Oleh: Anindya Vierdiana
Sejak April 2023, perebutan kekuasaan di Sudan telah menelan korban hingga 150 ribu jiwa. Angka sebenarnya diyakini jauh lebih tinggi, dan mayoritas yang terbunuh adalah warga sipil: perempuan, anak-anak, hingga lansia. Mereka dibantai di rumah, masjid, pasar, dan kamp pengungsian. Kepala HAM PBB, Volker Turk, menyebut tragedi ini sebagai kengerian tanpa batas.
Sayangnya, meski tragedi Sudan adalah salah satu bencana kemanusiaan terbesar abad ini, dunia justru membisu. Perang brutal antara Angkatan Bersenjata Sudan (SAF) pimpinan Jenderal Abdel Fattah al-Burhan dan Pasukan Dukungan Cepat (RSF) di bawah Mohamed Hamdan Dagalo (Hemedti) telah menyeret Sudan ke jurang kehancuran. Namun, konflik ini terpinggirkan dari sorotan global.
Pemusnahan Sistematis
Kejadian di Sudan bukan sekadar konflik bersenjata, melainkan genosida yang dilakukan secara sistematis. Tragedi Al-Nahud yang menewaskan lebih dari 300 warga sipil, termasuk 21 anak-anak, hanyalah satu contoh nyata. Kota-kota dibakar, kuburan massal digali tergesa, dan keluarga-keluarga hilang tanpa jejak.
Yang paling menyedihkan, perempuan dan anak perempuan menjadi sasaran pelecehan. Kekerasan seksual digunakan sebagai senjata perang, bahkan anak-anak berusia 9 tahun diperkosa secara brutal. Banyak penyintas mengalami trauma mendalam tanpa ada akses terhadap pemulihan psikologis maupun keadilan.
Krisis kemanusiaan semakin parah dengan kelaparan massal. Lebih dari 14 juta orang mengungsi, menjadikannya krisis pengungsian terbesar di dunia. Separuh dari populasi Sudan menghadapi kelaparan karena kedua kubu yang bertikai menggunakan makanan dan air sebagai senjata, dengan memblokir bantuan serta merampas pasokan. Di tempat pengungsian, anak-anak terpaksa memakan dedaunan, sementara para ibu rela tidak makan demi menyelamatkan bayi mereka.
UNICEF menggambarkan kondisi ini sebagai krisis multidimensi yang meluluhlantakkan kesehatan, sanitasi, pendidikan, dan keamanan. Rumah sakit dijarah, sekolah dibom, bahkan tempat ibadah tidak luput dari serangan. Sudan seolah tidak lagi memiliki ruang aman.
Namun tragisnya, konflik ini jarang terdengar. Tidak seperti Ukraina atau Gaza, Sudan hampir tidak pernah menjadi headline. Tidak ada protes massa, tidak ada dukungan selebritas, tidak ada desakan politik.
Permainan Kepentingan Global
Kenyataan ini bukan tanpa alasan. Sudan memiliki kekayaan emas, minyak, uranium, serta tanah subur yang menjadi incaran. Negara-negara besar seperti AS, Inggris, Rusia, UEA, Arab Saudi, dan Mesir, semua memiliki kepentingan di sana. Akhirnya, Sudan berubah menjadi medan perebutan kepentingan asing.
Perang ini pun bukan kecelakaan sejarah. Ia merupakan warisan kolonialisme, batas-batas buatan penjajah, serta rezim sekuler yang lahir dari dukungan asing. Demokrasi yang dipromosikan Barat bukanlah jalan keluar. Sudan adalah bukti nyata kegagalan demokrasi, sebagaimana kegagalan di Irak, Libya, dan Afghanistan.
Solusi Hakiki
Tragedi Sudan menuntut solusi sejati. Hanya Khilafah Islam yang akan mampu menyatukan umat, menyingkirkan dominasi asing, serta mengelola sumber daya dengan adil. Khilafah akan menjamin martabat rakyat, menghapus kelaparan, dan menghadirkan keadilan. Sejarah mencatat, pada masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz, kemiskinan di Afrika Utara sirna—hingga tidak ada lagi penerima zakat.
Rasulullah ï·º bersabda bahwa umat Islam ibarat satu tubuh; jika satu bagian sakit, seluruh tubuh ikut merasakan. Maka, penderitaan Sudan sejatinya adalah penderitaan kita semua. Dunia mungkin menutup mata, tapi umat Islam tidak boleh diam.
Sudah saatnya umat ini menolak solusi palsu dan menuntut kembalinya Khilafah berdasarkan manhaj kenabian. Sebagaimana firman Allah Swt. dalam QS. Al-Anfal: 24 yang artinya “Wahai orang-orang yang beriman, Penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul apabila Rasul menyeru kamu kepada sesuatu yang memberi kehidupan kepadamu, ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah membatasi antara manusia dan hatinya dan sesungguhnya kepadaNya lah kamu akan dikumpulkan."
Hanya dengan itulah Sudan, dan seluruh dunia Islam, akan bangkit dari keterpurukan.
Wallahu a’lam bisshawab.
Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.
0 Komentar