Frustrasi Struktural Mewabah, Politik Representatif Mandek: One Piece Jadi Simbol Komunikasi Politik Rakyat


Oleh: Rifdah Reza R., S.Sos. (Mahasiswa Pascasarjana Komunikasi Politik)

Anggota DPR dari Fraksi Partai Golkar, Firman Soebagyo, menyatakan penolakannya terhadap aksi pengibaran bendera bergambar bajak laut dari serial One Piece yang dilakukan oleh sejumlah pengemudi truk dan masyarakat. Ia menilai tindakan tersebut berpotensi menjadi simbol pembangkangan terhadap negara, terlebih menjelang peringatan Hari Kemerdekaan RI pada 17 Agustus. (kompas.com, 01/08/2025).

Di sisi lain, Riki Hidayat, warga Kebayoran, Jakarta Selatan, yang berniat mengibarkan bendera anime One piece di depan rumahnya di momen HUT ke-80 RI, mengatakan mengibarkan bendera One Piece berarti simbol protes atau bentuk perlawanan dari rakyat yang selama ini tak puas dengan kinerja pemerintah. (tempo.co, 01/08/2025).

Pengibaran bendera bajak laut One Piece menjelang HUT ke-80 RI nyatanya memiliki pesan tersendiri, yaitu sebagai ekspresi politik. Bagaimana tidak? Di tengah ketimpangan, rakyat tidak menemukan ruang untuk bersuara melalui saluran formal. Maka, simbol populer menjadi media alternatif untuk menyampaikan pesan. Ini selaras dengan yang dikatakan Murray Edelman, bahwa politik modern sering menyuguhkan simbol sebagai pengganti solusi. Di sini simbol budaya populer hadir sebagai bentuk resistensi.

Di tengah kekacauan permasalahan negara, rakyat mengalami frustrasi struktural. Ketika rakyat merasa tidak didengar, tidak diwakili, dan tidak memiliki daya tawar dalam sistem yang dijalani, maka hal ini disebut sebagai Democratic Deficit, yaitu rakyat kehilangan kepercayaan pada demokrasi disebabkan merasa terus menerus dikhianati. Norris dalam Democratic Deficit - Critical Citizens Revisited menyampaikan bahwa, ketika frustrasi tak tertampung secara institusional, rakyat mencari saluran komunikasi di luar formalitas.

Hari ini dapat dilihat bahwa sistem representatif kehilangan fungsi substansialnya. Ketika wakil rakyat tidak memperjuangkan kepentingan rakyat, terjebak dengan pusaran kepentingan modal serta kekuasaan, dan di sinilah terpampang nyata sikap rakyat yang mulai kecewa dan mencari solusi. 

Simbol-simbol seperti One Piece menjadi bahasa “baru” yang digunakan rakyat untuk menyampaikan kritik politik. Luffy melawan Pemerintah Dunia yang korup dan ini menjadi refleksi dari harapan rakyat yang lelah dengan berbagai tindak tanduk kezaliman pemerintah dan mendambakan sosok pemimpin dan pemerintahan yang membela kaum tertindas. Charles Tilly mengatakan ini sebagai Contentious Politics, yaitu aksi kolektif yang lahir karena minimnya akses politik.

Atas kejadian di atas, saat publik ramai, reaksi pemerintah dan aparat menunjukkan sikap resah. Hal itu disebabkan karena beberapa hal. Pertama, simbol ini adalah bagian dari budaya populer yang dekat dengan rakyat bahkan menyatukan berbagai kalangan terutama Gen z dan Milenial yang mendominasi media sosial. hal ini memantik keviralan yang tinggi dan menjadi sesuatu yang sulit untuk dibendung. Kedua, mudah dipahami dan sulit dikriminalisasi karena ini merupakan ekspresi atas nilai-nilai yang sering digunakan dalam demokrasi yaitu kebebasan berekspresi. Dengan adanya penolakan justru menyiratkan adanya inkonsistensi akan makna kebebasan. 

Ketiga, ini menjadi refleksi frustrasi kolektif dalam bentuk simbolik di tengah ketidakpercayaan rakyat pada partai, parlemen, dan proses demokrasi formal. Di sini pemerintah meningkat sisi kekhawatirannya karena menunjukkan tingginya alienasi politik. Keempat, terlihat netral namun maknanya politis dan mengandung kritik keras pada ketidakadilan sistemik. Terakhir, rakyat mulai menggunakan narasi semacam ini sebagai metafora perjuangan, hal ini menandakan bahwa sistem ini tidak mampu memberikan ruang yang diharapkan rakyat. Di sini pemerintah menyadari adanya kerapuhan pada legitimasi ideologis.

Hal ini sangat bertolak belakang dengan Islam. Islam hadir bukan sekadar menjadi ajaran ritual, melainkan juga sebagai sistem hidup yang menyeluruh dan ideologis. Dalam Islam, kekuasaan adalah amanah, bukan alat akumulasi semata. Maka, menjadi kewajiban negara untuk menjadi penjaga atas kemaslahatan umat dan jauh dari sikap korup nan manipulatif demi melanggengkan kepentingan oligarki. Dengan itu, keadilan dijunjung tinggi dan asas kapitalistik bukanlah menjadi pijakan, justru itulah yang menjadi racun bagi rakyat.

Dengan demikian, simbol One Piece saat ini yang sedang ramai menunjukkan bahwa rakyat sudah mulai resah dan tidak tinggal diam. Atas hal itu sudah selayaknya kita menyadari bahwa Islam telah hadir dengan panduan terstruktur untuk memenuhi perubahan kolektif dengan panduan yang mampu membangun negara yang adil, bebas dari eksploitasi kapitalistik, dan berpihak pada rakyat. 

Dengan Islam, kekuasaan dijalankan atas dasar syariat, bukan kepentingan kapitalistik. Maka, makin kuat frustrasi struktural dan mandeknya politik representatif, makin mendesak pula untuk menghadirkan Islam sebagai alternatif sistemik. Sebab, rakyat bukan hanya membutuhkan sekadar simbol perlawanan, melainkan juga sistem yang benar-benar berpihak. 

Sebagai penutup, selama akar permasalahan tetap dibiarkan tumbuh, maka simbol perlawanan semacam ini akan terus bermunculan. Dengan itu, butuh arah, struktur dan keberanian kolektif untuk beranjak dari lingkaran ini. Di sinilah Islam hadir sebagai solusi pengaturan yang besar dan sempurna untuk rakyat. Allah berfirman dalam QS Al-Maidah: 5, “Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki? Siapakah yang lebih baik hukumnya daripada Allah bagi orang-orang yang yakin?” 

Wallahu a’lam bishshawab




Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.

Posting Komentar

0 Komentar