Oleh : Hazifah Mujtahidah
Pendahuluan
Pemerintah Indonesia, melalui Kementerian Sosial, baru-baru ini meluncurkan program “Sekolah Rakyat” (SR) sebagai respons terhadap tingginya angka putus sekolah dan kemiskinan ekstrem. Program ini dipuji sebagai langkah strategis Presiden Prabowo Subianto untuk memutus rantai kemiskinan antar generasi, dengan menyasar anak-anak dari keluarga miskin dan miskin ekstrem yang tak mampu mengakses pendidikan formal. Namun, di balik gemerlap retorika “keberpihakan pada wong cilik”, tersimpan pertanyaan mendasar: apakah program ini benar-benar solusi hakiki atau sekadar tambal sulam atas kerusakan sistemik akibat penerapan kapitalisme dalam pengelolaan negara?
Sekolah Rakyat: Konsep dan Implementasi
Menurut Menteri Sosial Tri Rismaharini, Sekolah Rakyat hadir untuk membantu anak-anak yang putus sekolah karena alasan ekonomi, akses, atau faktor sosial lainnya. Sekolah ini tidak memungut biaya dan diklaim sebagai ruang alternatif bagi mereka yang terpinggirkan dari sistem pendidikan formal.
Wakil Menteri Sosial, Harry Hikmat, menegaskan bahwa program SR bukan sekadar pendidikan, tetapi pendekatan komprehensif. Pemerintah menjamin pemenuhan kebutuhan dasar siswa-siswi seperti makanan, seragam, dan transportasi, serta mendorong kedisiplinan. Tujuannya, agar mereka bisa "menjadi orang sukses", seperti harapan Mensos Risma. SR pun digelar di berbagai wilayah, termasuk menggunakan gedung-gedung tak terpakai atau bahkan berbagi dengan sekolah lain—yang pada kasus di Bandung menimbulkan konflik penggunaan lahan antara SLB Negeri A Pajajaran dan SR. Ini menandakan lemahnya perencanaan jangka panjang dan koordinasi lintas sektor pemerintah.
Namun, program ini belum menjawab akar masalah sesungguhnya: mengapa anak-anak bisa terputus dari pendidikan? Mengapa kemiskinan masih begitu massif, padahal Indonesia telah merdeka lebih dari 70 tahun dan telah berganti berbagai rezim pemerintahan?
Kemiskinan Struktural dan Ilusi Solusi
Kemiskinan yang melatarbelakangi angka putus sekolah bukanlah semata-mata karena individu tidak bekerja keras atau karena kurangnya bantuan sosial dari negara. Ini adalah kemiskinan struktural, yakni kemiskinan yang bersumber dari struktur dan sistem sosial-ekonomi yang tidak adil.
Indonesia selama ini menganut sistem ekonomi kapitalisme neoliberal, di mana negara bukan sebagai pengurus rakyat (raa'in), tetapi sebagai regulator kepentingan korporasi dan oligarki. Anggaran pendidikan memang ada, tetapi sebagian besar terserap untuk sektor-sektor birokrasi, atau malah bocor karena korupsi. Sementara itu, biaya hidup semakin tinggi, pekerjaan makin langka, dan PHK massal terjadi di berbagai sektor. Bagaimana mungkin rakyat bisa membiayai pendidikan anak-anaknya dengan kondisi ekonomi demikian?
Fakta juga menunjukkan bahwa SR bukan solusi menyeluruh. Kualitas pendidikan masih menjadi masalah krusial di sekolah-sekolah negeri yang seharusnya menjadi tulang punggung sistem pendidikan nasional. Banyak sekolah yang kekurangan guru berkualitas, fasilitas minim, hingga materi pembelajaran yang tidak relevan dengan kebutuhan zaman. Jika yang diperbaiki hanya sebagian kecil lewat SR, maka ini bukan perbaikan sistem, melainkan pengalihan perhatian dari kerusakan yang lebih besar.
Tanggung Jawab Negara dalam Sistem Kapitalisme
Dalam sistem kapitalisme, pendidikan dianggap sebagai komoditas, bukan hak rakyat. Negara hanya menyediakan pendidikan dasar secara gratis (dan itupun tidak merata dalam kualitas), sementara pendidikan menengah dan tinggi lebih banyak bergantung pada swasta. Akibatnya, pendidikan menjadi privilege bagi mereka yang mampu secara finansial.
Kebijakan SR sekalipun gratis, justru menegaskan paradigma negara kapitalis: negara hanya mengurusi yang paling miskin, bukan memastikan setiap warga negara mendapatkan pendidikan terbaik. Dalam kapitalisme, negara hadir hanya saat “pasar gagal”, bukan sebagai pengayom rakyat sejak awal. Sementara itu, lembaga pendidikan bermutu justru didominasi oleh swasta yang mahal dan berorientasi profit.
Islam dan Solusi Kaffah bagi Pendidikan dan Kemiskinan
Berbeda jauh dengan kapitalisme, Islam memandang pendidikan sebagai hak dasar setiap individu, dan tanggung jawab negara sebagai amanah dari Allah SWT. Dalam sistem Khilafah, negara berkewajiban menyediakan pendidikan bermutu, gratis, dan merata bagi semua rakyat—baik miskin maupun kaya, laki-laki maupun perempuan, pada semua jenjang pendidikan.
Pendidikan dalam Islam bertujuan mencetak manusia berkepribadian Islam dan memiliki kompetensi dalam bidangnya untuk membangun peradaban. Oleh karena itu, negara Islam akan:
1. Menjamin akses pendidikan berkualitas untuk semua – Negara menyediakan fasilitas pendidikan, guru yang kompeten, dan kurikulum yang berbasis akidah Islam.
2. Menanggung seluruh biaya pendidikan dari Baitul Mal – Negara tidak membebankan biaya kepada rakyat, karena memiliki sumber dana dari pos kepemilikan umum (seperti hasil tambang, minyak, gas, dan harta zakat).
3. Mengintegrasikan pendidikan dengan sistem kesejahteraan – Negara menjamin kebutuhan dasar rakyat (sandang, pangan, papan, kesehatan), sehingga anak-anak bisa belajar dengan tenang tanpa dihantui kelaparan atau ketidakpastian hidup.
4. Menjamin lapangan kerja setelah lulus – Sistem ekonomi Islam tidak membiarkan rakyat dikuasai korporasi, melainkan mengelola sumber daya alam untuk rakyat dan menciptakan banyak lapangan kerja produktif.
Dengan sistem pendidikan dan ekonomi seperti ini, tidak akan terjadi putus sekolah karena miskin. Sebaliknya, akan lahir generasi cerdas, bertakwa, dan siap mengelola dunia dengan amanah.
Kritik terhadap Tambal Sulam Kebijakan
Program SR mencerminkan pendekatan pragmatis yang bersifat jangka pendek, populis, dan media-driven. Padahal, kemiskinan dan pendidikan tidak bisa diselesaikan hanya dengan pembukaan kelas-kelas informal. Perlu pembenahan total terhadap sistem pendidikan nasional dan sistem ekonomi-politik yang menopangnya.
Kritik juga harus ditujukan pada model pembangunan hari ini yang justru memprioritaskan proyek infrastruktur mercusuar, hilirisasi tambang, dan insentif bagi investor asing, sementara rakyat kecil dibiarkan bertahan hidup dengan bantuan sosial sesaat. Lalu, muncul program seperti SR sebagai solusi “perban luka”, padahal tubuh bangsa ini sudah sekarat akibat sistem kapitalis.
Penutup: Saatnya Beralih ke Sistem Ilahiyah
Realitas hari ini menegaskan bahwa sistem kapitalisme tak mampu menjamin kesejahteraan dan pendidikan rakyat. SR hanyalah penenang sesaat di tengah kegagalan sistemik. Islam, melalui penerapan syariat secara kaffah dalam institusi Khilafah, menawarkan solusi menyeluruh yang tidak hanya memperbaiki pendidikan, tetapi juga seluruh aspek kehidupan masyarakat: ekonomi, sosial, hukum, dan politik.
Umat Islam hari ini harus menyadari bahwa solusi hakiki atas kemiskinan dan keterbelakangan pendidikan bukanlah kebijakan tambal sulam, melainkan perubahan sistem yang menyeluruh dan mendasar. Sebagaimana dahulu Rasulullah SAW dan para khalifah membangun peradaban ilmu dan kemuliaan dengan syariat Islam, maka sudah saatnya umat kembali memperjuangkan tegaknya Khilafah sebagai junnah (perisai) yang akan melindungi, mendidik, dan mensejahterakan mereka secara hakiki.
Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.
0 Komentar