Oleh: Yulyana Safitri
Di balik kelaparan akut yang dialami oleh warga gaza saat ini, ada strategi perang sunyi yang sedang berlangsung: senjata sistematis yang dirancang untuk melumpuhkan masa depan Palestina, yaitu kesengajaan pelaparan secara brutal. Tubuh kurus bayi-bayi Gaza dengan tulang rusuk menonjol kini menjadi simbol baru kekejaman konflik yang memasuki tahun kedua, di mana 40.000 bayi menderita kekurangan gizi parah dan 12.000 balita mengalami penyakit terkait malnutrisi akut hanya dalam hitungan waktu.
Blokade sebagai Senjata Pemusnah Massal
Laporan Human Rights Watch mengungkap bukti tak terbantahkan, bahwa Israel menggunakan kelaparan sebagai metode perang. Hal ini dapat dilihat dari berbagai fakta, yaitu:
1. Pembatasan Bantuan Kemanusiaan: Truk bantuan mengantri di perbatasan sementara Gaza kelaparan. Menurut muhammad husein, salah satu relawan Gaza menyatakan bantuan hanya masuk ke wilayah Gaza sebanyak 40 sampai 50 container, tidak sebanding dengan jumlah warga Gaza sebanyak 2,4 jiwa. Dan seharusnya jumlah bantuan yang masuk sebanyak 20.000 container. Tapi, dilakukan blokade ketat.
2. Penghancuran Infrastruktur Vital: 90% sumber air terkontaminasi, pabrik tepung terakhir dihancurkan November 2023, dan 36% lahan pertanian utara rusak berat.
3. Inflasi Tak Terkendali: Harga tepung melambung 1.000% sejak awal perang, membuat sepotong roti menjadi kemewahan.
Selain itu, Israel mempermainkan warga Gaza, dengan mengumpan lewat bantuan makanan. Namun, ditembak saat warga Gaza berebut makanan yang tidak sebanding makanan tersebut dengan jumlah mereka. Alhasil, tewas ratusan jiwa dalam tragedi itu. Belum lagi, para pencari nafkah seperti nelayan sengaja dibunuh, anak-anak yang berjalan mencari makan di tembak, dan lain sebagainya.
Alasan Israel Terus Menyerang Gaza
Kebijakan Israel terhadap Gaza, lahir dari alasan agama mereka yaitu Gaza merupakan, “Tanah Terjanji”. Meskipun, tidak sepenuhnya karena alasan agama. Sebab, mereka juga merupakan negara yang mengemban ide sekuler(yang memisahkan agama dengan kehidupan), dugaan kuat agama sebagai alat legitimasi politik. Sebab, fakta menunjukkan ada hal lain seperti, kepentingan politik, keamanan, dan teritorial. Berikut analisis mendalam berdasarkan data historis dan faktual:
1. Doktrin Zionisme Religius: Sebagian kelompok Yahudi meyakini Gaza sebagai bagian dari Eretz Israel (Tanah Israel) yang dijanjikan Tuhan kepada keturunan Abraham, berdasarkan tafsir kitab Taurat (Torah). Klaim ini mencakup wilayah dari Sungai Nil hingga Eufrat, termasuk Gaza.
2. Narasi Hak Historis: Israel menggunakan narasi "bangsa pilihan" (The Chosen People) untuk membenarkan pendudukan. Teks Taurat (Kejadian 15:18) diinterpretasikan sebagai legitimasi ilahiah atas Palestina, termasuk Gaza.
3. Instrumentalisasi Kitab Suci: Pemimpin Israel seperti Menteri Keamanan Nasional Itamar Ben-Gvir (ultranasionalis) kerap mengutip ayat Taurat untuk membenarkan ekspansi permukiman Yahudi. Misalnya, doktrin "Perang Mitzvah" (perang suci) digunakan untuk menyatakan bahwa pendudukan Gaza adalah kewajiban religius.
4. Rabi Militer seperti Eliyahu Mali mengajarkan bahwa "tidak boleh menyisakan nyawa" di Gaza, dengan merujuk pada perang suci dalam Yudaisme. Ia menyebut penduduk Gaza "ancaman eksistensial" yang harus dieliminasi.
5. Pengaruh Lobi Agama: Partai-partai religius-Zionis (misal: Partai Zionis Religius) menjadi pilar koalisi pemerintah Netanyahu. Mereka mendorong kebijakan pendudukan sebagai bentuk penggenapan nubuat kitab suci.
Pelaparan Gaza Sama Dengan Strategi Pengosongan Gaza
Dalam waktu bersamaan, baru-baru ini, AS kembali mengeluarkan kebijakan rencana pemindahan warga gaza sebanyak 2000 jiwa. Dengan alasan yang sangat manusiawi yaitu membantu dan menyelamatkan warga gaza yang sedang krisis efek perang dan kelaparan akut. Utusan khusus AS untuk Timur Tengah, Steve Witkoff, secara terbuka menyampaikan rencana ini pada Januari 2025, dengan alasan "mempermudah rekonstruksi Gaza." Padahal, semua itu hanyalah fiktif belaka, bukan untuk membantu gaza melainkan ingin mengosongkan gaza. Untuk mewujudkan pembangunan yang direncanakan. Proposal AS bertujuan mengosongkan Gaza untuk kepentingan strategis Israel, seperti pembangunan kawasan wisata dan permukiman Yahudi. Israel mendorong rencana ini sebagai bagian dari strategi pembersihan etnis (ethnic cleansing) untuk menguasai Gaza sepenuhnya. Mantan Menteri Pertahanan Israel, Moshe Yaalon, mengakui agenda pengusiran warga Gaza dan pembangunan permukiman Yahudi ini.
Respons Dunia yang Mandul
Meski Presiden AS Donald Trump mengakui "kelaparan nyata", bantuan masih tersendat. Bantuan udara tidak akurat dan mematikan. Yayasan Kemanusiaan Gaza hanya janji belaka, 300 juta makanan dalam 90 hari – belum terwujud. IPC PBB, "Ambang batas kelaparan telah tercapai di seluruh Gaza" tapi tak ada deklarasi resmi kelaparan. Yang katanya solusi jangka panjang terhambat oleh:
1. Kebuntuan Diplomasi: Rencana AS-Uni Emirat Arab-Israel untuk pascaperang mengabaikan akar masalah dan fokus pada kontrol keamanan sepihak
2. Ketergantungan pada Bantuan: Skema pemulihan UNDP mensyaratkan pencabutan restriksi ekonomi, sesuatu yang ditolak Israel.
3. Fragmentasi Palestina: Perebutan pengaruh antara Hamas dan Otoritas Palestina di Tepi Barat memperparah tata kelola kemanusiaan.
4. Banyak pemimpin muslim dunia, tak mampu berbuat apa-apa. Hanya terdengar suara kecaman, namun tidak ada aksi nyata. Warga gaza nyaris tidak diperjuangkan.
Solusi Nyata: Hanya dengan Jihad fi Sabilillah
Dunia mungkin berdebat tentang terminologi—apakah ini genosida, kejahatan perang, atau "kerusakan kolateral"—tapi data berbicara jelas: Pelaparan adalah senjata pemusnah generasi paling kejam abad ini. Tanpa intervensi segera, Gaza tidak hanya kehilangan rumah dan nyawa, tapi juga masa depannya yang terkubur bersama impian anak-anak yang tulang-tulangnya terlalu rapuh untuk berdiri tegak. Ini bukan bencana. Ini bukan hanya tentang kemanusiaan, ini tentang panggilan iman. Bahwa ada tanggung jawab seorang muslim dalam membela sesama saudaranya. Membela hak-hak yang direbut secara brutal dan tidak manusiawi. Dan semua itu harus diwujudkan dengan jihad dengan pemimpin dan militernya yang memiliki kesadaran penuh tentang jihad ini. Mari satukan suara dan gerakan 2 miliar jiwa muslim didunia untuk persatuan pemikiran, perasaan dan aturan yang sama yaitu kembali pada Al-Quran dan As-Sunnah. Rasulullah Saw, bersabda:
"المُسْلِمُ أَخُو المُسْلِمِ، لاَ يَظْلِمُهُ وَلاَ يُسْلِمُهُ"
"Seorang Muslim adalah saudara bagi Muslim lainnya. Ia tidak boleh mendzaliminya dan tidak boleh menyerahkannya (pada bahaya)."HR. Bukhari-Muslim
Dan sebagai sesama muslim tidak boleh diam saja, Abu Bakar -raḍiyallāhu 'anhu- berkata, "Wahai sekalian manusia! Sungguh kalian membaca ayat ini: 'Hai orang-orang yang beriman, jagalah dirimu; tiadalah orang yang sesat itu akan memberi mudarat kepadamu apabila kamu telah mendapat petunjuk.' Sesungguhnya aku telah mendengar Rasulullah ﷺ bersabda, "Sungguh apabila manusia melihat orang yang berbuat kezaliman lalu mereka tidak berusaha mencegahnya, hampir pasti Allah akan menimpakan azab-Nya kepada mereka semua." (HR. Abu Daud, Tirmizi, Nasa`I).
Diam artinya membiarkan bencana umat islam semakin panjang, gaza berhak mendapatkan solusi terbaik dari saudara sesama muslim lainnya. Semoga, kita termasuk orang-orang yang tidak diam melihat genosida di Gaza. Wallahu alam bish shawab.
Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.
0 Komentar