akan dijadikan rekomendasi bagi keberlangsungan Daulah Islam ke depan.
Tidaklah kekuasaan menjadikannya tamak dan serakah sehingga setelah lengserpun berusaha agar kekuasaan tersebut bisa beralih kepada keluarga, kerabat, dan koleganya sebagaimana dipertontonkan hari ini. Para pemimpin dalam sistem Islam faham betul akan hakikat dan tujuan sebuah kekuasaan yang harus dipertimbangkan. Sungguh kehidupan dunia bukanlah tujuan mereka, keridhaan Allah lah yang hendak mereka raih.
Allah SWT. berfirman:
مَنْ كَانَ يُرِيدُ الْعَاجِلَةَ عَجَّلْنَا لَهُ فِيهَا مَا نَشَاءُ لِمَنْ نُرِيدُ ثُمَّ جَعَلْنَا لَهُ جَهَنَّمَ يَصْلاهَا مَذْمُومًا مَدْحُورًا (18) وَمَنْ أَرَادَ الآخِرَةَ وَسَعَى لَهَا سَعْيَهَا وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَأُولَئِكَ كَانَ سَعْيُهُمْ مَشْكُورًا (19)
"Barang siapa menghendaki kehidupan sekarang (duniawi) maka Kami segerakan baginya di dunia itu apa yang kami kehendaki bagi orang yang kami kehendaki dan Kami tentukan baginya neraka Jahanam; ia akan memasukinya dalam keadaan tercela dan terusir (18). Dan barang siapa yang menghendaki kehidupan akhirat dan berusaha ke arah itu dengan sungguh-sungguh sedang ia adalah mukmin maka mereka itu adalah orang-orang yang usahanya dibalasi dengan baik (19)." (QS. al-Israa: 18-19).
Demikianlah sistem Islam mengatur semua urusan kehidupan termasuk pemilihan pemimpin berdasarkan propesionalitas, bukan kekeluargaan atau balas jasa. Hanya dengan penerapan sistem Islam secara kaffah, tentara akan lebih taat dan patuh kepada Allah SWT., Rasulullah Saw., dan pemimpin. Bukan hanya taat pada pemimpin. Tentara akan menjalankan perintah pemimpin ketika perintah tersebut tidak bertentangan dengan hukum syara.
Sudah siapkah Indonesia mengganti sistem kapitalisme yang sudah terbukti kebobrokannya dan segera menggantinya dengan sistem Islam yang sudah terbukti selama 13 abad mensejahterakan tiga perempat dunia dengan limpahan rahmat-Nya?
Wallahu'alam bishshawab.
Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.
0 Komentar