Oleh: Hestiyana, S.Pi
Kemiskinan adalah persoalan klasik yang terus menjadi momok di tengah masyarakat dunia, termasuk di Indonesia. Namun, cara kita memahami dan mengukurnya ternyata bisa sangat berbeda tergantung pada standar siapa yang digunakan. Inilah yang menimbulkan fenomena "kemiskinan tersembunyi dalam angka," di mana realitas di lapangan tak selalu tercermin dalam statistik resmi pemerintah.
Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), garis kemiskinan nasional pada Maret 2024 ditetapkan sebesar Rp. 550.458 per kapita per bulan (bps.go.id, 2024). Angka ini jauh berbeda dari standar yang digunakan Bank Dunia yang menetapkan garis kemiskinan ekstrem sebesar USD 6,85 per hari, atau setara Rp. 113.777,- per hari (liputan6.com, 09/05/2025). Perbedaan ini bukan sekadar teknis, tetapi menunjukkan adanya disparitas serius dalam memaknai kesejahteraan rakyat.
Bank Dunia menyatakan bahwa 60% penduduk Indonesia masih tergolong miskin secara global, meskipun angka resmi BPS menyebutkan kemiskinan hanya di angka satu digit (detik.com, 09/05/2025). Ini artinya, mayoritas rakyat Indonesia mungkin tidak masuk kategori miskin secara nasional, tetapi hidup dalam kondisi serba kekurangan berdasarkan standar dunia.
Penyebab utama perbedaan ini adalah perbedaan metode dan filosofi dalam mengukur kemiskinan. BPS menggunakan pendekatan kebutuhan dasar, sementara Bank Dunia menggunakan pendekatan kemampuan konsumsi. Menurut tirto.id (2022), pendekatan BPS cenderung memberikan angka yang lebih rendah karena standar hidup yang digunakan juga rendah. Hal ini tentu menguntungkan bagi pemerintah karena bisa diklaim sebagai keberhasilan dalam menurunkan angka kemiskinan, padahal yang terjadi adalah penyesuaian standar agar tampak "baik" di atas kertas.
Manipulasi data ini bukan tanpa tujuan. Dalam sistem kapitalisme, pencitraan ekonomi sangat penting untuk menarik investasi. Investor akan lebih tertarik menanamkan modalnya di negara yang dianggap berhasil menekan kemiskinan. Oleh karena itu, standar kemiskinan sering kali "didesain" untuk memenuhi kebutuhan politik dan ekonomi elit, bukan untuk mencerminkan kondisi rakyat sesungguhnya.
Kapitalisme sendiri, sebagai sistem yang menjadi dasar kebijakan ekonomi di Indonesia, telah terbukti gagal menyejahterakan rakyat. Sistem ini membiarkan distribusi kekayaan tidak merata, membebaskan pasar dari pengawasan, dan memberikan kuasa besar kepada korporasi untuk mengendalikan harga dan kebutuhan pokok masyarakat. Maka, jangan heran jika kemiskinan tetap eksis meski pertumbuhan ekonomi terus digembor-gemborkan.
Menurut pendapat penulis, satu-satunya sistem yang mampu menghapuskan kemiskinan secara mendasar adalah sistem ekonomi Islam. Islam memandang bahwa pemenuhan kebutuhan pokok seperti sandang, pangan, dan papan adalah tanggung jawab negara, bukan diserahkan kepada mekanisme pasar. Rasulullah ï·º bersabda, "Imam (khalifah) adalah pemelihara dan ia bertanggung jawab terhadap rakyatnya." (HR. Bukhari dan Muslim)
Dalam sistem ekonomi Islam, negara akan menjamin setiap individu mendapatkan hak-haknya. Jika seseorang tidak mampu memenuhi kebutuhannya, maka negara wajib mencukupinya melalui Baitul Mal. Dana Baitul Mal berasal dari berbagai sumber, seperti zakat, kharaj, jizyah, ghanimah, dan pengelolaan sumber daya alam. Negara tidak akan membiarkan rakyat terlantar hanya karena tidak mampu bersaing di pasar bebas.
Sebagai contoh, ketika terjadi kelaparan di masa Khalifah Umar bin Khattab, beliau tidak hanya mengandalkan bantuan masyarakat, tetapi langsung mengambil kebijakan strategis dengan mengatur distribusi makanan dari daerah lain dan memberikan makanan langsung ke rumah-rumah yang membutuhkan. Ini menunjukkan bahwa dalam Islam, negara hadir secara nyata dan aktif dalam menyelesaikan masalah rakyat, bukan sekadar mengeluarkan data statistik.
Kemiskinan dalam sistem Islam bukanlah soal angka, melainkan soal amanah dan tanggung jawab. Negara akan menciptakan sistem pendidikan, kesehatan, dan ekonomi yang memungkinkan rakyat hidup layak dan mandiri. Tidak ada eksploitasi terhadap buruh, tidak ada kapitalisasi terhadap kebutuhan dasar, dan tidak ada oligarki ekonomi yang menyedot kekayaan nasional untuk kepentingan segelintir elit.
Sudah saatnya umat Islam, khususnya para intelektual dan pengemban dakwah, menyuarakan pentingnya perubahan sistemik dalam tata kelola ekonomi. Penyadaran ini harus masif dilakukan di tengah masyarakat agar muncul opini umum yang menyadari bahwa sistem kapitalisme telah gagal, dan hanya sistem Islam yang mampu menjadi solusi.
Dakwah penegakan sistem Islam ini harus dilakukan dengan metode dakwah Rasulullah ï·º, salah satunya melalui pembinaan dan pencerdasan umat berbasis akidah Islam. Kesadaran ini akan mendorong terbentuknya dukungan luas terhadap tegaknya kepemimpinan Islam yang akan menerapkan sistem ekonomi yang adil dan menyejahterakan.
Dengan demikian, kita tidak lagi terjebak dalam ilusi angka-angka statistik, tetapi benar-benar menyaksikan kehidupan masyarakat yang terbebas dari kemiskinan, baik secara lahiriah maupun batiniah. Wallahu a’lam bish-shawab.
Referensi:
>https://tirto.id/penyebab-data-kemiskinan-bps-dan-bank-dunia-berbeda-hbfu
>https://www.liputan6.com/bisnis/read/6009925/bank-dunia-pengeluaran-Rp-113777-per-hari-masuk-kategori-miskin
>https://finance.detik.com/berita-ekonomi-bisnis/d-7893861/laporan-bank-dunia-60-penduduk-ri-miskin-kepala-bps-bilang-begini#goog_rewarded
>https://bps.go.id
Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.
0 Komentar