Oleh: Imas Royani, S.Pd.
Kehilanganmu mulai dirasakan menjelang Idul Fitri
Di saat aku benar-benar membutuhkanmu
Dimanakah dirimu berada?
Dan kini kamu hadir dengan penuh keangkuhan
Cantikmu kini menjadi barang antik
Langka dan mahal
Guys, itu bukan puisi dari pujangga cinta yang patah hati akibat ditinggal sang kekasih. Itu adalah ratapan atau lebih tepatnya ocehan emak-emak akibat kelapa yang telah menjadi barang langka dan mahal. Secara, harganya melonjak sampai berkali lipat. Tak heran jika sayur lodeh dan opor emak mendadak encer, serundeng di ayam gorengnya juga jadi menyusut. Bayangkan saja, sebelumnya harga kelapa Rp10.000-an, tetapi sekarang bisa sampai Rp25.000.
Faktor utama penyebab lonjakan harga kelapa diduga karena meningkatnya volume ekspor kelapa ke sejumlah negara. Ekspor kelapa bulat Indonesia mengalami peningkatan signifikan sepanjang Januari—Februari 2025. Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS), total nilai ekspor kelapa mencapai US$30,8 juta atau sekitar Rp517 miliar. Volume ekspor kelapa tercatat sebesar 71.077 ton dengan Cina sebagai negara tujuan utama, yakni sebesar 68.065 ton, disusul oleh Vietnam, Thailand, dan Malaysia. Kenaikan ekspor dari bulan ke bulan mencapai 29,84%.
Tingginya permintaan kelapa itu menyebabkan harga kelapa meningkat. Kenaikan harga kelapa ini berdampak pada berkurangnya pembeli di pasar dalam negeri. Para pedagang kelapa parut juga mengaku mengalami penurunan penjualan. Omzet pedagang kelapa parut menyusut hingga 50% lebih karena sepi pembeli setelah harga jual kelapa parut melonjak hingga dua kali lipat.
Tidak dimungkiri, banyak konsumen terpaksa mengganti kelapa parut dengan santan instan atau bahkan susu full cream yang harganya lebih murah. Ada juga yang mmenuhi kebutuhan serundengnya dengan serundeng instan yang sudah pasti tidak seenak serundeng dadakan.
Jelas ini bukan salah petani kelapa yang telah bertahun-tahun mengalami penindasan dan keterpurukan akibat rendahnya harga jual. Kita tidak bisa memungkiri bahwa petani kelapa merasa wajar untuk ekspor karena selama ini mereka merasakan rendahnya harga kelapa. Melalui ekspor, mereka merasa bisa meningkatkan harga sekaligus daya tawar kelapa sebagai komoditas ekonomi. Pada titik ini tampak bahwa kesejahteraan petani kelapa masih menjadi problematik yang belum teratasi.
Lebih jauh lagi, ini menunjukkan abainya pemerintah terhadap industri kelapa. Di dalam negeri, pemerintah gagal menjaga pasokan dan keseimbangan harga di pasaran. Pemerintah cenderung tidak peduli dengan kebutuhan kelapa di pasar dalam negeri, padahal keberadaan kelapa beserta santannya penting bagi sektor kuliner rakyat. Kelangkaan maupun kurangnya pasokan tentu akan berefek domino bagi produk-produk turunan kelapa, padahal konsumennya adalah masyarakat luas. Anehnya_lebih tepatnya rakusnya_untuk urusan ekspor, pemerintah tampaknya lebih fokus karena tentunya berimplikasi pada pemasukan negara berupa cukai.
Itu hanya sebagian kecil dampak buruk dari penerapan sistem kapitalisme dimana pemerintah memposisikan dirinya sebagai pedagang yang harus mendapatkan untung sebesar-besarnya dari rakyat yang diposisikan sebagai pembeli. Tidak ada niatan negara untuk melindungi perkebunan dan perdagangan komoditas kelapa. Pemerintah lebih mementingkan kebutuhan kelapa masyarakat luar negeri dibandingkan kebutuhan rakyatnya sendiri. Aneh!
Berbeda dengan sistem Islam.Syekh Abdurrahman al-Maliki rahimahullah di dalam kitab As-Siyasah al-Iqtishadiyah al-Mutsla (Politik Ekonomi Islam) menyatakan bahwa perdagangan adalah jual beli, baik dalam bentuk perdagangan dalam negeri maupun luar negeri.
Perdagangan dalam negeri menurut Islam sejatinya tidak membutuhkan kajian atau penjelasan tertentu, tetapi cukup dengan penerapan hukum jual beli sebagaimana yang telah syarak tentukan. Perdagangan dalam negeri tidak membutuhkan supervisi dari negara secara khusus, melainkan cukup secara umum dalam konteks agar perdagangan tersebut terikat dengan hukum syarak dan negara dapat memberikan sanksi jika terjadi pelanggaran.
Hal ini berbeda dengan perdagangan luar negeri yang membutuhkan penjelasan khusus karena memiliki hukum-hukum yang khas. Dalam perdagangan luar negeri, para pedagang yang termasuk warga negara Islam (Khilafah), baik itu muslim atau nonmuslim (ahlu adz-dzimmah), berhak melakukan perdagangan luar negeri sebagaimana perdagangan dalam negeri. Mereka berhak melakukan ekspor dan impor atas komoditas yang mereka kehendaki dari negara mana pun.
Ekspor dan impor yang dilakukan warga negara Islam adalah mubah kecuali dalam dua keadaan. Pertama, ekspor dan impor komoditas yang jika dilakukan akan berdampak bahaya (dharar) akan dilarang hanya untuk komoditas tersebut. Kedua, ekspor dan impor dengan negara yang sedang melangsungkan perang fisik secara riil dengan negara Islam (kafir harbi fi’lan) haram dilakukan.
Sedangkan untuk orang-orang kafir mu’ahid (nonmuslim yang negaranya terikat perjanjian dengan negara Islam), mereka diperlakukan sesuai isi perjanjian yang terjadi dengan mereka, baik terkait komoditas yang mereka ekspor ke negara Islam atau impor dari negara Islam.
Untuk warga dari negara kafir harbi hukman (negara yang secara de facto tidak sedang berperang maupun mengadakan perjanjian damai dengan negara Islam), mereka tidak diperbolehkan masuk ke wilayah negara Islam kecuali dengan izin masuk khusus (visa). Dengan adanya visa, itu juga menjadi izin bagi komoditas perdagangannya untuk masuk ke wilayah negara Islam. Artinya, ia boleh melakukan ekspor ke negara Islam maupun impor dari negara Islam.
Untuk komoditas tertentu yang jika diekspor atau diimpor akan berdampak negatif (buruk, bahaya), ekspor dan impor komoditas tersebut dilarang. Sedangkan aktivitas ekspor dan impor semua komoditas tetap mubah. Hal ini sebagaimana kaidah, “Setiap bagian dari bagian sesuatu yang mubah, apabila padanya terdapat kerusakan (dharar) maka bagian itu saja yang dilarang, sedangkan sesuatu itu tetap mubah.” Ini artinya, komoditas yang jika diekspor atau diimpor akan menimbulkan dharar, komoditas itu akan dilarang untuk diekspor ataupun diimpor.
Jika kita mencermati kaidah ini dan dikaitkan dengan peristiwa ekspor kelapa dan kurangnya pasokan di dalam negeri, ini semestinya menjadi patokan sehingga ekspor kelapa tidak dilakukan sampai kebutuhan kelapa di dalam negeri tercukupi.
Namun demikian, penguasa tetap harus memberikan jaminan agar perdagangan komoditas kelapa di dalam negeri kondusif dan mampu mencukupi kebutuhan pasar dalam negeri. Ini tidak lain karena peran penguasa di dalam Islam adalah sebagai raa’in (pengurus) dan junnah (pelindung). Jaminan tersebut hendaknya penguasa berikan, baik di sektor hulu maupun hilir.
Di sektor hulu, yakni perkebunan kelapa, penguasa harus memberikan jaminan kepada petani kelapa berupa politik pertanian dalam rangka meningkatkan produksi pertanian. Negara bisa menempuh dua jalan, pertama adalah intensifikasi pertanian, seperti pemberian benih unggul, edukasi mengenai teknik pertanian terkini, fasilitas riset oleh para ahli, modal bertani/berkebun, juga subsidi alat dan mesin pertanian (alsintan), pupuk, serta obat-obatan. Kedua adalah ekstensifikasi pertanian, yakni dengan menambah areal luas lahan pertanian/perkebunan. Ekstensifikasi bisa ditempuh dengan merealisasikan konsep menghidupkan tanah mati (ihya’ul mawat), yaitu dengan menghidupkan (ihya’), memagari (tahjir), dan pemberian tanah oleh negara (iqtha’).
Di sektor hilir, penguasa bisa memberikan jaminan serapan pasar sehingga para petani tidak bingung mencari target pasar bagi komoditas kelapanya. Hendaknya penguasa juga mengondisikan iklim bisnis yang efektif menyerap komoditas kelapa, seperti pedagang kelapa parut, industri minyak kelapa dan santan instan/kemasan, rumah makan, serta produsen dan pedagang jajanan pasar.
Setelah seluruh sektor ekonomi strategis di dalam negeri yang membutuhkan komoditas kelapa sudah tercukupi pasokannya, barulah penguasa mempertimbangkan untuk melakukan ekspor kelapa. Hal itu dilakukan bukan melalui mekanisme pasar bebas seperti dalam sistem kapitalisme, tetapi menurut konsep ekspor dan impor sebagaimana ketetapan Islam.
Begitu sempurnanya sistem Islam sehingga persoalan kelapa saja diselesaikan dengan begitu bijaksana. Seandainya Indonesia menerapkan sistem Islam, tentu kesejahteraan bukan menjadi khayalan. Dan memang bisa dilakukan asalkan memiliki keyakinan dan kesadaran akan pentingnya diterapkan sistem Islam dalam kehidupan termasuk bernegara. Dengan diterapkannya sistem Islam, Indonesia bukan lagi negara berkembang seperti sekarang, Indonesia akan menjadi negara maju dan terdepan dalam segala bidang.
Wallahu'alam bishshawab.
Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.
0 Komentar