Proyek Mewah Penguasa, Bukti Pengkhianatan di Depan Mata


Oleh: Lisa Izzate

Baru-baru ini, publik dikejutkan dengan peresmian kantor Perbekel Gulingan oleh Sekda Badung I Wayan Adi Arnawa, yang menelan anggaran hingga Rp20 miliar. Fakta ini memunculkan berbagai reaksi, terutama di tengah kondisi masyarakat yang masih banyak bergelut dengan kesulitan ekonomi.

Besarnya anggaran untuk pembangunan kantor pemerintah ini seolah mencerminkan prioritas penguasa yang tidak berpihak pada kebutuhan dasar rakyat. Dalam kacamata Islam, tindakan penguasa semacam ini harus dikaji lebih dalam, karena berkaitan erat dengan moral dan tanggung jawab amanah kekuasaan.

Islam memandang penguasa sebagai ra’in (penggembala) dan junnah (perisai) bagi rakyatnya, sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW: "Imam adalah penggembala dan ia bertanggung jawab atas rakyatnya." (HR. Bukhari dan Muslim).

Seorang pemimpin yang bijak dalam Islam akan mengutamakan kemaslahatan umat di atas kemewahan pribadi atau prestise jabatan. Menghamburkan dana dalam proyek fisik mewah saat rakyat masih banyak yang hidup dalam keterpurukan, menunjukkan krisis moral dan kurangnya empati terhadap penderitaan masyarakat.

Seandainya para penguasa benar-benar pro rakyat, dana sebesar itu tentu akan diarahkan untuk memperbaiki layanan kesehatan, pendidikan, akses air bersih, atau program pemberdayaan ekonomi rakyat kecil. Penggunaan dana publik yang boros dan tidak tepat sasaran justru memperparah ketimpangan dan menciptakan jurang antara penguasa dengan rakyatnya. Ini adalah bentuk kemunduran moral yang sangat disayangkan, terlebih ketika hal itu dilakukan atas nama pembangunan.

Dalam sistem pemerintahan Islam, seorang pemimpin tidak hanya bertanggung jawab di dunia, tetapi juga akan dimintai pertanggungjawaban di akhirat. Khalifah Umar bin Khattab pernah berkata, "Andai ada seekor keledai yang terperosok di Irak, aku khawatir Allah akan menanyakan mengapa aku tidak meratakan jalan untuknya." Inilah gambaran ideal dari pemimpin dalam Islam yang penuh rasa takut kepada Allah dan sadar akan beratnya amanah yang diemban. Maka, setiap keputusan penggunaan dana negara harus melalui pertimbangan maslahat rakyat, bukan sekadar citra atau kemewahan.

Solusi hakiki dari carut-marut kepemimpinan hari ini hanya bisa diwujudkan dengan kembali pada sistem Islam dalam bingkai khilafah. Sebuah sistem yang menjadikan syariat sebagai landasan, dan menjadikan penguasa sebagai pelayan umat, bukan penguasa atas umat. Dalam khilafah, alokasi anggaran akan benar-benar berpihak pada kesejahteraan rakyat, karena penguasa dipilih bukan untuk memperkaya diri, tetapi untuk menunaikan amanah sebagai pelindung dan pengurus urusan umat.




Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.

Posting Komentar

0 Komentar