Dibalik Upaya Penurunan ONH, Ikhlas atau Culas?


Oleh: Imas Royani, S.Pd.

Alhamdulillah ONH sekarang jauh lebih ringan dibanding tahun kemarin. Biaya penyelenggaraan ibadah haji (BPIH) tahun ini rata-rata sebesar Rp89.410.258,79, turun Rp4.000.027,21 dibandingkan BPIH tahun lalu yang mencapai Rp93.410.286,00. Sedangkan biaya yang ditanggung langsung jemaah alias biaya perjalanan ibadah haji (Bipih) sebesar Rp55.431.750,78 (setara 62%). Sisanya disubsidi melalui nilai manfaat yang bersumber dari hasil pengelolaan setoran awal oleh Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH).

Bukan hanya itu. Pemerintah juga berencana akan membangun perkampungan Indonesia. Presiden Prabowo menjelaskan, dengan adanya perkampungan Indonesia di dekat Masjidilharam akan meningkatkan efisiensi anggaran perjalanan haji sehingga biaya haji yang ditanggung jemaah akan menjadi lebih murah (Setkab, 4-5-2025). Prabowo sudah melobi Putra Mahkota Arab Saudi Pangeran Muhammad bin Salman terkait rencana tersebut. Selain sektor penginapan, Prabowo juga memerintahkan adanya efisiensi pada biaya penerbangan dan semua hal yang tidak perlu.

Prabowo juga meminta kepada Menteri Agama Nasaruddin Umar dan Kepala Badan Penyelenggara Haji (BP Haji) Muhammad Irfan Yusuf agar ONH ditekan lagi hingga lebih murah dari Malaysia (4-5-2025). Demi mewujudkan penyelenggaraan haji yang efisien, mulai 2026 penyelenggaraan ibadah haji tidak ditangani oleh Kementerian Agama (Kemenag), tetapi oleh Badan Penyelenggara Haji (BP Haji). 

BP Haji menerapkan beberapa langkah strategis untuk mewujudkan efisiensi dana haji, yaitu maksimalisasi pemanfaatan asrama haji, optimalisasi fasilitas klinik kesehatan di asrama haji untuk layanan umum, pembukaan toko haji sebagai pusat penjualan perlengkapan haji, peningkatan ekspor barang kebutuhan jemaah ke Arab Saudi, pembangunan perkampungan Indonesia, dan penyembelihan hewan dam dan kurban di Indonesia. 

Sedangkan keuangan haji dikelola oleh Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH). BPKH memiliki peran strategis, yaitu penerimaan, pengembangan, dan pengeluaran keuangan haji. BPKH menerima setoran awal calon jemaah haji lalu mengembangkannya. Pada 2025, BPKH menargetkan dana kelolaan sebesar Rp188,86 triliun dan nilai manfaat sebesar Rp12,89 triliun. Selama ini pengembangan dilakukan melalui investasi di Bank Muamalat dan di BPKH Limited, serta penempatan di surat berharga dan sukuk.

Sebelumnya pelayanan haji menjadi tanggung jawab Kemenag dan sekarang sudah menjadi tanggung jawab BPKH. Akan tetapi spirit bisnis, investasi, dan keuntungan tetap ada dalam pengelolaan dana haji. Keduanya sama-sama menjadikan biaya penyelenggaraan ibadah haji (BPIH) sebagai bisnis investasi yang tujuannya mendapatkan keuntungan.

Hal itu bisa kita lihat dari UU 34/2014 yang berkaitan dengan wewenang BPKH. Dalam undang-undang tersebut, BPKH memiliki wewenang untuk mengelola keuangan haji dengan mengembangkannya.

Selain itu, isu mis management dan korupsi pun membayangi penyelenggaraan dan pengelolaan dana ibadah haji. Sebab selama ini tidak ada transparansi terkait besaran dana yang digunakan untuk penyelenggaraan ibadah haji. 

Sehingga, praktik gratifikasi sangat rentan terjadi dari modus mark up besaran biaya per itemnya dan terkait tender proyek. Jemaah pun tidak pernah tahu berapa besaran biaya yang dikeluarkan oleh Kemenag maupun BPKH untuk penyelenggaraan ibadah haji.

Bahkan banyak yang menilai bahwa pelayanan keberangkatan jemaah haji selama ini seperti skema Ponzi. Biaya penyelenggaraan jemaah haji yang berjalan sesungguhnya bukanlah berasal dari uang yang sudah jemaah bayar, akan tetapi bergantung pada pengumpulan dana calon jemaah haji berikutnya.

Hmmm...lagi-lagi ada udang di balik bakwan, hehe! Ujung-ujungnya bisnis lagi. Ternyata pembentukan BP Haji oleh Prabowo adalah untuk merespons perubahan kebijakan yang dilakukan Arab Saudi melalui Visi Putra Mahkota Muhammad bin Salman (MBS) 2030, yaitu pemasukan negara dari sektor nonminyak.

Pemerintah Arab Saudi sangat menggenjot sektor pariwisata, termasuk haji dan umrah. Hal ini berpengaruh pada pengelolaan haji di Arab Saudi yang tidak lagi dilakukan oleh pemerintah, tetapi oleh swasta sehingga berdampak pada praktik komersialisasi haji dan umrah dengan orientasi keuntungan uang semata. Dampaknya, peran muassasah (BUMN) di proses Armuzna digantikan oleh syarikah (perusahaan) tunggal pada 2023 dan diganti lagi dengan multi syarikah pada tahun ini.

Pengelolaan haji oleh Kemenag (sebagai pihak pemerintah/negara) tidak selaras dengan kebijakan komersialisasi haji oleh Arab Saudi. Oleh karena itulah, dibentuk BP Haji yang tidak berbentuk kementerian, melainkan badan, sehingga tidak merepresentasikan negara. Penyelenggaraan haji tidak lagi Government to Government (G-to-G), tetapi Business to Business (B-to-B) yang didominasi motif ekonomi (keuntungan).

Padahal, mahalnya ONH adalah akibat dari pengaturan ibadah haji yang tidak profesional dan teknis administrasi yang rumit. Negara harus menyimpan dana dari setoran awal yang disetor jemaah dan mengembangkannya sehingga butuh lembaga tersendiri dan SDM yang tidak sedikit. Aturan inilah yang membuat antrean berangkat haji menjadi sangat panjang hingga puluhan tahun.

Teknis administrasi yang rumit juga tampak pada penunjukan delapan syarikah pada haji 2025 yang berdampak pada banyaknya jemaah yang terpisah dari rombongan. Bahkan, suami istri atau keluarga bisa berbeda syarikah, padahal banyak di antara mereka yang sudah lansia sehingga butuh pelayanan dari keluarganya.

Pada pelaksanaan haji 2024, ketakprofesionalan itu berdampak pada terjadinya masalah-masalah yang merugikan jemaah. Over kapasitas tenda, jumlah kasur tidak memadai dan penempatan tenda yang tidak sesuai dengan maktab yang ditentukan, adanya jemaah yang tidur di lorong tenda, banyak AC yang mati, dan lamanya antrean toilet di Mina hingga dua jam. Kondisi demikian sungguh tidak ramah bagi jemaah lansia.

Pada 2024 juga terjadi ketakprofesionalan dalam penyediaan makanan. Menu makanan yang 85% karbohidrat tentu tidak baik bagi kesehatan jemaah. Apalagi terdapat makanan yang basi hingga menyebabkan 100 orang jemaah mengalami gejala keracunan seperti diare, pusing, dll.

Miris! Padahal biaya yang dikeluarkan para jemaah tidak sedikit tapi pelayanan yang diterima begitu buruk seburuk sistem yang dipakai saat ini. Dialah sistem kapitalisme. Dalam sistem kapitalisme, ibadah dianggap sebagai kegiatan duniawi yang diarahkan untuk mencapai nilai materi (qimah madiyah). Sejatinya, ibadah mahdhah (ritual) seperti haji ditujukan untuk meraih nilai ibadah (qimah ruhiyah), tidak boleh ditujukan untuk meraih materi. Melayani rakyat dalam urusan ibadah seharusnya merupakan tugas negara sebagai pengurus rakyat (raa’in), bukan malah dikapitalisasi.

Negara tidak mengurus (riayah) penyelenggaraan haji dengan baik demi terselenggaranya kewajiban dari Allah, tetapi malah memanfaatkan setiap momen penyelenggaraan ibadah haji untuk mendapatkan keuntungan. Mulai dari tiket pesawat, konsumsi, penginapan, tenda, akomodasi, dll. semuanya diserahkan pada swasta. 

Kapitalisasi pengelolaan dana haji menunjukkan bahwa negara makin lepas tangan dalam urusan haji. Kapitalisme mengubah fungsi negara yang seharusnya mengurus kebutuhan rakyat menjadi berbisnis dengan rakyat. Negara hanya memosisikan diri sebagai regulator, sedangkan pelaksana sebenarnya adalah swasta, yaitu perusahaan yang mendapatkan tender (kontrak kerja) dari pemerintah.

Berbeda dengan sistem Islam. Dalam Islam, penguasa berposisi sebagai raa’in (pengurus rakyat) sehingga akan berusaha untuk memudahkan urusan rakyat, terlebih dalam penunaian ibadah haji. Negara akan memudahkan jemaah haji dalam meraih nilai ibadah (qimah ruhiyah). Ini sebagaimana sabda Rasulullah Saw., “Imam adalah raa’in (pengurus) dan ia bertanggung jawab atas rakyatnya.” (HR. Bukhari).

Khilafah akan mengatur penyelenggaraan ibadah haji dengan serius sebagai wujud sikap amanah dalam riayah (pengurusan rakyat). Negara akan turun tangan langsung dalam penyelenggaraan ibadah haji dan tidak menyerahkannya pada swasta.

Khilafah akan menyatukan negeri-negeri muslim, baik wilayah Indonesia, Arab, maupun yang lainnya sehingga tempat pelaksanaan ibadah haji adalah wilayah kaum muslim. Oleh karenanya, kebijakan Khilafah terkait penyelenggaraan haji dirancang sesuai dengan aturan (syariat) Islam di bawah keputusan khalifah/kepala negara. Wilayah Makkah tidak berdiri sendiri dengan kebijakan mandiri yang tidak sesuai syariat Islam sebagaimana kondisi di bawah sistem kapitalisme saat ini.

Orientasi kebijakan Khilafah dalam penyelenggaraan haji adalah kemaslahatan jemaah sebagai bagian dari umat Islam. Khilafah tidak menargetkan keuntungan dari penyelenggaraan haji dan tidak ada motif bisnis sama sekali. Negara Khilafah akan membangun sarana dan prasarana yang dibutuhkan jemaah haji seperti jalan, penginapan, penerangan, alat transportasi, dll. demi kenyamanan jemaah yang biayanya diambil dari baitulmal. Baitulmal sendiri memiliki banyak sumber pemasukan, baik dari pos fai dan kharaj maupun kepemilikan umum (tambang dll.). Hal ini akan meringankan biaya haji yang harus ditanggung oleh jemaah. Negara juga mempersilakan warga yang kaya untuk memberikan wakaf dan sedekah untuk fasilitas haji. 

Syekh Abdul Qadim Zallum rahimahullah menjelaskan dalam buku Struktur Negara Khilafah (Pemerintahan dan Administrasi) hlm. 221, prinsip pelayanan terhadap rakyat adalah:
(1) Kesederhanaan aturan. Kesederhanaan aturan akan memberikan kemudahan dan kepraktisan, sedangkan aturan yang rumit akan menyebabkan kesulitan.
(2) Kecepatan dalam pelayanan transaksi. Hal ini akan mempermudah orang yang memiliki keperluan.
(3) Pekerjaan itu ditangani oleh orang yang mampu dan profesional.

Negara akan mewujudkan kemudahan dan kenyamanan bagi jemaah haji sehingga bisa menjalankan ibadah dengan khusyuk. Persoalan teknis akan diperhatikan dengan sangat detail sehingga tidak ada hal yang luput dari riayah dan menyebabkan jemaah kesulitan.

Di dalam Khilafah, penetapan ONH disesuaikan dengan biaya yang dibutuhkan oleh para jemaah berdasarkan jarak wilayahnya dan akomodasinya. Dengan demikian, ONH antara satu wilayah dengan wilayah lainnya bisa berbeda-beda, tergantung jaraknya dari Makkah dan Madinah. Jemaah dimudahkan dengan tidak perlu mengurus visa haji karena seluruh negeri muslim berada dalam satu negara, yaitu Khilafah.

Negara akan melakukan pengaturan kuota haji dengan mengacu pada ketentuan bahwa yang wajib haji adalah yang mampu. Jadi yang boleh mendaftar haji adalah yang mampu membayar 100%. Ini akan mencegah terjadinya antrean yang panjang.

Sedangkan kuota jemaah haji yang berangkat diatur berdasarkan kapasitas tempat, terutama Arafah dan Mina. Tidak boleh ada praktik jual beli kuota sebagaimana terjadi dalam sistem kapitalisme. Adapun dana calon jemaah haji hanya digunakan untuk keperluan pelaksanaan haji dan tidak diinvestasikan ataupun dipinjamkan karena statusnya adalah titipan. Apalagi investasi adalah riba, sedang riba adalah tergolong kepada dosa besar.

Maa syaa Allah tabarakaallah begitu lengkapnya sistem Islam mengatur semua aspek kehidupan termasuk penyelenggaraan haji yang terjangkau, aman, dan nyaman. Sayangnya saat ini Indonesia tidak menerapkannya. Saatnya mengganti sistem kapitalisme dengan sistem Islam. Langkah pertama untuk mewujudkannya adalah dengan cara mengkaji Islam kaffah bersama kelompok dakwah Islam ideologis dan mendakwahkannya di tengah-tengah masyarakat.

Wallahu'alam bishshawab.




Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.

Posting Komentar

0 Komentar