Oleh : Adrina Nadhirah (Mahasiswa STEI Hamfara)
“Sudah ber-KB atau belum? Kalau belum, KB dulu. Baru bisa terima bantuan.”
Pernyataan ini datang dari Dedi Mulyadi, anggota DPR RI, yang mengusulkan agar program KB, khususnya KB laki-laki, dijadikan syarat untuk menerima bantuan sosial dari pemerintah. Ia beralasan, hal ini untuk pemerataan bantuan dan menekan angka kelahiran yang dianggap sebagai penyebab kemiskinan. (Tempo.co)
Usulan ini jelas menimbulkan banyak kontroversi. Benarkah memiliki banyak anak adalah akar kemiskinan? Lalu, apakah adil jika bantuan sosial yang seharusnya diberikan atas dasar kebutuhan malah dikaitkan dengan pilihan pribadi seperti ikut KB atau tidak?
Di sinilah kita perlu melihat lebih dalam. Permasalahan kemiskinan bukan sekadar jumlah anak, tapi soal bagaimana kekayaan negara dikelola dan didistribusikan. Ketika sistem ekonomi yang diterapkan hari ini yaitu kapitalisme tidak mampu memenuhi kebutuhan rakyat, maka menyalahkan rakyat miskin karena jumlah anak mereka adalah hal yang keliru.
Islam menawarkan jalan keluar yang berbeda. Bukan dengan membatasi kelahiran, tapi dengan mengatur ekonomi secara adil, menjamin kebutuhan pokok rakyat, dan menghapuskan kesenjangan yang diciptakan oleh sistem yang timpang. Maka, sudah saatnya kita mengkritisi kebijakan semacam ini dan melihat kembali solusi yang ditawarkan Islam secara menyeluruh.
Kapitalisme dan Pandangannya terhadap Kemiskinan
Filosofi ekonomi kapitalisme bertumpu pada pertumbuhan ekonomi, kompetisi bebas, dan kepemilikan individu tanpa batas. Sistem ini membuka jalan bagi akumulasi kekayaan di tangan segelintir orang yang memiliki akses terhadap modal dan sumber daya. Dalam praktiknya, berlaku hukum rimba: yang kuat bertahan dan mendominasi, sementara yang lemah tersingkir dari sistem.
Dalam paradigma kapitalis, masalah utama ekonomi adalah kelangkaan sumber daya. Oleh karena itu, solusinya adalah memperbanyak produksi, bukan memperbaiki distribusi kekayaan. Distribusi tidak menjadi perhatian utama karena sistem ini memandang bahwa pasar bebas akan mengatur dirinya sendiri. Negara dalam kapitalisme hanya berperan sebagai fasilitator pasar, bukan penjamin kesejahteraan rakyat.
Padahal, jika kita melihat realitas di Indonesia, negara yang kaya akan sumber daya alam ini justru masih menyisakan banyak penduduk yang hidup dalam kemiskinanIronisnya, banyak kekayaan alam justru dikuasai oleh swasta maupun asing, bukan dikelola untuk kesejahteraan rakyat secara luas.
Dari berbagai fakta tersebut, kita dapat memahami bahwa kebijakan seperti vasektomi sebagai syarat bantuan sosial bukanlah lahir dari prinsip keadilan sosial, melainkan dari paradigma efisiensi biaya yang memang dianut kapitalisme. Bukan kemiskinan yang diatasi, tetapi angka penduduk miskin yang ingin ditekan tanpa menyentuh akar permasalahan yang sebenarnya.
Analisis Islam terhadap Akar Kemiskinan
Berbeda dengan kapitalisme, sistem ekonomi Islam tidak memandang kemiskinan sebagai akibat dari kelangkaan produksi, melainkan akibat ketimpangan distribusi. Islam mengakui bahwa manusia telah diberi akal oleh Allah SWT untuk mengelola sumber daya dan menghasilkan barang. Namun, Islam menetapkan aturan yang tegas dalam hal kepemilikan dan distribusi, agar kesejahteraan tidak hanya dinikmati segelintir orang.
Tujuan ekonomi dalam Islam bukan sekadar pertumbuhan agregat, melainkan terpenuhinya kebutuhan pokok setiap individu baik sandang, pangan, papan, pendidikan, dan kesehatan. Ini bukan sekadar peran ideal, tetapi kewajiban negara untuk memenuhinya.
Bahkan dalam konteks ekonomi, Umar bin Khattab pernah berkata: “Jika ada seekor keledai mati kelaparan di Irak, aku takut Allah akan meminta pertanggungjawaban kepadaku karena tidak menyiapkan jalan untuknya.”
Islam juga tidak pernah menganggap anak sebagai beban ekonomi. Sebaliknya, Islam menegaskan bahwa anak adalah rezeki dari Allah, bukan beban negara apalagi faktor penyebab kemiskinan.
“Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut miskin. Kami-lah yang memberi rezeki kepada mereka dan juga kepada kamu.” (QS. Al-Isra’: 31)
Dalil-dalil ini secara jelas membantah logika vasektomi yang berangkat dari ketakutan akan ketidakmampuan ekonomi. Ini adalah prinsip kepemilikan umum dalam Islam. Maka, seharusnya sumber daya alam dikelola oleh negara dan hasilnya dikembalikan kepada rakyat dalam bentuk layanan publik gratis atau subsidi, bukan menjadi sumber keuntungan korporasi.
Jika negara mengelola sumber daya publik sesuai dengan aturan Islam, maka kebutuhan dasar rakyat akan tercukupi tanpa harus dikaitkan dengan jumlah anak, sterilisasi, atau kebijakan diskriminatif lainnya. Solusi kemiskinan bukan mengurangi jumlah penduduk, melainkan mengatur kepemilikan dan distribusi kekayaan secara adil sesuai syariat.
Wallahu a’lam bissawab.
Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.
0 Komentar