Oleh : Nola Aulia
Tren di media sosial yang baru viral beberapa waktu lalu menunjukkan betapa berbedanya kehidupan antara rakyat yang kaya dan miskin. Di mana kesenjangan sosial yang dibalut menjadi konten – konten lucu berseliweran di media sosial. Bukan hanya itu, fakta di lapangan juga menunjukkan demikian, kesenjangan sosial dan ekonomi tergambar jelas di tengah-tengah masyarakat saat ini. Namun data nasional menunjukkan yang sebaliknya, di mana Kepala Badan Pusat Statistik (BPS), Amalia Adininggar Widyasanti memaparkan bahwa angka kemiskinan berada pada angka 8,75 persen atau sekitar 24,06 juta per September 2024 (tirto.id/02/05/2025).
Berbeda dengan yang dikemukakan oleh Bank Dunia pada data Macro Poverty Outlook April 2025, penduduk miskin di Indonesia mencapai 60,3 persen dari total penduduk atau sebesar 171,8 juta jiwa. Hal ini berbeda jauh dengan data yang ditunjukkan oleh BPS, dan perbedaan ini dianggap wajar karena adanya perbedaan standar dalam menentukan garis kemiskinan antara perhitungan data nasional dan global. Dan perbedaan standar tersebut dikarenakan adanya perbedaan tujuan dalam perhitungannya.
Jomplangnya perbedaan standar kemiskinan nasional dan global ini disebabkan oleh adanya perbedaan standar pengukur kemiskinan. Seseorang bisa dikategorikan tidak miskin secara nasional, tetapi masuk dalam kategori miskin ekstrem secara global. Oleh karena itu butuh data yang akurat terhadap realitas kemiskinan di lapangan. Dan standar pengukuran yang tepat sangatlah dibutuhkan. Standar yang seperti apa dan menurut siapa yang dapat mengukur sebuah taraf kemiskinan seseorang.
Perbedaan standar kemiskinan ini merupakan dampak dari penerapan sistem Kapitalisme dalam tata kelola ekonomi dan sosial. Dengan standar rendah, negara bisa mengklaim sukses "mengurangi kemiskinan", padahal itu hanya manipulasi angka untuk menarik investasi. Di mana hal tersebut bertujuan untuk mempertahankan investor asing dan menarik investor baru ke negara ini.
Keinginan untuk menunjukkan ke mata dunia bahwa negara ini baik – baik saja nyata nya tidak berjalan dengan lancar. Data – data yang dikemukakan oleh BPS tidak sama dengan fakta yang ada di lapangan. Kemiskinan masih menggerogoti tiap individu dan keluarga di negara ini, hanya sebagian kecil rakyat yang sejahtera karena mendapat keuntungan dari berbagai bisnis yang dijalankan. Dan menjadikan si kaya semakin kaya dan si miskin menjadi lebih menderita. Faktanya sistem Kapitalisme gagal menyejahterahkan rakyat dan tidak ada satupun jaminan dari sistem ekonomi dan sosial yang diusung dari sistem ini berhasil menanggulangi masalah – masalah yang saat ini sedang terjadi secara tuntas.
Sekali lagi sistem Kapitalisme menunjukkan wajah asli nya. Kesejahteraan yang digadang – gadang akan terwujud nyata nya belum terwujud hingga saat ini. Sistem yang dibuat oleh manusia memang tidak bisa dijadikan pedoman dalam menyelesaikan masalah. Hanya sistem Islam lah yang mampu menjadi solusi nyata dalam menyelesaikan masalah hingga akarnya.
Sistem Ekonomi Islam adalah solusi untuk mengentaskan kemiskinan. Islam memandang bahwa pemenuhan kebutuhan pokok setiap individu adalah tanggung jawab negara, bukan diserahkan kepada mekanisme pasar atau korporasi.
Rasulullah SAW. bersabda : "Imam (khalifah) adalah pemelihara dan ia bertanggung jawab terhadap rakyatnya." (HR. Bukhari dan Muslim).
Negara bertanggung jawab penuh atas terpenuhinya kebutuhan pokok setiap rakyatnya, sehingga tidak mungkin ada kemiskinan yang melanda. Seperti pada masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz yang mampu mensejahterakan rakyat nya dengan cara menegakkan hukum dan melarang praktik korupsi, serta memastikan zakat yang disalurkan sudah tepat sasaran. Beliau memastikan bahwa setiap rakyat mendapatkan hak – hak dasarnya.
Kebutuhan dan kesejahteraan rakyat lah yang menjadi prioritas utama negara yang menerapkan sistem Islam, sedangkan bagi pemimpin negara dan jajarannya akan senantiasa hidup sederhana tanpa berpikir untuk memperkaya dirinya sendiri.
Wallahu’alam bish-shawab
Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.
0 Komentar