Oleh: Ferdina Kurniawati (Aktivis Dakwah Muslimah)
Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Arifatul Choiri Fauzi melambaikan tangannya seusai melakukan kunjungan kerja di kantor DKP3A Kalimantan Timur di Samarinda, Kaltim, Jumat (9/5/2025). Dalam kunjungan tersebut Arifatul Choiri Fauzi memberikan dukungan, mulai dari pendampingan psikologis, pemenuhan hak pendidikan, hingga tempat perlindungan terhadap korban anak kelas 6 SD yang hamil oleh ayah tirinya. (AntaraKaltim)
Selama 2023 ini, Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) telah menerima 2.739 laporan kasus kekerasan seksual terhadap anak yang terjadi di beberapa daerah di Indonesia. Jumlah tersebut mengalami peningkatan dibandingkan 2022. Ironisnya, justru sebagian besar pelakunya (52%) adalah orang terdekat dalam lingkup keluarga, seperti ayah kandung, ayah tiri, kakek, kakak korban, paman, dan teman dekat. (Kompas)
Komnas PA pun menegaskan bahwa masih tingginya angka kekerasan seksual terhadap anak adalah tanggung jawab bersama, baik dari unsur pemerintahan, penegak hukum, dan masyarakat luas, yakni dalam rangka melindungi anak-anak. Hanya saja masalahnya, berhubung pelakunya orang terdekat, sejauh ini penyelesaian kasus kekerasan seksual pada anak cenderung menggunakan cara kekeluargaan dibandingkan jalur hukum.
Pelaku orang terdekat ini juga sering kali menjadi alasan korban untuk takut melapor, terlebih pelaku biasanya terlihat sebagai orang baik. Selain itu, relasi kuasa pun menjadi faktor penyebab korban takut melapor. Maksudnya, ada hubungan kuat berupa kendali dari pelaku terhadap korban.
Sistem Sekuler Biang Keladinya
Kekerasan seksual pada anak tentunya tidak terjadi begitu saja. Kekerasan seksual adalah buah sesat yang kemunculannya tidak dapat kita bantah lagi karena sistem sekuler adalah sang biang keladi.
Titik kritis yang semestinya menjadi alarm bersama adalah bahwa kasus kekerasan seksual tersebut sejatinya muncul akibat pola pikir liberal (serba bebas). Ini karena pola pikir liberal memang dibiarkan tumbuh subur sebagai konsekuensi tegaknya sistem demokrasi dengan akidahnya, yakni sekularisme (pemisahan agama dari kehidupan). Bagi demokrasi, kebebasan berperilaku adalah salah satu pilarnya sehingga segala sesuatu yang lahir dari demokrasi tidak akan jauh dari warna sekuler.
Keberadaan media terlebih media sosial juga diposisikan sebagai instrumen untuk menderaskan ide-ide liberal seperti pornografi dan pornoaksi secara langsung di gawai masing-masing individu. Ini adalah faktor yang turut mempercepat terjadinya kekerasan seksual. Begitu pula lemahnya filter media yang nyatanya diperparah oleh tipisnya kadar keimanan individu, menunjang abainya keterikatan mereka pada standar halal-haram.
Apalagi korbannya anak-anak, yang mereka itu masih lemah dan lugu. Semestinya orang terdekat justru menjadi pelindung utama mereka dari kebinasaan. Namun sekularisme yang begitu kuat menancap dalam benak pelaku, telah menyebabkannya begitu mudah meniru konten bejat di media sehingga kemudian berkeinginan untuk melampiaskan nafsunya kepada korban terdekat pula.
Tidak Cukup Peran Keluarga
Mencermati pelaku yang mayoritas orang terdekat ini, justru terlalu berat, bahkan mustahil, mengandalkan keluarga sebagai tumpuan utama untuk melindungi anak-anak dari kekerasan seksual. Tidak mungkin pelaku yang merupakan salah satu anggota keluarga yang sama malah diminta berperan melindungi anak-anak dari kekerasan seksual. Jika tidak segera dihentikan, justru dirinyalah yang akan menjadi predator seksual pertama dan utama untuk anak-anak di keluarga tersebut.
Di samping itu, faktor ketakutan korban untuk melapor juga menguntungkan pelaku. Pelaku jadi leluasa untuk melakukan kekerasan seksual pada korban berkali-kali. Ini tentu tidak boleh dibiarkan. Di satu sisi, korban harus berani mengungkapkan tindakan kemaksiatan yang menimpanya, setidaknya kepada orang terdekat yang benar-benar bisa dipercaya. Di sisi lain, masyarakat di sekitar tempat tinggal korban juga harus peduli dan memiliki fungsi sebagai kontrol sosial yang mumpuni. Masyarakat tidak boleh individualistis. Bagaimanapun, kekerasan seksual adalah tindak kriminal yang keji.
Selanjutnya, perlu peran strategis dari penguasa, baik setempat maupun tingkat yang lebih tinggi hingga ke pemerintah pusat. Mereka harus menerbitkan kebijakan agar terjadinya kekerasan seksual bisa dihentikan secara sistemis.
Faktor-faktor yang mempercepat proses terjadinya pun harus dibeantas hingga tuntas. Media harus menjadi instrumen positif, bukan malah disalahgunakan untuk menderaskan ide sekuler liberal. Satuan-satuan pendidikan pun tidak boleh tersusupi ide-ide liberal.
Demikian halnya keberadaan payung hukum yang akan memberikan keadilan bagi korban, harus menyajikan sanksi yang tegas dan memberikan efek jera bagi pelaku sehingga terwujud keadilan yang nyata.
Islam Solusi Sahih
Sebagai sistem kehidupan yang paripurna, Islam telah memberikan tanggung jawab yang sepadan kepada kaum muslim, baik individu, keluarga, masyarakat, terlebih lagi negara untuk melindungi rakyatnya.
Dalam keluarga, ayah bertanggung jawab memberi nafkah dan menjaga keamanan keluarga dari berbagai gangguan. Orang tua juga berperan besar menanamkan pemahaman Islam yang kukuh kepada anak; mengasuh dan mendidik anak-anaknya dengan Islam. Hal yang penting juga adalah intens berkomunikasi dan bersahabat dengan anak-anak sehingga mereka menjadikan orang tua sebagai tempat curahan hatinya dan tidak mencari orang lain.
Pada level masyarakat, setiap anggotanya berkewajiban untuk saling amar makruf nahi mungkar dan saling menolong dalam kebaikan dan ketakwaan, termasuk membantu dalam kehidupan bermasyarakat dan menjamin rasa aman lingkungan. Ini karena Islam sangat memperhatikan kesehatan masyarakat.
Sedangkan negara, ia adalah pihak yang bertanggung jawab penuh atas rakyatnya, individu per- individunya. Dalam Islam, tanggung jawab negara diserahkan kepada kepala negara, yaitu khalifah sebagai imam atau pemimpin kaum muslim.
Sebagai raa’in, kepala negara harus melindungi rakyatnya dari segala mara bahaya. Kelak pada Hari Kiamat ia akan dimintai pertanggungjawaban atas amanah kepemimpinannya itu. Rasulullah saw. bersabda, “Imam adalah raa’in atau penggembala dan ia bertanggung jawab atas rakyatnya.” (HR Bukhari).
Islam mewajibkan negara untuk menjamin kehidupan yang bersih dari berbagai kemungkinan berbuat dosa. Negara menjaga agama, moral, dan menghilangkan setiap hal yang dapat merusaknya, seperti pornoaksi atau peredaran pornografi, minuman keras, narkoba, dan sebagainya.
Terkait dengan media yang mana interaksi anak dengan internet cukup intensif, maka hanya negaralah yang mampu untuk mengendalikan internet ini. Negara bisa memblokir semua situs atau jaringan apa pun yang bisa membahayakan umatnya, terlebih bagi anak-anak. Negara bertanggung jawab mengambil tindak pencegahan dari berbagai peluang yang bisa membahayakan anak.
Negara menjadi satu-satunya institusi yang mampu melindungi anak dan mengatasi persoalan kekerasan terhadap anak secara sempurna. Imam adalah junnah (perisai). Sebagaimana layaknya perisai, ia bertanggung jawab penuh terhadap rakyatnya.
Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya al-imam (khalifah) itu perisai yang (orang-orang) akan berperang di belakangnya dan berlindung (dari musuh) dengan (kekuasaan)nya.” (HR Bukhari, Muslim, Ahmad, Abu Dawud)
Adanya seorang imam atau kepala negara atau khalifah yang menjadi junnah bagi orang yang dipimpinnya yang ia melaksanakan penerapan hukum secara utuh ini, maka ia akan menyelesaikan masalah kekerasan terhadap anak secara tuntas. Anak-anak dapat tumbuh dengan aman, menjadi calon-calon pemimpin, calon-calon pejuang, dan calon generasi terbaik. Hanya saja, ini semua akan bisa terwujud dalam negara yang menerapkan sistem Islam secara utuh, yaitu Daulah Khilafah Islamiah.
Dalam Islam, negara berperan sebagai pelaksana utama diterapkannya seluruh syariat Islam. Tidak pandang bulu siapa pun pelaku tindak kriminal, negara berwenang memberikan sanksi sesuai ketetapan syariat Islam, termasuk bagi pelaku tindak kejahatan terhadap anak. Sanksi yang diberikan sesuai dengan tindak kejahatan atau kekerasan yang dilakukan si pelaku. Jika si pelaku terbukti sampai melakukan tindak perkosaan, ia akan dijatuhi had zina, yaitu dirajam jika pelakunya sudah menikah dan dijilid (dicambuk) 100 kali dan diasingkan selama setahun jika belum pernah menikah.
Dalam Islam, jangankan nyawa dan kehormatan manusia, nasib seekor keledai pun amat diperhatikan oleh pemimpin, sebagaimana perkataan Khalifah Umar bin Khaththab ra. yang masyhur, “Jika ada anak domba mati sia-sia di tepi Sungai Eufrat (di Irak), sungguh aku takut Allah akan menanyaiku tentang hal itu.” (HR Adz-Dzahabi).
Jika nasib anak domba saja begitu dicemaskan oleh para khalifah, apalagi nasib anak-anak manusia? Demikianlah keunggulan sistem kehidupan Islam. Masihkah berharap pada sistem sekuler kapitalisme yang sungguh telah gagal melindungi rakyatnya?
Wallahu'alam Bi Shawab
Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.
0 Komentar