Oleh: Tsaqifa Farhana Walidaini
Pelaksanaan Ujian Tulis Berbasis Komputer (UTBK) Seleksi Nasional Berdasarkan Tes (SNBT) 2025 kembali diwarnai kecurangan. Dalam dua hari pertama saja, tercatat 14 kasus kecurangan, mulai dari penggunaan kamera mikro yang disembunyikan dalam behel gigi, perangkat tersembunyi di kancing baju, hingga pemanfaatan aplikasi remote desktop untuk meminta bantuan dari luar ruang ujian.
Modus-modus ini menunjukkan bahwa kecanggihan teknologi kini bukan hanya alat bantu belajar, tetapi juga alat untuk mengakali sistem demi lolos seleksi.Panitia SNPMB menyebut ada dugaan keterlibatan lembaga bimbingan belajar yang merekam soal untuk keperluan bisnis. Bahkan, ada penawaran layanan joki kelas “ekonomi hingga VVIP”, yang mengindikasikan bahwa praktik kecurangan ini tidak terjadi secara sporadis, melainkan terstruktur dan terorganisir.
Ini jelas mencoreng integritas seleksi masuk perguruan tinggi negeri yang seharusnya menjadi arena kompetisi sehat dan jujur. Survei Penilaian Integritas (SPI) oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), menunjukkan masih banyaknya pelajar di sekolah dan juga di kampus yang menyontek. Skor SPI Pendidikan 2024 berada di angka 69,50.
Menurut Deputi Bidang Pendidikan dan Peran Serta Masyarakat KPK, Wawan Wardiana Indeks Integritas Pendidikan Nasional tahun 2024 ini berada di level koreksi atau bermakna bahwa upaya perbaikan integritas melalui internalisasi nilai-nilai integritas sudah dilakukan, meski implementasi serta pengawasan belum merata, konsisten, dan optimal.
Lebih menyedihkan lagi. menurut survei yang dikutip Kompas menyebutkan bahwa sekitar 74,2% siswa dan mahasiswa mengaku pernah menyontek, dan 45,3% dari mereka menganggap hal itu wajar karena dilakukan banyak orang. Angka ini menunjukkan bahwa praktik kecurangan sudah menjadi budaya. Ketika ketidakjujuran dianggap hal biasa, ini menandakan gagalnya sistem pendidikan saat ini dalam membentuk karakter generasi muda.
Akar Persoalan, Pendidikan Ala Kapitalisme
Fenomena budaya mencontek ini hanya sebagian kecil dari potret kerusakan sistem pendidikan hari ini yang berasaskan kapitalis sekuler. Sehingga melahirkan sistem pendidikan yang berorientasi pada hasil sebagai orientasi utama, dan memisahkan pendidikan dan menjauhkan dari nilai-nilai akidah Islam. Pendidikan tidak lagi dilihat sebagai proses membentuk insan yang bertakwa, melainkan alat untuk menaiki tangga ekonomi dan status sosial.
Orientasi dalam membentuk karakter dan kepribadian, hanya sebagai “pelengkap” dan tak berlandaskan pada asas Islam. Faktanya, kalaupun siswa sudah mengetahui bahwa perbuatan menyontek, atau perbuatan buruk lainnya. Mereka akan sangat mudah melanggar apa yang sudah mereka ketahui.
Akibatnya, siswa sebagai peserta didik yang tak memiliki ikatan akidah Islam, minim kesadaran keimanan dan rasa tanggung jawab atas segala perbuatan, termasuk takut berbuat dosa akibat menyontek. Inilah sebabnya muncul mentalitas pragmatis, “yang penting lolos, yang penting sukses secara materi”, meskipun dengan cara curang. Dalam sistem ini, keberhasilan dinilai dari skor, bukan kejujuran dalam mencapainya.
Maka tak heran jika peserta didik rela menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan, karena sistem pun menutup mata terhadap akhlak sebagai pilar utama pendidikan.
Parahnya lagi, fenomena ini juga menunjukkan gagalnya peran negara dalam sistem kapitalisme, yang tidak berorientasi pada pencerdasan kehidupan bangsa, tetapi pada kepentingan ekonomi dan birokrasi pendidikan yang berbiaya mahal dan tidak merata. Negara minim kehadiran dan tanggung jawab, mulai dari minimnya anggaran pendidikan sehingga tidak mampu membangun sarana prasarana pendidikan memadai sesuai kebutuhan.
Sulitnya mencari sekolah maupun kampus yang baik, negara tak mampu menyediakan lapangan kerja yang memadai, memicu rusaknya mental para siswa berbuat curang demi mendapatkan nilai bagus sebagai kunci memasuki jenjang berikutnya.
Negara hanya bertindak sebagai fasilitator ujian dan pengawas teknis, bukan pelindung moral dan pembina akhlak rakyat. Dalam sistem ini, pendidikan justru menjadi ladang bisnis dan arena kompetisi bebas, bukan sarana pembinaan manusia paripurna.
Solusi Komprehensif Hanya Dengan Islam
Kondisi sistem pendidikan hari ini membutuhkan tanggung jawab penuh negara untuk mengatasinya dengan menyelenggaran sistem pendidikan yang shahih (Islam).
Berbeda dengan sistem kapitalistik, Islam memiliki paradigma pendidikan yang menyeluruh dan solutif. Pendidikan dalam Islam tidak hanya bertujuan mencetak generasi cerdas secara intelektual, tetapi juga menghasilkan manusia yang berkepribadian Islam. Mereka terikat dengan halal haram dalam setiap kesempatan sehingga siswa jauh dari perilaku menyimpang. Negara Islam pun hadir secara penuh melaksanakan tanggung jawabnya.
Dengan sistem ini, generasi yang dihasilkan bukan hanya menguasai teknologi, tetapi juga menggunakannya sesuai tuntunan syariat. Mereka tidak akan tertarik menggunakan teknologi untuk menipu, karena sadar akan tanggung jawab akhirat dan nilai kejujuran sebagai bagian dari tanggung jawab.
Kondisi ini hanya bisa terwujud dalam sistem yang menerapkan syariah Islam secara kaffah, yakni Khilafah. Dalam sistem ini, negara memiliki kemampuan untuk membangun berbagai sarana prasarana sesuai kebutuhan. Sehingga siswa tidak perlu resah atau galau untuk mendapatkan pendidikan terbaik.
Dunia pendidikan dalam sistem ini tidak dihantui momok persaingan kerja yang suram, melainkan senantiasa dinamis dan dipenuhi semangat pengabdian ilmu untuk kemaslahatan umat. Bukan sekadar mengubah metode pembelajaran seperti narasi Menteri Pendidikan saat ini, tetapi dibutuhkan solusi sistemis yang menyeluruh—yakni perjuangan untuk menegakkan sistem Islam dalam naungan Khilafah sebagai bentuk nyata kepedulian terhadap masa depan generasi.
Dengan demikian, fenomena kecurangan dalam pendidikan bukan hanya soal pengawasan atau etika individu, melainkan buah dari sistem rusak yang berorientasi materi dan mencabut nilai-nilai ketakwaan dari proses pendidikan.
Maka solusi hakikinya tidak cukup dengan tambal sulam kebijakan, tetapi kembali pada sistem pendidikan Islam yang berpijak pada akidah, menjadikan keridhaan Allah sebagai tujuan, dan menjamin peran negara dalam mewujudkannya secara menyeluruh. Inilah arah perjuangan sejati demi menyelamatkan masa depan generasi dan membangun peradaban yang benar-benar beradab.
Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.
0 Komentar