Oleh: Intan A.L (Pegiat Literasi Islam)
Hari baru, kisah lama—kecurangan kembali mencoreng wajah pendidikan kita. Miris dan memalukan. Menginjak hari kedua pelaksanaan Ujian Tulis Berbasis Komputer (UTBK), sebanyak 14 kasus kecurangan terungkap, mencerminkan bahwa integritas semakin kehilangan tempat di tengah ambisi akademik. Temuan ini bukan sekadar pelanggaran teknis, melainkan sinyal darurat tentang krisis nilai yang melanda generasi muda. Ketika generasi muda merasa lebih penting untuk lulus daripada jujur, kita patut bertanya: apa yang telah diajarkan sistem pendidikan ini kepada mereka?
Ironisnya, ujian yang seharusnya menjadi ajang pembuktian kapasitas, justru berubah menjadi panggung kelicikan yang disusun rapi. Kecurangan demi kecurangan ini bukanlah kebetulan, melainkan buah dari sistem yang menormalisasi hasil di atas proses.
Ketua Umum Penanggung Jawab SNPMB, Prof Eduart Wolok mengatakan kecurangan peserta yang hendak melakukan perekaman soal selalu terjadi setiap tahun. Namun, tahun ini lebih variatif caranya. Misalnya, ada peserta yang menggunakan kamera dan dipasang di kawat gigi (behel), kuku, ikat pinggang dan kancing yang tidak terdeteksi menggunakan metal detector. Ada juga peserta yang melakukan remote desktop yang dikerjakan oleh pihak lain di luar lokasi ujian (Kompas.com, 25/04/2025). Praktik ini menegaskan bahwa dalam benak sebagian peserta, nilai akhir lebih penting daripada kejujuran. Sebuah mentalitas yang tumbuh subur dalam sistem yang mengabaikan etika dan membiarkan prinsip halal-haram dikalahkan oleh ambisi pribadi. Demi kepuasan materi seolah segala cara sah asal tujuan tercapai.
Pola sikap seperti ini lahir dari pandangan materialis dan kapitalistis. Lantas apa yang bisa diharapkan dari generasi yang dibesarkan dalam sistem yang menjadikan pendidikan sebagai komoditas? Angka lebih dipuja dari akhlak, dan gelar lebih dihargai dari kejujuran. Kita sedang menyaksikan generasi yang dibentuk bukan untuk berpikir, tapi untuk mengejar nilai. Bukan untuk jujur, tapi untuk menang. Inilah buah pahit dari kapitalisme yang menjadikan materi sebagai ukuran segalanya—termasuk kapitalisasi pendidikan. Maka, jangan heran jika praktik curang terus berulang, sebab pendidikan sudah kehilangan maknanya untuk membentuk manusia yang utuh.
Berbeda dengan sistem kapitalis yang berorientasi materi, Islam menjadikan akidah sebagai asas dalam setiap aspek kehidupan, termasuk pendidikan. Dalam sistem pendidikan Islam, tujuan utama bukan sekadar mencetak individu yang cerdas secara intelektual, tetapi membentuk insan berkepribadian Islam—yang pola pikirnya dibimbing oleh syariat, dan pola sikapnya mencerminkan akhlak Rasulullah saw. Inilah sistem yang menyatukan ilmu dan iman, menjadikan kejujuran, amanah, dan tanggung jawab bukan hanya nilai tambahan, tapi fondasi utama.
Sistem pendidikan Islam akan melahirkan generasi yang kokoh kepribadian Islamnya. Generasi yang menjadikan kemajuan teknologi sebagai alat untuk menegakkan kebenaran, bukan sarana untuk berbuat curang. Dalam sistem pendidikan Islam, kemajuan ilmu dan keterampilan berjalan seiring dengan ketakwaan, melahirkan generasi unggul yang berperan sebagai agen perubahan. Sejarah telah membuktikannya—pada masa Bani Abbasiyah, lahirlah ilmuwan dan pemikir hebat seperti Al-Khawarizmi, Ibnu Sina, Al-Farabi, dan Ibnu Haytham. Mereka tidak sekadar menorehkan prestasi dunia, tapi mengabdikan ilmunya demi meninggikan kalimat Allah Swt. menjadikan Islam sebagai cahaya peradaban dunia.
Kini saatnya kita berhenti membiarkan sistem yang rusak mencetak generasi yang lebih rusak. Pendidikan seharusnya bukan ladang mencari keuntungan, tapi taman tempat tumbuhnya akhlak, ilmu, dan kejujuran. Islam telah menawarkan jalan yang berbeda—sistem pendidikan yang berpijak pada akidah, yang membentuk insan yang tidak hanya cerdas, tapi juga amanah dan bertanggung jawab di hadapan manusia maupun Allah Swt. Pertanyaannya sekarang: sampai kapan kita terus bertahan dengan sistem yang terbukti gagal, sementara solusi telah lama ditawarkan oleh Islam?
Maka, inilah saatnya kita membuka mata dan mengakui betapa bobroknya kapitalisasi pendidikan yang hanya melahirkan generasi bermasalah. Sudah cukup kita dipaksa tunduk pada sistem kapitalisme yang mencabut ruh pendidikan dan merusak arah hidup umat. Kini saatnya kita buang seluruh sistem ini tanpa sisa, dan kembali ke pangkuan Islam yang kaffah—sistem yang bukan hanya adil dan manusiawi, tapi juga membawa rahmat bagi seluruh alam.
Wallahu a'lam bishshawwab
Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.
0 Komentar