KEMISKINAN TERSEMBUNYI DALAM ANGKA


Oleh : Anita SP.

Siapa yg mau hidup miskin?? tentunya tidak adakan. Apalagi di zaman yg seperti sekarang, semuanya diukur dan dilihat dari seberapa banyak materi yg dimiliki, jika materi atau uang tidak ada maka kita tergolong warga negara miskin dan siap siap untuk mendapatkan perlakuan yan kurang adil di negeri ini. Miris bukan..

Maka dari itu masyarakat saat ini berusaha keras untuk bisa menjadi bahagian orang orang yang tidak miskin. Namun ternyata Kemiskinan tetap menjadi tantangan besar di Indonesia. 

Menurut Bank Dunia (World Bank), lebih dari 60,3% penduduk Indonesia atau sekitar 171,8 juta jiwa, hidup di bawah garis kemiskinan internasional dengan standar US$6,85 per kapita per hari (berdasarkan Purchasing Power Parity/PPP 2017). Standar US$6,85 PPP ini digunakan untuk negara berpendapatan menengah atas (upper-middle income), yang merupakan kategori Indonesia sejak 2023 dengan GNI per kapita US$4.870.

Sedangkan menurut Badan Pusat Statistik (BPS), dengan garis kemiskinan nasional per kapita Rp595.242 per bulan, tingkat kemiskinan di Indonesia pada September 2024 hanya sebesar 8,57% atau hanya sekitar 24,06 juta jiwa. Menurut Kepala BPS Amalia Adininggar Widyasanti, perbedaan perhitungan antara Bank Dunia dan BPS ini wajar karena standar garis kemiskinan yang digunakan oleh masing-masing berbeda (Merdeka, 2-5-2025).

Jika dilihat dari perbedaan data diatas jelas sudah, rakyat Indonesia hanya ada dalam angka angka saja, yg angka angka tersebut bisa saja dibuat sesuai dengan mau tuannya. Dengan kata lain Asal Bapak Senang. Angka yg tertulis hingga mengkategorikan Indonesia sebagai Warga negara yg berpendapatan Upper middle income sangat tidak sesuai dengan fakta yang terjadi di lapangan.

Pada faktanya rakyat Indonesia saat ini masih banyak yg terkategorikan miskin, itu dilihat dari kesulitan mereka dalam mengakses pendidikan dan juga kesehatan. UMR yg ditetapkan oleh negara hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan Rumah Tangga saja, jika ada salah satu anggota keluarga yang terkena sakit parah dan membutuhkan banyak biaya solusi yang kerap dilakukan adalah Hutang.

Begitu juga dengan Pendidikan, Warga miskin dengan materi dan keuangan yang terbatas akan mendapatkan pendiskriminasian di sekolah sekolah yang berkwalitas, yang akhirnya membuat anak anak enggan untuk melanjutkan di sekolah tersebut dan lebih memilih pindah kesekolah sekolah biasa yang padahal dia punya kemampuan diatas rata rata.

Fakta diatas seolah olah membenarkan kalimat "Orang miskin dilarang sakit dan sekolah"

Selain problem kemiskinan , Indonesia juga menghadapi problem ketimpangan ekonomi yang cukup parah. Laporan Global Inequality Report 2022 mengatakan Indonesia adalah negara keenam dengan ketimpangan kekayaan tertinggi di dunia. Empat orang terkaya di Indonesia memiliki kekayaan lebih besar dari total kekayaan 100 juta penduduk termiskin. Data Oxfam (2023) menyebutkan, dalam 20 tahun terakhir, kesenjangan antara yang terkaya dan termiskin di Indonesia tumbuh lebih cepat dibandingkan negara lain di Asia Tenggara.

Jelas, ini menunjukkan bahwa kemiskinan dan ketimpangan ekonomi di Indonesia bersifat struktural. Apa Penyebab utamanya? Penyebab utamanya adalah penerapan sistem Kapitalisme. Sistem kapitalisme memungkinkan akumulasi kekayaan di tangan segelintir elit, sementara mayoritas rakyat kesulitan memenuhi kebutuhan dasar. Kebijakan seperti pencabutan subsidi BBM dan dominasi konglomerasi atas sektor strategis memperburuk kondisi ini.

Di sisi lain, negara yang seharusnya melayani rakyat, sering abai dalam menyediakan pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur. Hal ini menciptakan kesenjangan ekonomi yang sangat parah.

Lalu apakah ada penyelesaiannya??....
-
Cara Islam Mengentaskan Kemiskinan
--
Dalam hal mengentaskan kemiskinan, Islam memiliki sejumlah mekanisme. Di antaranya ;
1. Pengaturan kepemilikan yang adil. Islam mengatur kepemilikan harta untuk mencegah penumpukan kekayaan pada segelintir orang. Al-Qur’an menyatakan, “Agar harta itu tidak hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kalian.” (QS Al-Hasyr [59]: 7).

Oleh karena itu, dalam sistem Islam, sumber daya alam (SDA), seperti minyak, gas, tambang, dan mineral adalah milik umum (al-milkiyyah al-‘aammah) yang wajib dikelola hanya oleh negara untuk rakyat. SDA haram dikuasai oleh individu atau korporasi. Namun, sistem kapitalisme yang diterapkan saat ini telah memperlihatkan sisi gelapnya melalui praktik eksploitasi ekonomi yang terjadi akibat liberalisasi pasar dan privatisasi SDA.

Dalam sistem kapitalisme, kepemilikan dan pengelolaan aset-aset strategis, seperti minyak, gas, air, dan hutan diserahkan kepada individu atau korporasi. Akibatnya yang terjadi adalah akumulasi kekayaan di tangan segelintir orang, sementara masyarakat luas justru kehilangan akses terhadap hak-hak ekonominya. Ini berbeda dengan sistem ekonomi Islam yang menempatkan sumber daya strategis sebagai milik umum. Syekh Taqiyuddin an-Nabhani (2004) dalam An-Nizhâm al-Iqtishâdi fî al-Islâm menegaskan bahwa negara berkewajiban mengelola dan mendistribusikan hasil dari sumber daya tersebut demi kemaslahatan umat. Prinsip kepemilikan umum ini bertujuan mencegah eksploitasi, serta menjamin distribusi kekayaan yang lebih adil dan merata.

2. Dalam Islam, mekanisme seperti zakat, infak, dan sedekah juga memastikan redistribusi dan pemerataan kekayaan di tengah masyarakat.

3. Dalam Islam, setiap lelaki dewasa, terutama yang punya tanggungan keluarga, wajib mencari nafkah. Ini karena Al-Qur’an memerintahkan, “Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya.” (QS Ath-Thalaq [65]: 7).

Menurut Imam Ibnu Katsir, ayat ini memerintahkan individu untuk memenuhi kewajiban nafkah sesuai dengan kapasitasnya (Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, 10/45–48).

Rasulullah saw. juga bersabda, “Siapa saja yang mencari dunia (harta) dengan cara yang halal karena menjaga kehormatan diri dari meminta-minta, untuk mencukupi kebutuhan keluarganya, dan untuk membantu tetangganya, maka ia akan datang pada Hari Kiamat dengan wajah bagaikan bulan purnama.” (HR Al-Baihaqi).

Di sisi lain, agar setiap orang yang wajib bekerja bisa mendapatkan pekerjaan, maka negara wajib menyediakan lapangan kerja bagi mereka. Negara wajib menyediakan lapangan kerja bagi warganya melalui kebijakan ekonomi berorientasi sektor riil, seperti perdagangan, pertanian, dan industri.

4. Jaminan kebutuhan dasar oleh negara. Negara dalam Islam wajib menjamin pemenuhan kebutuhan dasar rakyat (pangan, sandang, dan papan). Negara juga wajib menyelenggarakan pendidikan dan pelayanan kesehatan secara cuma-cuma bagi warganya. Ini karena pemimpin negara (imam/khalifah) dalam Islam bertanggung jawab penuh atas urusan warga negaranya. Rasulullah saw. bersabda, “Imam (kepala negara) adalah pengurus rakyat dan ia bertanggung jawab atas rakyat yang ia urus.” (HR An-Nasa’i).

Semua mekanisme ini hanya mungkin dilakukan jika negara menerapkan syariat Islam secara kâfah dalam seluruh aspek kehidupan. Inilah yang seharusnya diwujudkan, khususnya di negeri ini.

WalLâhu a’lam bi ash-shawâb. []




Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.

Posting Komentar

0 Komentar