Oleh : Noer Ana Thahirah,A.Ma
Presiden RI Prabowo Subianto meluncurkan program Sekolah Rakyat sebagai salahsatu upaya memutus rantai kemiskinan yang telah berlangsung pada beberapa generasi. Program ini sebagai langkah srategis guna dapat memberikan akses pendididkan berkualitas kepada anak anak dari keluarga miskin dan miskin ekstrim, sebagaimana tiga prinsip utamanya adalah memuliakan wong cilik,menjangkau yang belum terjangkau, dan memungkinkan yang tidak mungkin.
Sekretaris Jendral Kementrian Sosial [Kemensos] Robben Rico menjelaskan bahwa Sekolah Rakyat adalah bukanlah program Kemensos, melainkan program Presiden Prabowo Subianto yang diamanahkan kepada Kemensos melalui instruksi Presiden [inpres] Nomor 8 Tahun 2025. Dalam forum yang digelar Kementrian dan Digital [Komdigi] tersebut,Robben memaparkan data yang cukup mengejutkan, sebanyak 227.000 anak usia Sekolah Dasar[SD] di Indonesia belum pernah sekolah atau putus sekolah. Juga ada 499.000 anak usia sekolah menengah pertama [SMP] dan 3,4 juta .anak usia sekolah menengah atas [SMA].
Proses rekrutmen peserta pun dilakukan secara jemput bola, tidak konvensional, dengan Data Tunggal Ekonomi Nasional[DTSEN] untuk keluarga miskin dan miskin ekstrem per 14 juli 2025 ada sebanyak 63 sekolah rakyat yang telah beroperasi, sisanya 37 sekolah akan dibuka pada akhir juli atau awal agustus 2025 untuk menjangkau 100 lokasi diseluruh Indonesia. Saat ini ada 9.705 anak yang belajar di sekolah rakyat. Mereka tinggal di asrama dan mendapatkan fasilitas berupa seragam, sepatu, makanan, perlengkapan mandi, pemeriksaan kesehatan dan pemetaan bakat. Selain itu sekolah rakyat mencakup intervensi social menyeluruh. Pemerintah merenovasi rumah layak huni milik orangtua peserta sekolah rakyat, termasuk renovasi rumah warga sekitarnya. Ini sebagai bagian dari komitmen Presiden Prabowo guna memutus rantai kemiskinan melalui pendidikan dan perbaikan kondisi hidup.
Berbeda dengan sekolah formal umumnya, sekolah rakyat menggunakan sistem multi-entry dan multi-exit. Artinya, murid tidak harus masuk pada tahun ajaran yang sama, mereka bisa masuk kapan saja sesuai kesiapan dan tidak harus memulai dari kelas yang sama. Kenaikan kelaspun akan disesuaikan dengan tingkat capaian setiap individu. Pembelajaran di sekolah rakyat menggunakan teknologi terkini seperti Learning Managements System [LMS], Smartboard dan laptop. Kurikulum yang digunakan menggabungkan standar akademik nasional dengan penguatan karakter, kepemimpinan, nasionalisme, dan keterampilan sesuai kebutuhan siswa di lingkungan mereka.
Peluncuran sekolah rakyat terkait dengan upaya pemerintah untuk mengentaskan kemiskinan. Namun, realitas menunjukkan bahwa kemiskinan di Indonesia bersifat struktural, yaitu terjadi karena pemberlakuan system kapitalisme, dimana melalui penyerahan kekayaan alam oleh negara pada koorporasi sehingga rakyat tidak bias menikmati. Kekayaan alam dikuasai asing, pemerintah kapitalistik menjadikan pajak sebagai pendapatan utama negara. Akibatnya rakyat makin menderita.
Sekolah Rakyat juga diharapkan menjadi solusi pengangguran . Namun harapan ini akan bertabrakan dengan realitas bahwa justru banyak kebijakan pemerintah yang menyebabkan pengangguran meningkat. Pemerintah gagal menyediakan lapangan kerja dan justru banyak terjadi PHK akibat minimnya dukungan pemerintah terhadap industry dalam negeri. Akibatnya lulusan SMA/SMK maupun kampus banyak yang menganggur.
Dari 72,8 % juta pengangguran terbuka pada 2025, sebanyak 50,38 % merupakan lulusan SMA/SMK. Sedangkan lulusan kampus yang menganggur mencapai 1,01 juta orang. Akibatnya muncul ungkapan, sekolah/kuliah hnya menunda menjadi pengangguran. Walhasil, Sekolah Rakyat tidak bisa menjadi solusi konkret mengatasi problem kemiskinan dan pengangguran, selama system kapitalisme masih mendominasi negeri ini.
Memang benar bahwa sekolah rakyat gratis dan bisa diakses oleh anak-anak dari keluarga miskin sehingga mereka yang awalnya tidak sekolah menjadi bersekolah, Namun jangkauan sekolah rakyat ini sangat terbatas, target hanya 20 ribu siswa di 100 lokasi untuk seluruh Indonesia. Sedangkan jumlah peserta didik di Indonesia pada tahun ajaran 2024/2025 mencapai 52,9 juta siswa dan jumlah anak usia sekolah yang tidak sekolah mencapai 4,1 juta. Tampak bahwa dari total anak usia sekolah [SD, SMP, dan SMA] yang mendapatkan layanan sekolah rakyat sangat minim.
Disisi lain mayoritas sekolah negeri masih mengalami banyak problem, baik pada aspek kualitas pendidikan, sarana dan prasarana yang belum memadai, kekurangan tenaga pendidik, maupun rendahnya gaji guru honorer. Alih-alih fokus menyelesaikan aneka problem tersebut, pemerintah justru membuat program baru berupa sekolah rakyat yang tentu lagi-lagi butuh anggaran, sarana, prasarana, dan tenaga pengajar. Selain juga terkait kebutuhan sarana penunjang lainnya seperti wali asrama, wali asuh, cleaning service, hingga petugas keamanan. Belum lagi infratruktur dasar, seperti pasokan air bersih dan listrik juga yang harus dibenahi. Problem paling serius sebenarnya terkait kurikulum pembelajaran. Dan untuk mendukung semua itu pemerintah mengganggarkan Rp.48 juta/tahun untuk satu siswa sekolah rakyat. Dengan anggaran sebesar ini, akankah berhasil? Seberapa kuat kebijakan populis ini bertahan di tengah kemiskinan yang terus meningkat dan karut marutnya berbagai kebijakan, baik politik dan ekonomi?
Ini sungguh berbeda dengan sistem Islam yang memosisikan pendidikan sebagai kebutuhan dasar rakyat yang harus dipenuhi oleh negara. Islam mewajibkan umatnya untuk menuntut ilmu. Rasulullah saw. bersabda, “Menuntut ilmu itu wajib atas setiap muslim.” (HR Ibnu Majah).
Untuk melaksanakan kewajiban ini, negara wajib menyediakan layanan pendidikan bagi seluruh rakyat (yang kaya maupun miskin) secara gratis. Syekh Abu Yasin menjelaskan di dalam kitab Usus at-Ta’lim fi Daulah al-Khilafah (Strategi Pendidikan Negara Khilafah) hlm. 9 bahwa negara wajib menyelenggarakan pendidikan berdasarkan apa yang dibutuhkan manusia dalam kancah kehidupan bagi setiap individu, baik laki-laki maupun perempuan, yang terdiri dari dua jenjang, yakni pendidikan dasar (ibtidaiah) dan pendidikan menengah (sanawiah). Negara wajib menyelenggarakan pendidikan bagi seluruh warga negara secara gratis. Mereka diberi kesempatan seluas-luasnya untuk melanjutkan pendidikan tinggi secara cuma-cuma.
Di dalam kitab Al-Bidayah wa an-Nihayah karya Imam Ibnu Katsir juga dijelaskan bahwa Rasulullah saw. membebaskan tawanan Badar yang bisa membaca dan menulis dengan syarat mereka mau mengajarkan baca tulis pada umat Islam atau anak-anak ansar. Dalilnya adalah riwayat Ibnu Abbas, “Beberapa tawanan perang Badar ada yang tidak memiliki uang untuk tebusan maka Rasulullah menjadikan tebusannya dengan mengajar anak-anak anshar.”
Berdasarkan hadis ini, tebusan yang merupakan harta baitulmal dialokasikan untuk menyediakan pendidikan gratis bagi rakyat. Artinya, negara wajib mengalokasikan anggaran dari baitulmal (APBN Khilafah) untuk menyediakan pendidikan gratis bagi seluruh rakyat, bukan hanya untuk yang miskin.
Negara dalam sistem Islam (Khilafah) menyediakan layanan pendidikan tidak ala kadarnya, tetapi dengan kualitas terbaik. Hal ini demi meraih tujuan pendidikan, yaitu pertama, membangun kepribadian islami, pola pikir (akliah) dan jiwa (nafsiah) bagi umat, yaitu dengan cara menanamkan tsaqafah Islam berupa akidah, pemikiran, dan perilaku islami ke dalam akal dan jiwa anak didik. Kedua, mempersiapkan anak-anak kaum muslim agar di antara mereka menjadi ulama-ulama yang ahli di setiap aspek kehidupan, baik ilmu-ilmu keislaman (ijtihad, fikih, peradilan, dan lain-lain) maupun ilmu-ilmu terapan (teknik, kimia, fisika, kedokteran, dan lain-lain). Ulama-ulama yang mumpuni akan membawa Negara Islam dan umat Islam—melalui pundak mereka—untuk menempati posisi puncak di antara bangsa-bangsa dan negara-negara lain di dunia, bukan sebagai pengekor maupun agen pemikiran dan ekonomi negara lain (Syekh Abu Yasin, Usus at-Ta’lim fi Daulah al-Khilafah/Strategi Pendidikan Negara Khilafah, hlm. 12).
Pendidikan yang berkualitas ini terwujud dari kurikulum pendidikan yang berlandaskan akidah Islam dan didukung pendanaan yang tidak terbatas dari baitumal. Negara menjamin pemenuhan seluruh biaya pendidikan, berapa pun yang dibutuhkan.
Baitumal memiliki sumber pemasukan dari tiga bagian, yaitu fai dan kharaj, kepemilikan umum, dan zakat. Anggaran untuk pendidikan diperoleh dari pemasukan bagian pertama dan kedua, yakni fai dan kharaj serta pengelolaan kepemilikan umum.
Bagian pertama, fai dan kharaj meliputi seksi ganimah (mencakup ganimah, anfal, fai, dan khumus), kharaj, status tanah, jizyah, dan dharibah (pajak). Sedangkan bagian kedua, pemilikan umum meliputi seksi minyak dan gas; listrik; pertambangan; laut, sungai, perairan dan mata air; hutan dan padang (rumput) gembalaan; dan aset-aset yang diproteksi negara untuk keperluan khusus. Dengan demikian, sumber dana untuk pendidikan sangat besar sehingga negara tidak akan kekurangan anggaran untuk menyediakan pendidikan gratis berkualitas bagi seluruh rakyat.
Jika kas negara sedang kosong, sedangkan ada kebutuhan untuk pendidikan yang bersifat urgen, misalnya pembayaran gaji guru, negara akan memungut dharibah (pajak temporer) dari laki-laki dewasa muslim yang kaya. Sambil menunggu pemungutan dharibah, jika dana dibutuhkan segera, negara bisa melakukan pinjaman dana nonriba dari rakyat untuk kemudian dilunasi dari hasil pemungutan dharibah. Jika kebutuhan dana sudah terpenuhi, pemungutan dharibah dihentikan.
Negara membuka peluang bagi pihak swasta untuk mendirikan sekolah, tetapi harus gratis dan mengikuti kurikulum Khilafah sehingga output pendidikannya sama dengan sekolah yang disediakan negara. Ini tampak pada besarnya wakaf untuk pendidikan pada masa Khilafah Abbasiyah dan Utsmaniyah.
Tidak ada kastanisasi sekolah dalam Khilafah, misalnya Sekolah Unggulan Garuda, sekolah biasa, dan Sekolah Rakyat seperti yang ada di Indonesia saat ini. Semua sekolah dalam Khilafah memenuhi standar kualitas yang sudah ditetapkan negara, baik dari sisi kurikulum, sarana prasarana, maupun pengajar.
Sebaran sekolah dalam Khilafah juga ditetapkan harus memenuhi rasio tertentu sehingga tidak ada wilayah yang kekurangan sekolah atau sekolah yang kekurangan murid. Negara juga memperhatikan sekolah di daerah terpencil sehingga tidak ada satu pun rakyat yang tidak bisa sekolah. Selain menyediakan sekolah, negara juga akan menyediakan infrastruktur pendukung seperti jalan, jembatan, moda transportasi, dll. Bahkan, untuk kaum tertentu yang kerap berpindah-pindah, negara akan menyediakan guru yang mengajar mereka, sekaligus mekanisme khusus agar mereka tetap bisa sekolah.
Selain menjamin layanan pendidikan gratis berkualitas bagi seluruh rakyat, negara juga mewujudkan kesejahteraan rakyat secara paripurna, yaitu dengan memenuhi kebutuhan dasar mereka (sandang, pangan, papan, kesehatan, dan keamanan). Jadi, bukan hanya pendidikannya yang diperhatikan, tetapi seluruh kebutuhan dasarnya.
Jaminan kesejahteraan ini terwujud dengan penerapan sistem ekonomi Islam yang menjadikan kekayaan alam dikelola oleh negara dan hasilnya digunakan untuk kemakmuran rakyat. Wujudnya adalah penyediaan layanan publik secara gratis sehingga rakyat tidak perlu mengeluarkan biaya untuk menikmatinya.
Negara juga menyediakan lapangan kerja seluas-luasnya bagi rakyat dengan melakukan industrialisasi, pemberian bantuan modal usaha, pendidikan keterampilan kerja, pemberian tanah telantar pada yang membutuhkan, dll. sehingga seluruh laki-laki dewasa mampu bekerja dengan layak dan memenuhi kebutuhan keluarganya. Adapun bagi rakyat yang lemah (lansia, janda, yatim, disabilitas, sakit parah, dll.) dan tidak memiliki wali yang menafkahinya, negara akan memberikan santunan dan tempat tinggal (jika diperlukan).
Semua ini hanya bisa terwujud dengan penerapan syariat Islam kafah di seluruh bidang kehidupan, yaitu politik, ekonomi, pendidikan, kesehatan, sosial, pertanahan, dll. dalam institusi Khilafah. Hanya dalam sistem Islam (Khilafah) penguasa benar-benar berperan sebagai raa’in (pengurus rakyat) dan junnah (perisai pelindung rakyat) sehingga kebutuhan pendidikan bisa terpenuhi secara paripurna. Dengan demikian, permasalahan akses pendidikan bisa diselesaikan secara konkret. Wallahualam bissawab.
Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.
0 Komentar