Krisis Kelaparan di Gaza, Saatnya Kebangkitan Umat


Oleh : Ai Sopiah 

Kementerian Kesehatan di Jalur Gaza pada Kamis, 31 Juli 2025 melaporkan bahwa sedikitnya 18.592 anak Palestina tewas akibat serangan militer Israel sejak dimulainya agresi pada Oktober 2023. Angka tersebut mencerminkan dampak mematikan yang tak proporsional terhadap warga sipil, khususnya anak-anak, selama lebih dari sembilan bulan konflik berlangsung.

Laporan tersebut mengungkapkan bahwa sejumlah korban merupakan bayi yang baru lahir, bahkan ada yang meninggal hanya beberapa jam setelah dilahirkan akibat serangan udara atau ledakan bom. 

Berdasarkan data rinci dari otoritas kesehatan Gaza yang dikutip Anadolu, Jumat, 1 Agustus 2025, terdapat: 9 bayi yang tewas tepat pada hari kelahirannya, 5 bayi meninggal di hari pertama, 5 di hari kedua, dan 8 lainnya pada hari ketiga kehidupannya.

Selain itu, tercatat pula 88 anak berusia satu bulan, 90 anak berusia dua bulan, dan 78 anak berusia tiga bulan yang turut menjadi korban tewas akibat serangan militer Israel.

Serangan militer Israel yang dimulai sejak 7 Oktober 2023 telah menewaskan lebih dari 60.200 warga Palestina di Gaza secara keseluruhan, menurut data terbaru dari Kementerian Kesehatan setempat. Pemboman tanpa henti telah menghancurkan infrastruktur sipil, memicu krisis pangan, dan memperburuk situasi kemanusiaan di wilayah padat penduduk tersebut.

Dua lembaga hak asasi manusia terkemuka di Israel, B’Tselem dan Physicians for Human Rights-Israel, pada awal pekan ini secara terbuka menuduh pemerintah Israel melakukan genosida di Gaza. Mereka menyoroti adanya pemusnahan sistematis terhadap masyarakat Palestina serta penghancuran infrastruktur kesehatan sebagai bagian dari strategi militer.

Tuduhan ini memperkuat proses hukum internasional yang tengah berlangsung. Mahkamah Pidana Internasional, International Criminal Court (ICC) telah menerbitkan surat perintah penangkapan terhadap Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu dan mantan Menteri Pertahanan Yoav Gallant atas dugaan kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan di Gaza.

Selain itu, Israel kini juga tengah menghadapi gugatan genosida di Mahkamah Internasional, International Court of Justice (ICJ) terkait tindakannya di wilayah tersebut. (Metrotv, 1/8/2025).

Systemic starvation, bagaimana saat ini kondisi di Gaza sudah sangat darurat, dari pengeboman, penembakan, pembantaian yang dilakukan zionis laknatullah saat ini terhadap warga Gaza Palestina. Juga memblokade bantuan kemanusiaan masuk ke Gaza, zionis juga menggunakan senjata primitif dan sangat kejam, yakni membiarkan kaum muslim Gaza satu persatu mati perlahan karena menahan lapar.

Sejak serangan 7 Oktober 2023, situasi Gaza memang berubah mencekam. Namun, situasi ini bertambah parah ketika entitas Zionis atas arahan AS memberlakukan blokade total sejak 2 Maret 2025. Sejak itulah, warga Gaza benar-benar hidup penuh keterbatasan. Berbagai krisis, seperti krisis air, tepung, bahan bakar, hingga obat-obatan pun menjadi problem keseharian.

Bahwa situasi ini merupakan kesengajaan, tampak dari apa yang secara sistematis telah pihak Zionis lakukan. Pertama, mereka memberlakukan boikot total wilayah Gaza dengan dalih demi mempersempit ruang gerak Hamas yang dituding kerap merampok bantuan dan menggunakannya untuk kepentingan perang. Lalu sebagai kompensasinya, mereka menjanjikan akan tetap memberi bantuan. Caranya adalah dengan membentuk sebuah badan amal bernama Gaza Humanitarian Foundation (GHF) yang ditugasi menyalurkan bantuan di empat titik di Gaza tengah dan selatan.

Kementerian Luar Negeri Zionis memang sempat mengatakan bahwa 4.400 truk berisi bantuan kemanusiaan dari mereka telah memasuki Gaza sejak pertengahan Mei. Sebanyak 700 truk lainnya sedang menunggu untuk diangkut oleh PBB ke Gaza dari perbatasan. Begitu pun dengan Amerika. Pada kesempatan bertemu dengan Presiden Komisi Eropa Ursula von der Leyen, Minggu (27-7-2025), Trump sempat menyatakan dua minggu sebelumnya pemerintah AS telah mengirimkan bantuan makanan senilai USD60 juta (sekitar Rp985 miliar) untuk warga Palestina di Gaza. Ia bahkan marah karena tidak ada satu pun pihak berterima kasih kepadanya.

Hanya saja, fakta di lapangan berkata lain. Banyak video dan gambar beredar di media sosial yang menggambarkan kondisi anak-anak dan orang tua yang sangat kelaparan. Mereka makan apa saja yang bisa dimakan, termasuk pakan ternak dan rerumputan. Mereka minum apa pun yang bisa diminum, termasuk air limbah pembuangan. Tubuh mereka pun kering kerontang, bahkan ada yang sampai hilang kesadaran. Sempat viral sebuah video tentang seorang kakek yang meninggal saat antre mengambil jatah makanan.

Oleh karenanya, banyak yang curiga bahwa Zionis melalui GHF sedang berupaya memolitisasi bantuan pangan sebagai alat tawar-menawar dalam konflik yang berkepanjangan. Bahkan bukan hanya untuk tawar menawar, melainkan semua ini dicurigai menjadi strategi Zionis dan AS untuk mempercepat genosida demi segera mengosongkan Gaza. Adapun skenarionya adalah penduduk Gaza dilaparkan hingga mati mengenaskan, atau mereka dipaksa berbondong-bondong mengejar bantuan ke tengah dan selatan, dan di sana mereka akan dibunuh dengan sangat kejam atau terpaksa menuntut dievakuasi ke luar perbatasan.

Tudingan ini tentu bukan tanpa bukti. Makin banyak kasus muslim Gaza, terkhusus dari kalangan anak-anak, yang menderita malnutrisi dan di antaranya mati kelaparan. BBC menyebut, 900.000 anak di Gaza menderita kelaparan dan 70.000 di antara mereka mengalami malnutrisi. Itu belum termasuk orang dewasa.

Mirisnya, semua tragedi ini terus berlangsung tanpa ada yang bisa menghentikan. PBB hanya bisa berkoar-koar meminta Zionis menghentikan kekejamannya, tetapi veto Amerika membuatnya mandul tanpa daya. Padahal, sejak 7 Oktober 2023, sudah lebih dari 204.000 warga Gaza menjadi korban, 60.000 lebih di antaranya tewas, dan yang lainnya luka-luka. Mayoritas adalah anak-anak dan perempuan. Lebih dari 10.000 orang dinyatakan hilang dan ratusan ribu lainnya terusir dari tempat tinggalnya.

Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada 28—29 Juli 2025 lalu soal Gaza pun nyatanya hanya mampu bermain aman. Deklarasi New York yang dihasilkan hanya menyerukan dukungan penuh terhadap solusi dua negara dan mendesak Negara ‘ilegal’ Israel untuk menyatakan komitmennya atas berdirinya Negara Palestina yang merdeka. Deklarasi tersebut bahkan tidak berani menyebut kata “Israel” secara eksplisit ketika mengecam “tindakan sepihak ilegal” yang dinilai menjadi ancaman eksistensial bagi kemerdekaan Palestina!

Dalam KTT itu tentu terdapat pula para pemimpin muslim yang notabene seagama dengan warga Gaza. Akan tetapi, sebagaimana sebelum-sebelumnya, mereka pura-pura buta tuli. Masing-masing hanya sibuk menyelamatkan diri dan kekuasaannya dari kemarahan Amerika, seraya berlindung di balik narasi soal menjaga hubungan antarnegara dan hukum-hukum internasional.

Memang ada yang selalu berpura-pura garang. Mereka dengan gagah mengecam sikap Zionis yang sangat kejam. Namun, lain sikap, lain yang dikatakan. Alih-alih menolong Gaza dengan mengirim tentara dan senjata yang dibangga-banggakan, tangan mereka justru erat bergandengan dengan para sekutu Zionis dan dengan gembongnya di belakang rakyatnya! Ada juga yang tidak malu-malu memilih berdiri bersama penjahat perang atas nama “normalisasi hubungan”, bahkan tega mendukung pembantaian dengan turut menjaga rapat-rapat satu-satunya pintu harapan bagi warga Gaza di perbatasan.

Sungguh, mereka benar-benar lupa bahwa setiap nyawa yang hilang dan darah yang menetes dari umat tidak berdosa di Gaza Palestina, kelak di akhirat harus mereka bayar tunai dengan penyesalan yang sangat panjang. Mereka pun lupa bahwa setiap tangisan anak-anak yang kehilangan orang tua, juga perempuan-perempuan yang kehilangan keluarga yang dicinta, juga akan meminta pertanggungjawaban.

Sikap mereka itu sangat berbeda jauh dengan yang Rasulullah Saw. dan para Khalifah contohkan. Mereka selalu hadir sebagai pengurus dan penjaga, bukan hanya untuk urusan dunia, tetapi hingga urusan akhirat rakyatnya. Mereka benar-benar bertindak seperti penggembala yang memastikan setiap rakyatnya terpenuhi akan kebutuhan dan kesejahteraannya. Jangankan urusan nyawa, siapa pun yang berani melanggar kehormatan rakyatnya, mereka harus siap berhadapan dengan pembelaan yang keras dari para pemimpin Islam. Bukan hanya kata-kata, tentara pun siap mereka kirimkan kapan pun diperlukan.

Entitas Yahudi Madinah yang pembangkang punya pengalaman pahit dalam sejarah hubungannya dengan para pemimpin Islam. Begitu pun yang ada di sekitar Madinah, seperti Yahudi Khaibar. Akan tetapi, sebagian mereka yang mau tunduk dalam kepemimpinan Islam, dari masa ke masa sebagaimana Yahudi dan Kristen di Palestina sebelum pendudukan, justru merasakan kenikmatan dan penghormatan luar biasa dari para penguasa Islam.

Sejatinya, masyarakat dunia sudah memiliki kesadaran global menyangkut soal Gaza dan Palestina. Itu tampak dari berbagai aksi massa yang terus masif dan kolosal di berbagai negara, termasuk Aksi March to Gaza yang fenomenal. Begitu pun aksi boikot, bantuan dana dan logistik, dan lainnya, terus berlangsung hingga sekarang.

Semua itu menunjukkan bahwa mayoritas masyarakat dunia berdiri membela Gaza-Palestina. Hanya saja, ada persepsi yang harus diluruskan dalam membaca peta persoalan Gaza-Palestina. Ini mengingat mayoritas mereka masih memandang masalah ini sebatas masalah bencana kemanusiaan semata sehingga solusinya adalah fokus pada aksi-aksi solidaritas kemanusiaan saja.

Padahal sejatinya, masalah Gaza-Palestina adalah masalah politik yang berkelindan dengan konstelasi politik global. Biang keroknya adalah perampasan tanah milik umat Islam oleh entitas Zionis di bawah dukungan dan skenario negara-negara adidaya, khususnya imperialis kapitalis Inggris dan AS. Diikuti dengan pelanggaran hak-hak penduduk Gaza-Palestina, bukan sebatas harta dan kehormatan saja, melainkan sudah merampas hak hidup alias nyawa dalam proyek genosida.

Dengan demikian, solusi yang semestinya dituntut oleh masyarakat dunia adalah pengusiran penjajah Zionis dari setiap jengkal Tanah Palestina, tidak terkecuali di Gaza. Mengakui keberadaan mereka sebagai negara, termasuk dengan mendukung solusi dua negara sebagaimana ditawarkan Amerika dan sekutunya, hanyalah memberi amunisi pada mereka untuk terus bertindak semena-mena.

Masalahnya, pengusiran itu tentu menuntut pengerahan tentara dan senjata yang hanya bisa dilakukan oleh level sebuah negara. Negara itu jelas bukan negara biasa, melainkan harus negara yang siap menantang Amerika dan semua sekutunya.

Negara seperti itu hanya ada pada ajaran Islam. Ialah Khilafah, negara yang akan menyatukan seluruh potensi umat Islam di seluruh dunia, dan siap memobilisasi tentara memimpin jihad fi sabilillah. Ini sebagaimana perintah Allah SWT. “Bunuhlah mereka (yang memerangimu) di mana pun kamu jumpai dan usirlah mereka dari tempat mereka mengusirmu. Padahal, fitnah itu lebih kejam daripada pembunuhan. Lalu janganlah kamu perangi mereka di Masjidilharam, kecuali jika mereka memerangimu di tempat itu. Jika mereka memerangimu, maka perangilah mereka. Demikianlah balasan bagi orang-orang kafir.” (QS. Al-Baqarah: 191).

Oleh sebab itu, urusan Gaza-Palestina bagi umat Islam bukanlah sekadar urusan kemanusiaan. Sejatinya, ini adalah urusan hukum syara dan urusan iman karena di dalamnya berkelindan perkara perintah dan larangan, termasuk menyangkut pembelaan terhadap sesama umat Islam sebagai barometer iman.

Rasulullah Saw. bersabda, “Tidak beriman salah seorang dari kalian sampai ia mencintai saudaranya seperti ia mencintai dirinya sendiri.” (HR. Bukhari dan Muslim). Allah SWT. berfirman, “Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka (adalah) menjadi penolong sebagian yang lainnya.” (QS. At-Taubah: 71).

Kemunculan Khilafah sejatinya sangat ditakuti penguasa Amerika dan sekutunya, termasuk oleh pemimpin Zionis yang tengah menghinakan Palestina, khususnya Gaza. Bagi mereka, seruannya saja sudah seperti lonceng kematian yang menjadi mimpi buruk karena mengancam hegemoni kapitalisme dan penjajahan mereka di negeri-negeri Islam.

Ketakutan mereka ini sudah sangat jelas dari berbagai pernyataan yang mereka lontarkan soal Khilafah. Mereka bahkan menunjukkan permusuhannya dan melakukan berbagai cara untuk mencegah kehadirannya, termasuk dengan cara memfitnah ajaran Islam, mengubur sejarahnya, dan menjauhkan umat dari para pengemban dakwahnya.

Semua itu tentu tidak boleh menyurutkan langkah kita umat Islam untuk terus lantang menyuarakan urgensi dan kewajiban Khilafah. Khilafah adalah sang penjaga, bukan hanya akan membebaskan muslim Gaza Palestina, melainkan akan menghapus penderitaan masyarakat dunia akibat penerapan sistem destruktif yang lahir dari hawa nafsu manusia.

Kesungguhan kita dalam memperjuangkannya adalah salah satu wujud dari takwa. Kelak, semua ikhtiar kita akan menjadi hujah bahwa kita tidak diam saat agama dan saudara kita terhina. Juga menjadi bukti bahwa kita termasuk penjaga risalah Islam yang tepercaya sebagaimana yang seharusnya. Mari kita terus suarakan Palestina dan gaungkan hanya dengan jihad fisabilillah dalam kepemimpinan yang satu yaitu Khalifah, dalam naungan Khilafah untuk pembebasan nyata tanah Palestina.

Wallahua'lam bishshawab.




Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.

Posting Komentar

0 Komentar