Bayiku Malang Terpanggang Sistem Kapitalisme


Oleh: Imas Royani, S.Pd.

Peristiwa viral memilukan terjadi di Jalan Suprapto, Kelurahan Punggolaka, Kecamatan Puuwatu, Kendari, Sulawesi Tenggara. Bagaimana tidak, empat orang balita terbakar dalam kebakaran hebat di rumahnya saat ditinggal ibunya keluar membeli makan bersama pacarnya. 

Tiga balita menjadi korban tewas dalam kebakaran sebuah rumah, Senin (6/5) lalu. Sementara satu korban lainnya masih mendapat perawatan intensif di rumah sakit. Korban tewas teridentifikasi sebagai AZP (1 tahun), ANP (3 tahun), dan saudara kembarnya N (3). Jasad balita AZP (1) dan ANP (3) ditemukan dalam kondisi mengenaskan seusai kebakaran rumah tersebut. Dua korban pertama ditemukan tewas terpanggang di dalam lemari pakaian dalam kondisi berpelukan, sementara satu korban lainnya sempat dirawat sebelum akhirnya meninggal. Kakak beradik tersebut ditemukan dalam kondisi saling berpelukan di dalam lemari pakaian rumah yang terbakar.

Kebakaran ini mematik perhatian warga setempat. Pasalnya kebakaran terjadi saat sang ibu balita yang juga merupakan selebgram ini pergi mencari makan dengan kekasihnya berinisial AD seorang sekuriti bank. 

Hubungan maupun alasan keduanya pun dibenarkan oleh Kanit Reskrim Polsek Mandonga Ipda Andry Irwanto. Polisi hingga kini masih menyelidiki penyebab kebakaran maut tersebut. Keterangan sementara dari saksi yang juga berada di lokasi menduga salah satu penyebab kebakaran karena meteran listrik korban selalu jatuh.

"AD itu pacarnya ibunya korban. Mamanya korban ini bersama AD pergi membeli makanan untuk anak-anak ini. Penyebab pasti kebakaran masih dalam lidik, tapi informasi awal dari saksi bahwa meteran listrik rumah itu memang sering jatuh," kata Ipda Andry, dikutip Jumat (9/5/2025). (HALOSULSEL online, 10/5/2025). 

Miris! Jika memang orang tua ada kebutuhan pergi keluar rumah, setidaknya ada tetangga atau kerabat yang diamanahi untuk menjaga anak-anak itu sebentar. Itu pun tentu perginya orang tua tidak bisa berlama-lama karena memang ada balita yang menjadi tanggungannya di rumah. Apalagi ini perginya dengan yang non muhrim, meskipun memakai alasan membeli makanan untuk anak-anak. Anak-anak itu bukan tanggungjawab pacarnya. Jika pun sang pacar berniat membelikan makanan untuk anak-anak tersebut jelas itu tidak termasuk sedekah karena sedekah haruslah diberikan dengan ikhlas, bukan mengharap balasan cinta sang ibu.

Demikian halnya jika kebutuhan untuk keluar rumah itu bisa dipenuhi melalui mekanisme pesan antar (delivery order), ada baiknya hal itu diambil sebagai pilihan. Jika memungkinkan, orang tua bahkan bisa mengajak semua anak saat bepergian. Sungguh meninggalkan anak kecil di rumah tanpa pendampingan orang dewasa sama sekali bukanlah tindakan yang bijak, apalagi ada empat orang balita.

Sejatinya kasus ini bisa terkategori sebagai fenomena disfungsi keluarga. Dengan adanya anak apalagi jumlahnya lebih dari satu orang, tentu saja tanggung jawab orang tua menjadi lebih besar. Upaya perlindungan berlapis sekaligus tingkat kewaspadaan yang lebih tinggi semestinya menjadi bagian dari mindset orang tua dalam rangka menjaga anak-anak, terlebih pada usia yang mereka belum sempurna akalnya.

Disfungsi keluarga sendiri meniscayakan ketakberdayaan keluarga mencapai peran sejatinya sebagai tempat teraman dan ternyaman untuk anak. Seharusnya keluarga adalah tempat anak memperoleh perlindungan dan penjagaan dari orang tua yang mengasuhnya. Penjagaan mereka semestinya dilandasi paradigma bahwa anak adalah amanah dari Allah SWT. 

Kendati posisinya sudah bercerai, seorang ayah tetap harus menafkahi anak-anaknya, sebab tidak ada istilah mantan hubungan ayah dan anak. Selagi anak-anaknya yang laki-laki belum baligh dan dapat memenuhi kebutuhan hidupnya atau anak-anaknya yang perempuan belumenikah, maka selama itu pula tanggungan nafkahnya ada di tangan ayahnya.

Sistem sekuler yang tegak hari ini telah membuat kehidupan serba sulit. Fenomena individualistis dan materialistis begitu kuat di tengah masyarakat. Tidak mudah bagi orang tua untuk menitipkan anak-anaknya kepada kerabat atau tetangga, meski hanya untuk ditinggal sebentar.

Rusaknya ikatan antaranggota keluarga maupun antaranggota masyarakat menyebabkan interaksi sesama manusia cenderung mengarah pada asas kemanfaatan, bahkan sekadar nilai materi (qimah madiyah). Belum lagi adanya ancaman tindak kriminal, seperti predator seksual yang mayoritas justru dilakukan oleh orang-orang terdekat anak. Sedangkan menitipkan anak di Tempat Penitipan Anak (TPA) bagi para orang tua bekerja jelas membutuhkan biaya tambahan yang tidak semua orang mampu memenuhinya.

Lebih parah lagi, negara saat ini sangat abai dengan edukasi mengenai pendidikan keluarga dan hakikat penjagaan anak sebagai amanah dari Allah SWT. Kalaupun ada, itu sebatas bimbingan singkat dan ala kadarnya bagi para calon pengantin, alih-alih berupa penggambaran mengenai fitrah penciptaan maupun proses pengasuhan yang syar’i.

Realitas yang demikian ini mustahil menyolusi ketika masalah lain tidak diatasi, seperti sistem ekonomi yang rawan kesenjangan, tingkat kesejahteraan hidup yang rendah, pendidikan yang jauh dari prinsip akidah Islam, sistem kesehatan yang tidak memadai, ancaman kemiskinan dan PHK, serta sistem sosial yang rusak seperti pergaulan bebas, individualistis, dan materialistis. Ini semua menggambarkan bahwa disfungsi keluarga memunculkan dilema karena persoalan yang terjadi tidak terlepas dari aspek sistemis.

Nyatanya anak pada era sekuler kapitalisme saat ini jelas menunjukkan bahwa mereka tidak mendapatkan iklim kehidupan yang kondusif, bahkan dalam konteks hak hidup dan perlindungan nyawa. Sekularisme telah menyelisihi fitrah penciptaan bahwa Allah SWT. menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya serta memiliki visi dan misi kehidupan yang tidak boleh diabaikan.

Sesungguhnya kehidupan serba sulit dalam sistem sekuler kapitalisme hanya dapat disolusi dengan sistem Islam, di antaranya mengenai hak hidup dan perlindungan anak. Islam memosisikan keluarga dengan peran urgen sebagai garda terdepan dalam melindungi anak, baik dari sisi kehidupan, pengasuhan, tumbuh kembang, maupun proses pendidikan berupa asupan pemikiran sahih untuk ditanamkan pada mereka.

Allah SWT. berfirman, 
يٰۤاَ يُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا قُوْۤا اَنْفُسَكُمْ وَاَ هْلِيْكُمْ نَا رًا وَّقُوْدُهَا النَّا سُ وَا لْحِجَا رَةُ عَلَيْهَا مَلٰٓئِكَةٌ غِلَا ظٌ شِدَا دٌ لَّا يَعْصُوْنَ اللّٰهَ مَاۤ اَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُوْنَ مَا يُؤْمَرُوْنَ
"Wahai orang-orang yang beriman! Peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, dan keras, yang tidak durhaka kepada Allah terhadap apa yang Dia perintahkan kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan." (QS. At-Tahrim: 6)

Juga dalam ayat,
وَلْيَخْشَ الَّذِيْنَ لَوْ تَرَكُوْا مِنْ خَلْفِهِمْ ذُرِّيَّةً ضِعٰفًا خَا فُوْا عَلَيْهِمْ ۖ فَلْيَتَّقُوا اللّٰهَ وَلْيَقُوْلُوا قَوْلًا سَدِيْدًا
"Dan hendaklah takut (kepada Allah) orang-orang yang sekiranya mereka meninggalkan keturunan yang lemah di belakang mereka yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan)nya. Oleh sebab itu, hendaklah mereka bertakwa kepada Allah, dan hendaklah mereka berbicara dengan tutur kata yang benar." (QS. An-Nisa': 9).

Pemenuhan hak anak hanya bisa terwujud melalui peran negara bersistem Islam kaffah, yakni Khilafah. Islam telah menyediakan seperangkat aturan untuk menjalankan visi misi pendidikan anak di tengah keluarga, masyarakat, hingga negara agar anak-anak tidak berada dalam kebinasaan yang menghancurkan mereka.

Pada awal kehidupannya, tiap anak berhak mendapatkan hadanah (pengasuhan anak dalam bentuk penyusuan) dan kafalah (pengasuhan anak berupa perlindungan secara umum meliputi hadanah dan khidmah/pelayanan). Pengasuhan yang syar’i bukanlah edukasi berupa ilmu parenting, psikologi, maupun pendidikan yang bersumber dari peradaban Barat, melainkan yang bersumber dari Islam yang sudah pasti sejalan dengan fitrah penciptaan mereka. Semua ini akan menjadi bekal penting saat mereka menjadi mukalaf (akil, balig, terbebani hukum syarak) nanti.

Terkait pengasuhan syar’i ini, Khilafah berperan untuk memfasilitasi dan mengakomodasinya dalam sistem pendidikan, baik bagi para pasangan yang hendak menikah maupun keluarga muda. Khilafah juga memberikan edukasi perihal pendidikan keluarga kepada seluruh individu masyarakat, baik itu mengenai peran keibuan dan pengaturan rumah tangga kepada para perempuan yang sudah balig, maupun pendidikan calon pemimpin keluarga (qawamah) bagi para laki-laki balig.

Pendidikan keluarga ini bisa berupa pendidikan formal maupun nonformal. Khilafah juga memastikan tiap keluarga mampu menyelenggarakan praktik pendidikan keluarga ini di rumah sehingga para orang tua bisa menyiapkan anak-anak mereka agar kelak siap menjadi orang tua.

Tidak lupa, Khilafah mengondisikan kehidupan yang subur dengan hubungan kekerabatan yang harmonis di antara anggota keluarga. Khilafah juga turut menjaga agar interaksi sesama anggota masyarakat berada dalam kerangka ukhuwah Islamiah, bukan qimah madiyah. Sebaliknya, nilai kemanusiaan (qimah insaniyah) dan akhlak (akhlakiyah) menjadi lebih kuat dan menonjol. Aktivitas menitipkan anak kepada kerabat maupun tetangga saat orang tua mereka ada keperluan sejenak, bukanlah sesuatu yang aneh ataupun sulit. Lingkungan kehidupan bermasyarakat yang dibangun atas dasar akidah Islam akan menjadikan hubungan di antara individu menjadi sesuatu yang tulus dengan semangat tolong-menolong. 

Allah SWT. berfirman,
اِنَّمَا الْمُؤْمِنُوْنَ اِخْوَةٌ فَاَ صْلِحُوْا بَيْنَ اَخَوَيْكُمْ وَا تَّقُوا اللّٰهَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُوْنَ
"Sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara, karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu (yang berselisih) dan bertakwalah kepada Allah agar kamu mendapat rahmat." (QS. Al-Hujurat: 10).

Selanjutnya, sebagai individu manusia, tiap anak berhak memperoleh pemenuhan kebutuhan primer layaknya manusia dewasa, yakni berupa sandang, pangan, dan papan. Mereka juga berhak atas hak-hak publik sebagai wujud tanggung jawab negara berupa kesehatan dan pendidikan.

Dalam hal ini, Khilafah berkepentingan untuk memberikan hak hidup dan kesejahteraan melalui pemenuhan hak hadanah dan kafalah, serta kebutuhan primer (sandang, pangan, dan papan), sekunder, dan publik bagi anak-anak. Khilafah juga menjamin kelancaran jalur nafkah untuk anak peroleh dari ayah/wali mereka. Khilafah berperan untuk menyediakan lapangan pekerjaan bagi para suami/ayah dalam rangka mencari nafkah.

Khilafah berperan penting untuk menjaga akidah anak maupun umat secara keseluruhan agar tidak tercemar oleh pemikiran-pemikiran sekuler. Khilafah akan menyuburkan akidah Islam dengan membinanya melalui sistem pendidikan (formal dan nonformal) dalam rangka mencetak generasi berkepribadian Islam. Khilafah juga mengendalikan dan mengawasi penuh konten media sehingga tidak liberal sebagaimana dalam sistem sekuler. Sebaliknya, hanya konten islami dan bermuatan dakwah Islam saja yang akan diizinkan untuk ditayangkan.

Demikianlah perlindungan dan jaminan keamanan anak dalam Khilafah. Sungguh, tegaknya sistem kehidupan Islam akan membawa rasa aman bagi tiap individu. Sebagai bagian dari masyarakat maka kita juga berkewajiban dalam penegakkan sistem Islam agar tidak ada lagi anak kecil yang menjadi korban disfungsi keluarga dan abainya masyarakat. Langkah pertama adalah dengan mengkaji Islam kaffah bersama kelompok dakwah Islam ideologis dan mendakwahkannya kepada masyarakat lainnya.

Allah SWT. berfirman, 
 لَـكُنَّاۤ اَهْدٰى مِنْهُمْ ۚ فَقَدْ جَآءَكُمْ بَيِّنَةٌ مِّنْ رَّبِّكُمْ وَهُدًى وَّرَحْمَةٌ ۚ فَمَنْ اَظْلَمُ مِمَّنْ كَذَّبَ بِاٰ يٰتِ اللّٰهِ وَصَدَفَ عَنْهَا ۗ سَنَجْزِى الَّذِيْنَ يَصْدِفُوْنَ عَنْ اٰيٰتِنَا سُوْٓءَ الْعَذَا بِ بِمَا كَا نُوْا يَصْدِفُوْنَ
“Sesungguhnya telah datang kepada kamu keterangan yang nyata dari Tuhanmu, petunjuk, dan rahmat. Maka siapakah yang lebih zalim daripada orang yang mendustakan ayat-ayat Allah dan berpaling darinya? Kelak Kami akan memberi balasan kepada orang-orang yang berpaling dari ayat-ayat Kami dengan siksa yang buruk disebabkan mereka selalu berpaling.” (QS. Al-An’am: 157). 

Wallahu'alam bishshawab.




Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.

Posting Komentar

0 Komentar