Oleh : Fatimah Mustofa
Delapan puluh tahun bangsa ini merayakan kemerdekaan, namun bagi jutaan rakyat terutama kelas menengah, kemerdekaan itu terasa seperti fatamorgana. Mereka tetap bekerja keras, menjadi penopang perekonomian negara, tetapi hidupnya kian terhimpit. Harga-harga melambung, penghasilan stagnan, dan tabungan terkuras, sementara negara seakan hanya menatap dari kejauhan.
Sebagaimana dilansir Tirto.id, kelas menengah yang selama ini menjadi tulang punggung perekonomian nasional, justru terus tergerus dalam lima tahun terakhir. Data Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat jumlah mereka anjlok dari 57,33 juta orang pada 2019 menjadi 47,85 juta pada 2024. Artinya, ada 9,48 juta warga yang turun kasta dari kelompok kelas menengah. Ironisnya, kemerosotan ini terjadi di tengah narasi pemerintah bahwa ekonomi Indonesia sedang melejit. Padahal, di lapangan, banyak yang harus mengencangkan ikat pinggang, memangkas hiburan, bahkan menguras tabungan demi memenuhi kebutuhan harian.
Kisah Aris (31) dari Bandung, Helen (28) dari Bekasi, dan Caca (33) dari Jakarta menggambarkan realitas itu. Aris harus berganti pekerjaan dua kali sejak 2021 demi mencukupi kebutuhan keluarga kecilnya, namun tetap merasa “megap-megap” sebelum gajian. Helen, pekerja kreatif, mengaku nyaris tak pernah lagi bersenang-senang di mall atau berwisata karena uang habis untuk makan dan ongkos kerja. Caca, yang bekerja di sektor finansial, sekalipun penghasilannya meningkat, tetap merasakan daya beli untuk hiburan semakin melemah. (Tirto.id)
Fenomena “rojali” (rombongan jarang beli) yang diungkap ekonom CELIOS, Nailul Huda, menjadi bukti lain. Kelas menengah kini menahan belanja, hanya fokus pada kebutuhan pokok, bahkan tabungan pun semakin tergerus. Mereka dibayangi ancaman PHK, sementara harga-harga kebutuhan melonjak, dan beban pungutan terus menekan.
Rapuhnya Kelas Menengah
Kelas menengah sering disebut sebagai tulang punggung perekonomian Indonesia karena daya belinya tinggi dan kontribusinya besar terhadap konsumsi domestik. Namun, data BPS yang menunjukkan penurunan signifikan jumlah kelas menengah membuktikan bahwa posisi mereka ternyata rapuh. Sekali saja ada guncangan ekonomi seperti pandemi, kenaikan harga kebutuhan pokok, atau PHK, ekonomi mereka bisa langsung tergelincir ke kelompok rentan atau miskin.
Hal ini menunjukkan bahwa kelas menengah di Indonesia belum benar-benar “aman” secara finansial. Banyak dari mereka bergantung pada pendapatan bulanan tanpa cadangan dana darurat yang memadai. Akibatnya, ketika pendapatan terganggu, mereka harus mengurangi konsumsi, menjual aset, atau bahkan berutang demi bertahan hidup.
Fenomena ini juga mengindikasikan bahwa kenaikan status ekonomi sebagian masyarakat selama ini mungkin hanya bersifat semu. Kenaikan penghasilan mereka tidak diiringi dengan peningkatan ketahanan finansial jangka panjang. Alhasil, kelas menengah menjadi kelompok yang mudah terpukul jika kondisi ekonomi memburuk.
Kebijakan yang Mengabaikan
Salah satu penyebab rentannya kelas menengah adalah kebijakan ekonomi yang cenderung fokus pada pengentasan kemiskinan ekstrem, tetapi mengabaikan perlindungan terhadap kelompok ini. Pemerintah memang memberikan bantuan sosial untuk masyarakat miskin, namun jarang ada kebijakan yang dirancang khusus untuk mencegah kelas menengah jatuh miskin.
Kondisi ini diperparah oleh tingginya beban biaya hidup, mulai dari pendidikan, kesehatan, hingga perumahan, yang sebagian besar harus ditanggung sendiri oleh kelas menengah. Tidak ada subsidi yang signifikan untuk meringankan beban mereka. Bahkan, beberapa kebijakan justru menambah beban, seperti kenaikan tarif listrik, BBM, dan pajak.
Jika kebijakan tetap seperti ini, kelas menengah akan terus terjepit. Mereka tidak cukup miskin untuk menerima bantuan, namun juga tidak cukup kaya untuk menghadapi krisis tanpa masalah. Dalam jangka panjang, ini bisa melemahkan daya beli nasional dan membuat pertumbuhan ekonomi melambat.
Butuh Perubahan Sistem
Kondisi kelas menengah yang terhimpit, daya beli yang terus merosot, dan ancaman jatuh miskin bukanlah sekadar akibat pandemi atau gejolak ekonomi global. Akar masalahnya adalah sistem kapitalisme sekuler yang saat ini diterapkan. Sistem ini hanya menguntungkan segelintir pemilik modal, sementara rakyat termasuk kelas menengah dibiarkan berjuang sendiri.
Dalam kapitalisme, peran negara sebagai pelindung rakyat semakin pudar. Negara cenderung menjadi fasilitator kepentingan korporasi, bukan pengurus kebutuhan rakyat. Maka wajar jika lapangan kerja yang tercipta lebih banyak berstatus kontrak atau outsourcing, upah buruh stagnan, harga kebutuhan pokok terus naik, sementara jaminan sosial tak pernah cukup.
Kepemimpinan Islam
Islam menawarkan solusi yang bukan hanya ideal di atas kertas, tetapi nyata bisa diterapkan. Dalam sistem Islam negara (Khilafah) wajib menjamin kebutuhan pokok setiap rakyat : sandang, pangan, papan, pendidikan, kesehatan, dan keamanan. Nabi SAW bersabda : "Imam (khalifah) adalah pengurus rakyat, dan ia bertanggung jawab atas rakyat yang dipimpinnya." (HR. Bukhari dan Muslim)
Artinya, pemimpin dalam Islam tidak boleh berlepas tangan. Negara wajib menyediakan lapangan kerja yang layak melalui industrialisasi yang mandiri, bukan bergantung pada investasi asing yang menjerat utang. Tanah yang terlantar diberikan kepada rakyat yang mampu mengelolanya. Aset milik umum seperti tambang, hutan, dan sumber energi tidak boleh diserahkan pada swasta atau asing, tetapi dikelola negara untuk kemaslahatan seluruh rakyat.
Pembiayaan
Pendanaan untuk menjamin kebutuhan rakyat diambil dari Baitulmal, yang sumbernya antara lain dari pengelolaan kepemilikan umum, zakat, kharaj, jizyah, dan pendapatan lain yang halal. Jika dana tidak mencukupi, negara dapat menarik pajak sementara (dharibah) dari orang kaya saja, bukan dari seluruh rakyat.
Dengan mekanisme ini, rakyat tidak perlu khawatir jatuh miskin akibat kehilangan pekerjaan atau karena biaya hidup melambung. Sistem Islam tidak membiarkan kelas menengah apalagi rakyat miskin hidup tanpa perlindungan.
Khatimah
Islam telah menawarkan sistem yang adil dan terbukti menyejahterakan, dengan negara hadir sebagai pengurus, bukan sekadar penguasa. Perubahan hakiki hanya akan terwujud jika kita berani meninggalkan sistem yang rusak ini dan kembali kepada syariat Allah secara kaffah.
Hanya dengan itu kemerdekaan sejati yaitu bebas dari penindasan ekonomi, politik, dan pemikiran dapat benar-benar dirasakan oleh seluruh rakyat.
Wallahu a'lam bissawab
Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.


0 Komentar