Oleh: Noura
Awal tahun 2025 menjadi cermin buram bagi kondisi tenaga kerja di Indonesia. Di Balikpapan, 341 pekerja terkena PHK hanya dalam hitungan bulan. Menurut Kepala Disnaker Kota Balikpapan, Ani Mufaidah, penyebabnya beragam; efisiensi anggaran, perselisihan kerja, hingga habis masa kontrak. Namun, apakah semua itu berdiri sendiri? Atau ada sistem besar yang menyulutnya?
Secara nasional, lebih dari 53.000 pekerja terkena PHK pada 2024, dominan dari sektor pengolahan dan jasa. Situasi ini menunjukkan bahwa PHK bukan hanya gejala lokal, melainkan bagian dari persoalan struktural yang lebih besar. Dan sistem ekonomi kapitalisme menjadi akar persoalannya.
Efek Domino Perang Tarif AS–Tiongkok
Salah satu pemicu krusial yang jarang dibahas dalam konteks PHK adalah konflik ekonomi global antara Amerika Serikat dan Tiongkok, khususnya perang tarif (trade war) yang sudah berlangsung sejak 2018 dan terus berevolusi.
Dalam sistem kapitalisme global, Indonesia bukan aktor utama, melainkan "pasar" dan "penyedia buruh murah" bagi raksasa industri dunia. Ketika dua kekuatan besar seperti AS dan Tiongkok saling memukul dengan tarif tinggi dan pembatasan dagang, rantai pasok global terguncang. Industri di Indonesia—terutama manufaktur dan migas—mengalami dampak serius:
1. Penurunan permintaan ekspor: Banyak pabrik di Indonesia menjadi bagian dari rantai pasok industri Tiongkok. Saat produk Tiongkok dikenai tarif tinggi oleh AS, maka produksi ditekan, permintaan bahan baku dari Indonesia ikut turun.
2. Lonjakan biaya logistik dan bahan baku: Perang dagang menaikkan harga barang impor, termasuk bahan baku dan teknologi yang dibutuhkan industri Indonesia. Untuk menekan biaya, perusahaan melakukan efisiensi—dan PHK adalah langkah instan.
3. Ketidakpastian investasi: Investor global menahan diri karena melihat risiko tinggi. Akibatnya, ekspansi bisnis tertunda atau dibatalkan. Pekerja yang tadinya akan diserap, malah menganggur.
4. Fluktuasi harga energi global: Sektor migas yang dominan di Balikpapan sangat sensitif terhadap harga minyak dunia. Ketika Tiongkok mengurangi impor energi dari AS atau negara sekutunya, pasar terguncang dan harga jadi tidak stabil. Perusahaan lokal pun ikut menyesuaikan skala operasi—lagi-lagi, buruh menjadi korban.
Negara dalam sistem kapitalisme hanya berperan sebagai regulator demi kelancaran kepentingan kapitalis, bukan pelindung rakyat. Wajar jika kebijakan seperti UU Cipta Kerja dan Perppu turunannya justru melanggengkan sistem kerja kontrak dan outsourcing yang eksploitatif.
Dengan kata lain, PHK di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari pergolakan sistemik global yang dipicu oleh kerakusan kapitalisme antarnegara. Ini adalah ekspresi nyata bahwa dalam sistem kapitalis, stabilitas ekonomi buruh di negeri berkembang tergadai oleh konflik kepentingan antara negara-negara kapitalis utama.
Kapitalisme, Sistem yang Merusak
Dalam sistem ekonomi kapitalisme, perusahaan berorientasi pada efisiensi dan keuntungan sehingga cenderung melakukan PHK kepada pekerja ketika ekonomi sedang lesu, permintaan menurun, atau menggantikan tenaga kerja manusia dengan teknologi mesin.
Kapitalisme menempatkan tenaga kerja bukan sebagai manusia yang butuh nafkah dan jaminan hidup, tapi sebagai alat produksi yang bisa diganti kapan saja. Ditambah dengan peran negara yang minimalis dan tunduk pada mekanisme pasar, tidak ada jaminan atas pekerjaan, apalagi kesejahteraan.
Islam Menawarkan Solusi Fundamental
Islam bukan sekadar sistem ibadah, tapi juga menawarkan solusi menyeluruh terhadap persoalan ekonomi, termasuk ketenagakerjaan. Dalam sistem ekonomi Islam, negara wajib menjamin tersedianya lapangan kerja. Negara akan mengelola sektor strategis dan tidak ada swastanisasi. Hal ini membuka ruang kerja luas dan menghindari ketergantungan pada pasar luar. Negara pun akan mengelola dan memanfaatkan SDA demi kemaslahatan rakyat.
Konflik global tak akan memukul ekonomi dalam negeri, karena sistem Islam tidak bergantung pada pasar bebas internasional atau ketergantungan impor. Negara Islam akan berdikari dan melindungi ekonominya dari intervensi kekuatan asing.
Islam menjadikan pekerjaan sebagai hak yang harus difasilitasi negara, sebagaimana hadis Rasulullah: “Seorang imam (khalifah) adalah pemelihara dan pengatur urusan rakyatnya dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyatnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Negara mendorong rakyat bekerja dengan memberikan modal, pelatihan, bahkan tanah untuk digarap. Rasulullah saw. bersabda: “Barang siapa menghidupkan tanah mati, maka tanah itu menjadi miliknya.” (HR. Ahmad)
Gaji ditentukan berdasarkan manfa’at al-juhd (manfaat tenaga), bukan sekadar living cost minimum, dan disepakati secara adil antara pekerja dan pengusaha, dengan negara sebagai penengah jika terjadi konflik.
Rasulullah SAW sendiri pernah memberikan alat kerja kepada seseorang yang menganggur agar bisa mandiri. Khalifah Umar bin Khattab bahkan mengancam akan menghukum para pejabat yang lalai jika ada rakyat yang kelaparan di bawah kepemimpinannya. Negara Islam bukan sekadar simbol kekuasaan, melainkan pelindung dan pengurus umat.
Dengan sistem Islam, kasus PHK massal tidak akan menjadi fenomena rutin. Negara bertanggung jawab penuh atas kesejahteraan rakyatnya, bukan malah menjadi fasilitator eksploitasi kaum kapitalis.
Kesimpulan
PHK massal bukan sekadar fenomena teknis atau lokal. Ia adalah manifestasi dari sistem kapitalisme global yang mengorbankan stabilitas ekonomi rakyat demi kompetisi antarnegara dan akumulasi kapital.
Sistem Islam hadir sebagai solusi yang sistemik dan menyeluruh. Ia tak hanya melindungi pekerja dari PHK, tapi juga menciptakan lingkungan ekonomi yang sehat, adil, dan tidak tunduk pada konflik antar-negara adidaya. Maka, meninggalkan kapitalisme dan kembali pada sistem Islam secara kaffah bukan hanya pilihan, tapi kebutuhan mendesak umat.
Wallahu'alam bishawab.
Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.
0 Komentar