Oleh : Sylvi Raini
Pendidikan Agama yang Lebih Lembut?
Kementerian Agama meluncurkan Kurikulum Pendidikan Agama Islam Berbasis Cinta. Peluncuran ini dilakukan di Makassar, pada tanggal 25 Juli 2025. Kurikulum ini memiliki tujuan agar pendidikan agama di sekolah menjadi lebih ramah, tidak menakutkan, dan lebih menyentuh hati. Menteri Agama Nasaruddin Umar mengatakan, sekarang saatnya pendidikan agama mengajarkan cinta, bukan sekadar larangan atau hukuman, sebagaimana dilansir oleh Republika, 2025.
Didalam proyek tersebut, terdapat lima nilai utama yang ditanamkan dalam kurikulum ini, yaitu cinta kepada Tuhan, cinta kepada diri dan sesama, cinta ilmu, cinta lingkungan, dan cinta bangsa. Kelima nilai ini disebut Panca Cinta. Nilai-nilai ini tidak hanya diajarkan dalam pelajaran agama, tapi juga disisipkan di pelajaran lain. Harapannya, siswa tumbuh menjadi pribadi yang lembut, peduli, dan cinta damai (Kemenag.go.id, Antara, SindoNews, 2025).
Namun, kurikulum ini juga mendapat beberapa catatan. Arti “cinta” dalam pendidikan bisa berbeda-beda. Kalau tidak dijelaskan dengan jelas, bisa membingungkan. Selain itu, tidak semua guru siap mengajar dengan pendekatan yang lembut. Bisa saja kurikulum ini hanya jadi nama, tapi tidak benar-benar berubah di kelas.
Antara Narasi Indah dan Bahaya yang Terselubung
Kurikulum Berbasis Cinta yang diluncurkan oleh Kementerian Agama memang terdengar indah. Kurikulum ini berbicara soal cinta kepada Tuhan, sesama, ilmu, lingkungan, dan bangsa. Namun, jika dilihat lebih dekat, muncul kekhawatiran bahwa kurikulum ini menjadi pintu masuk bagi program deradikalisasi yang bisa berdampak negatif, terutama bagi generasi muda Muslim.
Apa itu deradikalisasi ? yaitu sebuah proses upaya sistematis untuk mengubah pola pikir ekstrem menjadi lebih moderat. Program ini biasanya dilakukan melalui pendidikan, pelatihan, dialog, figur teladan, atau pendekatan kelembutan (soft approach) dan penegakan hukum (hard approach). Dalam pendidikan agama, deradikalisasi bertujuan menanamkan gagasan toleransi, pluralisme, dan kedamaian tanpa menghilangkan fondasi ajaran agama yang benar.
Menurut penelitian yang terdapat di Jurnal Progresiva dari Universitas Muhammadiyah Malang (2023) menjelaskan bahwa program deradikalisasi dalam dunia pendidikan seringkali terlalu fokus pada pendekatan nilai-nilai universal, seperti toleransi dan cinta damai. Sayangnya, pendekatan ini bisa mengikis ajaran Islam yang prinsipil, jika tidak diimbangi dengan pemahaman yang utuh tentang syariat. Di sinilah letak persoalannya: ajaran Islam kaffah bisa dianggap sebagai radikalisme, sementara pendekatan “cinta” yang didefinisikan secara sekuler justru dipaksakan kepada peserta didik.
Lebih dalam lagi, melalui Jurnal Wawasan (UIN Sunan Gunung Djati Bandung) mengkritisi bahwa banyak program deradikalisasi menggunakan pendekatan tunggal, dimana hal ini dibentuk sebagai ekspresi keislaman yang tegas sebagai ancaman. Dalam tulisannya, jurnal ini menyebut bahwa narasi radikalisme sering digunakan untuk melemahkan aspirasi Islam politik atau ide-ide yang ingin menerapkan syariat secara menyeluruh. Akibatnya, muncul ketimpangan yaitu berupa tuduhan ekstrem terhadap muslim yang berpegang teguh pada ajaran agamanya. Disisi lain terdapat nilai-nilai asing yang justru diberi tempat luas.
Dengan dalih cinta dan moderasi, ada risiko besar bahwa kurikulum ini justru mengarahkan peserta didik untuk menjauhi nilai-nilai Islam yang sebenarnya, yaitu Islam Kaffah. Bahkan, bisa muncul sikap keras terhadap sesama Muslim yang istiqamah, namun sangat lembut kepada pemikiran atau budaya yang justru bertentangan dengan Islam.
Kembalikan Pendidikan kepada Islam Kaffah
Masalah utama dari kurikulum sekuler, termasuk Kurikulum Cinta adalah tidak menjadikan akidah Islam sebagai landasan utama pendidikan. Padahal dalam Islam, akidah bukan hanya soal kepercayaan, tapi juga asas dalam mengatur seluruh aspek kehidupan, termasuk pendidikan.
Islam menetapkan bahwa kurikulum harus berbasis akidah Islam, bukan nilai buatan manusia. Karena akidah adalah fondasi hidup seorang muslim, maka pendidikan harus menguatkan akidah ini, bukan justru melemahkannya. Negara Islam bahkan wajib menjaga akidah rakyatnya dan salah satu caranya adalah dengan menyusun kurikulum yang berpijak pada akidah.
Ini ditegaskan oleh Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani dalam kitab Muqaddimah ad-Dustur, bahwa “Negara wajib menyusun sistem pendidikan yang seluruh komponennya (tujuan, isi, metode) dibangun di atas dasar akidah Islam, agar terbentuk kepribadian Islam dalam diri peserta didik.”
Beliau juga menjelaskan dalam Nizham al-Islam, bahwa kepribadian Islam (syakhshiyyah Islamiyyah) terbentuk dari pola pikir dan pola sikap yang dibangun di atas akidah Islam. Maka kurikulum apa pun yang tidak berasaskan akidah, pasti akan melahirkan generasi yang sekuler, bingung identitas, dan jauh dari Islam secara kaffah. Dalilnya pun kuat, salah satunya terdapat dalam QS. Az-Zariyat: 56 yaitu “Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku.”
Ayat ini menunjukkan bahwa tujuan hidup manusia adalah ibadah. Maka pendidikan, sebagai alat pembentuk manusia, harus diarahkan untuk membentuk hamba yang tunduk kepada Allah semata bukan sekadar pintar, toleran, atau cinta damai secara umum.
Jika akidah umat kuat, maka mereka akan taat secara totalitas kepada syariat Allah. Mereka tidak hanya menjadi pribadi yang bermoral, tetapi juga mampu menyelesaikan masalah hidup dengan pandangan Islam, bukan dengan standar asing. Jadi, solusi akhir dan tuntas terhadap masalah pendidikan hari ini bukan sekadar menyisipkan nilai cinta atau toleransi, tapi mengganti sistem sekuler dengan sistem pendidikan Islam yang berlandaskan akidah. Inilah satu-satunya cara untuk melahirkan generasi yang teguh iman, cerdas, dan siap memimpin perubahan dalam bingkai Islam. Wallahu’alam bishowab
Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.
0 Komentar