Gaza Mengalami Kelaparan Ekstrem, Palestina Butuh Khilafah


Oleh : Rohmah.SE.Sy

Palestina kian bergejolak. Zionis Yahudi makin beringas melakukan genosida. Mereka menggunakan kelaparan sebagai senjata. Zionis Yahudi melakukan blokade total dan melarang bantuan pangan masuk ke Gaza serta membiarkan penduduknya, termasuk anak-anak, mati pelan-pelan karena kelaparan. Menteri Keuangan entitas Zion*s Yahudi Bezalel Smotrich menyatakan bahwa membiarkan warga Gaza mati kelaparan adalah tindakan yang adil dan bermoral. Sedangkan Menteri Keamanan Nasional entitas Zion*s Itamar Ben-Gvir mengatakan, “Selama para sandera belum dibebaskan, musuh tidak boleh menerima makanan, listrik, atau bantuan apa pun.

Zionis Yahudi hanya mengizinkan masuknya bantuan pangan melalui empat titik distribusi yang dikelola oleh lembaga Gaza Humanitarian Foundation (GHF) yang dikendalikan oleh Amerika Serikat (AS) dan Zionis Yahudi. Namun, distribusi bantuan pangan itu berubah menjadi pembantaian massal. Sekitar 60 muslim Palestina yang berusaha mengakses bantuan tewas ditembaki tentara Zionis Yahudi dan kelompok bersenjata ilegal yang bekerja sama dengan mereka.

Matinya Kemanusiaan para Pemimpin Dunia Islam, Berkebalikan dengan girah perjuangan yang menggelora pada diri umat, para pemimpin dunia Islam justru bungkam atas genosida di Palestina. Mata mereka melihat dengan terang benderang aksi pembantaian yang Zion*s Yahudi lakukan, tetapi mereka tidak melakukan aksi nyata untuk membebaskan Palestina, selain hanya mengeluarkan kecaman-kecaman tanpa makna. Jerit tangis bayi-bayi yang kelaparan, anak-anak yang syahid bersimbah darah, juga para ibu dan lansia yang terluka dan kehilangan keluarganya tidak mampu mengetuk hati nurani mereka. Para penguasa Islam seolah-olah buta dan tuli sehingga tidak bisa melihat dan mendengar seruan minta tolong dari rakyat Palestina.

Nasionalisme pun menghalangi para penguasa muslim untuk bersikap adil pada muslim palestina. Seharusnya, baik yang diserang itu rakyat negerinya sendiri atau negeri muslim yang lain, wajib atas penguasa negeri muslim untuk membelanya. Mereka haram untuk bersikap tidak peduli pada penderitaan muslim Palestina.Sangat sedikit negara muslim yang melakukan serangan militer ke Israel. Sayang, serangan itu tidak dimaksudkan untuk membebaskan Palestina dan menghapus Zionis Yahudi di muka bumi, tetapi karena dorongan nasionalisme. 

Terkait situasi ini, Program Pangan Dunia Perserikatan Bangsa-Bangsa (WFP) telah memberikan peringatan keras mengenai memburuknya krisis kemanusiaan di Jalur Gaza. Namun mirisnya, para penguasa Arab beserta pemimpin muslim lainnya masih saja sibuk beretorika dan mencari dalih untuk menutupi ketakberdayaan mereka.Pada Sidang Umum ke-150 Inter-Parliamentary Union (IPU) yang dilaksanakan pada 6 April 2025 lalu di Tashken, Uzbekistan, soal Gaza dan Palestina hanya dibahas sepintas lalu saja. Ketua Parlemen Turki Numan Kurtulmus, misalnya, hanya menyebut, Palestina adalah ‘ujian lakmus’ bagi keadilan dan hati nurani global. Ia pun mengakui bahwa ada kebutuhan akan sistem baru dan arsitektur politik dan ekonomi global baru. Hanya saja apa langkah konkretnya, tidak dibahas lebih mendalam.Bahkan seperti diduga sebelumnya, seruan jihad dan tuntutan pengiriman tentara yang disampaikan para ulama dunia yang tergabung dalam International Union Of Muslim Scholars (IUMS) pada 4 April 2025 pun akhirnya berlalu begitu saja. 

Memang tidak dimungkiri, rata-rata kekuasaan mereka tegak di atas dukungan dan legitimasi negara adidaya, khususnya Amerika. Itulah mengapa, mereka selalu berjalan bersisian dengan kebijakan Amerika. Bahkan sebagian dari mereka bertanggung jawab atas berdirinya negara hoaks yang menjadi pangkal masalah Palestina. Sementara penguasa Arab lainnya satu demi satu menuruti titah Amerika untuk menormalisasi hubungan dengannya. Padahal, penjajahan dan pembantaian itu nyata-nyata terjadi di depan mata mereka.

Sebagian mereka memang ada yang memilih bersikap “netral” atau malah berpura-pura galak pada Zionis dan Amerika. Namun di belakang layar, tangan-tangan mereka justru bersalaman dengan musuhnya dan mendukung skenario musuhnya, seperti menyuarakan solusi dua negara. Mereka rela bermuka dua, hanya demi merebut simpati rakyat dan umat Islam dunia. Namun, pada saat yang sama mereka tidak mau kehilangan simpati dari para tuannya.

Wajar jika tidak ada satu pun dari mereka yang muncul sebagai ksatria bagi Gaza, Palestina. Suara dan tangan mereka kelu untuk memobilisir tentara dan senjata yang sejatinya ada pada genggaman mereka. Sampai-sampai warga Gaza pun putus asa meminta tolong pada mereka. Mereka lantang mengingatkan agar para penguasa itu bersiap menghadapi pertanggungjawaban berat di yaumil hisab. Semua realitas yang terjadi ini semestinya menjadi pengingat bahwa harapan penyelesaian masalah Gaza dan Palestina bukan ada pada para penguasa Arab, Turki, Indonesia, dan lainnya. Apalagi ada pada negara-negara adidaya dan lembaga-lembaga internasional yang justru dibuat dan disetir untuk menjadi alat melanggengkan penjajahan mereka atas dunia. 

Umat semestinya sadar bahwa sejatinya urusan Gaza, Palestina, ini ada pada tangan-tangan mereka karena sejatinya merekalah pemilik hakiki kekuasaan. Di tangan merekalah hak untuk memilih penguasa yang siap menjalankan syariat Islam, termasuk yang siap mengurus dan menjaga rakyatnya dari segala bentuk kezaliman dan upaya penjajahan. Namun sayangnya, kekuasaan itu telah lama direnggut paksa oleh para penjajah dan diberikan pada para anteknya dengan berbagai cara. Yang paling halus tapi dampaknya fatal adalah dengan penerapan sistem sekuler demokrasi di negeri-negeri Islam. Dengan sistem ini, umat dibiarkan merasa menjadi pemilik kekuasaan, padahal sejatinya mereka hanya dimanfaatkan oleh orang-orang yang haus kekuasaan.

Oleh karenanya, tidak cukup hanya menuntut penguasa membela Gaza dengan turun ke jalan. Umat harus berupaya mewujudkan kepemimpinan yang benar-benar berlandaskan Islam, yakni seorang khalifah yang berfungsi sebagai rain (pengatur) dan junnah (penjaga) bagi umat dengan menerapkan hukum-hukum Islam. Khalifah juga tidak akan tunduk pada kekufuran karena Islam jelas-jelas mengharamkan. Khalifah bahkan akan memobilisir seluruh kekuatan, termasuk memimpin jihad, mengerahkan tentara dan senjata, demi membela umat dan menghilangkan segala bentuk kezaliman, termasuk membela muslim Gaza. Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya imam/khalifah adalah perisai, orang-orang berperang di belakangnya dan menjadikannya pelindung. Jika ia memerintahkan ketakwaan kepada Allah ‘Azza wa Jalla dan berlaku adil, baginya terdapat pahala dan jika ia memerintahkan yang selainnya, ia harus bertanggung jawab atasnya.” (HR Muslim).

Sungguh saat ini posisi umat islam sedang berada di titik nadir berbagai bidang kehidupan. Jumlah mereka yang 2,4 milyar jiwa atau sekira 25% penduduk dunia, nyatanya tidak mampu mewarnai, apalagi memimpin peradaban dunia. Kondisi umat Islam di dunia hari ini benar-benar seperti gambaran Rasulullah saw., yakni seperti buih di lautan atau seperti hidangan yang diperebutkan oleh orang-orang yang ada di sekitarnya. Alhamdulillah suara pembelaan terhadap nasib warga Gaza masih bergema dimana-mana. Aksi-aksi bela Palestina pun terus berjalan di berbagai wilayah dunia termasuk di Indonesia. Meski narasinya belum satu suara dan masih banyak yang fokus pada sisi kemanusiaan dengan mengedepankan solusi-solusi parsial yang sama sekali tidak menyelesaikan persoalan, namun pelan tetapi pasti, dakwah ideologis mulai berpengaruh di tengah umat.

Umat tampaknya mulai menyadari bahwa masalah krisis Gaza dan Palestina bukan sekadar masalah kemanusiaan, tetapi merupakan masalah politik dan ideologi alias perang peradaban. Kenapa? Karena krisis ini awalnya berpangkal dari masalah/konspirasi politik berupa penjajahan yang didukung oleh kekuatan politik sehingga butuh penyelesaian politik, salah satunya dengan menggunakan kekuatan militer untuk mengusir penjajah dari bumi Palestina.

Alhasil akhir-akhir ini, seruan pembelaan yang umat sampaikan dalam aksi-aksi mereka sudah meningkat eskalasinya, yakni berupa tuntutan pengiriman tentara dan jihad fi sabilillah. Tuntutan ini bahkan mulai disampaikan oleh kalangan umat yang selama ini selalu fokus pada ajakan untuk menggalang bantuan logistik, gerakan boikot, dan ajakan melangitkan doa-doa semata. PR-nya adalah bagaimana memahamkan umat bahwa seruan ini tidak mungkin disambut oleh para penguasa yang ada. Mereka justru membutuhkan seorang khalifah yang dibaiat oleh umat untuk menjalankan hukum-hukum syara termasuk memimpin jihad melawan musuh-musuh yang memeranginya. Sehingga seruan pengiriman tentara, semestinya disandingkan dengan seruan penegakkan Khilafah Islam yang akan menggantikan kedudukan para penguasa khianat.

Kedatangan kembali Khilafah memang sudah Allah janjikan dan merupakan bisyarah (kabar gembira) dari Rasulullah saw.. Hanya saja, umat Islam dituntut untuk memperjuangkannya. Caranya adalah dengan menapaki jalan dakwah yang dicontohkan Rasulullah saw. bersama sebuah partai politik atau jemaah yang ikhlas berdakwah semata-mata karena Allah dan menjalankan seluruh aktivitas dakwahnya tanpa bergeser sedikit pun dari tuntunan-tuntunan Islam. 
 




Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.

Posting Komentar

0 Komentar