Kapitalisme dan Judol: Kolaborasi Sunyi Perusak Generasi


Oleh : Wahyuni M. (Aliansi Penulis Rindu Islam)

Pemerintah memperkuat upaya pemberantasan judi online yang menyasar anak-anak melalui Peraturan Pemerintah tentang Tata Kelola Penyelenggaraan Sistem Elektronik dalam Perlindungan Anak (PP Tunas). Regulasi ini mewajibkan para penyelenggara sistem elektronik (PSE) untuk membatasi akses digital bagi anak, menjaga keamanan data pribadi, serta berperan aktif dalam peningkatan literasi digital.

Transaksi judi online kini tak lagi didominasi orang dewasa. Temuan terbaru Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) mengungkap bahwa anak-anak usia 10 tahun sudah terlibat dalam praktik ini. Melalui Program Mentoring Berbasis Risiko (Promensisko), PPATK mencatat pada kuartal I-2025, total deposit dari pemain berusia 10–16 tahun mencapai lebih dari Rp2,2 miliar. Sementara kelompok usia 17–19 tahun mencatatkan angka hingga Rp47,9 miliar. Jumlah tertinggi ditemukan pada rentang usia 31–40 tahun, dengan nilai deposit yang mencengangkan, yakni menembus Rp2,5 triliun. Temuan ini mempertegas bahwa judi online telah menjangkau berbagai lapisan usia dan mengancam masa depan generasi muda.

Fenomena judi online yang menyasar anak-anak bukan kebetulan. Kapitalisme menjadikan keuntungan sebagai tujuan utama, meski harus merusak generasi muda. Industri ini memanfaatkan celah psikologis dan visual untuk menarik anak-anak. Inilah wajah asli kapitalisme, rakus dan tidak mengenal batas moral.

PPATK memperingatkan tanpa adanya intervensi dari pemerintah, potensi transaksi judi online di Indonesia bisa membengkak hingga Rp1.200 triliun. Menanggapi hal ini, Ketua Komisi I DPR RI Meutya Hafid menegaskan bahwa pemerintah kini gencar melakukan sosialisasi untuk mendorong pemanfaatan internet secara positif guna menekan laju transaksi judi daring yang kian mengkhawatirkan.

Pemerintah tidak memiliki upaya serius dan sistematis dalam mencegah maupun mengatasi judi online. Pemutusan akses dilakukan setengah hati dan tebang pilih, sementara banyak situs tetap aktif. Ini membuktikan bahwa demokrasi kapitalisme tidak memiliki solusi hakiki dalam menyelamatkan generasi muda dari kriminalitas. 

Lebih ironis lagi, mafia judi online justru terendus di dalam tubuh pemerintah. Pada November 2024, dua pegawai Kementerian Komunikasi dan Digital ditangkap polisi karena terlibat dalam sindikat judol. Peran mereka masing-masing adalah menyetor lis web dan uang, serta menampung uang hasil kejahatan.

Orang tua khususnya ibu punya peran sentral dalam membentengi anak dari kerusakan moral, termasuk jebakan judi online. Keluarga muslim akan melahirkan anak-anak yang kuat secara akidah dan tidak mudah bermaksiat. Namun, ini akan sulit jika orang tua sendiri terbebani ekonomi dan tak sempat mendidik anak.

Judi online sejatinya bukan jalan keluar untuk mendapatkan kebahagiaan atau kekayaan instan, melainkan awal dari jurang penderitaan. Alih-alih membawa kebahagiaan, praktik ini justru menggerus harta dan menyeret pelakunya ke lingkaran utang. Ketika dana habis, tak sedikit pemain judi online beralih ke pinjaman online (pinjol) demi terus memuaskan hasrat berjudi. Ironisnya, pinjol tentu bukan solusi, melainkan jebakan baru yang menjerumuskan pelaku pada praktik gali lubang tutup lubang tanpa akhir.

Oleh karena itu, paradigma mengenai standar kebahagiaan ini layak diganti seiring dengan keterikatan terhadap syariat Islam. Pada saat yang sama, ada peran kontrol masyarakat untuk beramar makruf nahi mungkar ketika terjadi kemaksiatan di sekitar mereka, termasuk aktivitas judol. Sungguh, tingkat kritis umat adalah sebuah kemuliaan karena tidak mendiamkan kemaksiatan sebagaimana setan bisu.

Pemberantasan judi online secara menyeluruh membutuhkan sistem yang menutup celah bagi segala bentuk transaksi haram, termasuk judi, baik online maupun offline. Dalam sistem pemerintahan Islam (Khilafah), aturan berbasis syariat diterapkan secara menyeluruh, sehingga praktik seperti judol tidak akan mendapat ruang hidup.

Berbeda dengan sistem kapitalisme saat ini yang justru membuka peluang penyalahgunaan teknologi, Khilafah mengarahkan pemanfaatan teknologi agar selaras dengan akidah Islam. Dengan begitu, teknologi tidak disalahgunakan untuk merusak, tetapi digunakan untuk membangun peradaban. Tanpa nilai Islam, teknologi bisa menjadi alat kehancuran. 

Sistem pendidikan Islam tidak hanya fokus pada akademik, tapi juga membentuk pola pikir dan sikap sesuai ajaran Islam. Anak dididik untuk menjadikan halal-haram sebagai standar dalam berperilaku, termasuk literasi digital sesuai batasan syariat.

Khilafah memberi ruang luas bagi rakyat untuk menjalankan aktivitas ekonomi yang halal, sekaligus memastikan teknologi digital digunakan sesuai dengan syariat. Lebih dari itu, Khilafah menerapkan sistem sanksi tegas bagi pelaku perjudian, yang berfungsi sebagai pencegah (zawajir) sekaligus penebus dosa (jawabir). Dalam Islam, perjudian tergolong tindak pidana yang dikenai hukuman takzir, yaitu jenis sanksi yang ditetapkan berdasarkan kebijakan ijtihad seorang khalifah demi menjaga kemaslahatan umat. Dengan penerapan aturan Islam secara menyeluruh, jalan menuju masyarakat bebas judi dapat benar-benar terwujud.




Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.

Posting Komentar

0 Komentar