Palestina: Gerbang Kebangkitan Umat


Oleh: Arina Sayyidatus Syahidah (Penulis & Aktivis Dakwah)

Konflik di Jalur Gaza belum menunjukkan tanda-tanda mereda. Data terbaru dari CNBC Indonesia (28/6/2025) mencatat jumlah korban tewas warga Palestina telah menembus angka 56.412 jiwa, sementara lebih dari 133.054 orang lainnya terluka sejak pecahnya perang antara Hamas dan Israel pada 7 Oktober 2023. Dalam waktu 24 jam terakhir saja, serangan Israel kembali merenggut 81 nyawa warga sipil dan melukai 422 orang lainnya. Angka ini menegaskan betapa besarnya penderitaan yang terus dialami rakyat Gaza di tengah agresi militer yang seolah tanpa akhir.

Di tengah situasi kemanusiaan yang memburuk, muncul wacana ‘jalan damai’ melalui gencatan senjata. Namun, di balik upaya tersebut tersimpan agenda politik yang tak kalah mengkhawatirkan. Israel Hayom melalui Republika.co.id (26/6/2025) melaporkan bahwa mantan Presiden Amerika Serikat Donald Trump bersama Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu telah mencapai kesepakatan untuk mengakhiri perang Gaza dalam dua pekan ke depan. Kesepakatan ini bukan sekadar menghentikan serangan, melainkan memuat syarat-syarat yang sarat kepentingan strategis bagi Israel dan sekutunya.

Beberapa poin penting dari rencana tersebut di antaranya adalah penggantian pemerintahan Hamas di Gaza dengan empat negara Arab, termasuk Mesir dan Uni Emirat Arab. Sejumlah negara Arab juga akan diminta menampung warga Gaza yang ingin bermigrasi. Selain itu, Abraham Accords akan diperluas, membuka normalisasi hubungan diplomatik antara Israel dengan Suriah, Arab Saudi, serta negara-negara Muslim lainnya. Yang tak kalah kontroversial, Amerika Serikat akan mendukung penerapan kedaulatan Israel atas Tepi Barat — wilayah yang selama ini masih menjadi salah satu titik sentral konflik Palestina-Israel.

Kesepakatan semacam ini menunjukkan bahwa di balik narasi perdamaian, terdapat agenda normalisasi yang justru berpotensi memperluas dominasi Israel di tanah Palestina. Sementara rakyat Gaza masih harus berjuang bertahan hidup di tengah puing-puing serangan, masa depan politik Palestina justru dipertaruhkan di meja perundingan tanpa jaminan keadilan yang nyata.

Fakta-fakta memilukan tentang korban jiwa yang terus berjatuhan dan agenda gencatan senjata yang sarat kepentingan politik jelas menunjukkan bahwa konflik Gaza bukan sekadar persoalan kemanusiaan biasa. Di balik angka-angka korban yang kian bertambah setiap hari, tersembunyi pengkhianatan yang lebih dalam: lemahnya sikap para penguasa Muslim yang semestinya berdiri di barisan terdepan membela rakyat Palestina.

Situasi Gaza hari ini kian memprihatinkan. Agresi militer Israel terus menggempur rakyat sipil tanpa ampun, sementara para pemimpin negara-negara Muslim justru abai atau larut dalam permainan diplomasi yang menyesatkan. Perang Iran yang sempat disebut-sebut sebagai penyeimbang nyatanya hanya menegaskan bahwa tidak ada satupun penguasa Muslim yang sungguh-sungguh menolong Gaza dengan kekuatan nyata. Solidaritas yang digembar-gemborkan sekadar berhenti pada pernyataan sikap dan bantuan kemanusiaan yang tak pernah cukup menghentikan penjajahan.

Ironisnya, sebagian penguasa Muslim — termasuk Indonesia — justru mendorong narasi solusi dua negara sebagai jalan keluar. Padahal, wacana dua negara sejak lama hanya menjadi panggung sandiwara untuk membodohi umat Islam dan meninabobokan rakyat Palestina. Fakta sejarah menunjukkan bahwa Zionis Israel dan Amerika Serikat tidak pernah benar-benar mau mengakui kemerdekaan penuh Palestina. Segala perundingan hanya akal-akalan diplomasi demi melegitimasi penjajahan dan memperluas dominasi Israel di wilayah yang seharusnya menjadi tanah kaum Muslimin. Bagi rakyat Palestina yang lurus dan masih setia pada warisan iman, solusi dua negara adalah pengkhianatan terhadap darah para syuhada yang gugur membela bumi para nabi. Mereka sadar bahwa tidak mungkin ada sejengkal pun tanah Palestina — tanah kaum Muslimin — yang sah diserahkan kepada penjajah Zionis. Inilah prinsip yang diwariskan dalam perjanjian Umariyah — janji perlindungan dan kepemilikan kaum Muslimin atas Baitul Maqdis — yang terus dijaga oleh generasi demi generasi, meski harus ditebus dengan nyawa.

Inilah sebabnya pembantaian di Gaza tidak akan pernah berhenti selama penjajah masih bercokol dan solusi palsu terus dijajakan di meja-meja diplomasi. Namun di saat yang sama, perlawanan rakyat Palestina pun tidak akan pernah padam. Selama masih ada iman dan kesadaran akan amanah syuhada, perlawanan akan tetap tumbuh meski harus dibayar mahal dengan darah dan air mata. Sejarah membuktikan, kebebasan sejati tidak lahir dari perundingan yang melemahkan prinsip, melainkan dari perjuangan yang bersandar pada keyakinan akan janji kemenangan dari Allah SWT.

Berangkat dari kenyataan pahit yang terus berulang, sudah semestinya umat Islam tidak lagi meletakkan harapan pada solusi-solusi semu yang dirancang oleh Barat dan penjajah Zionis. Fakta sejarah dan realitas hari ini telah menunjukkan betapa solusi dua negara hanyalah ilusi yang membuai umat, sementara di belakangnya genosida terus terjadi tanpa henti. Inilah saatnya umat Islam kembali mengingat satu-satunya jalan penyelesaian yang hakiki dan dijamin syar’i: hadirnya kepemimpinan Islam sejati, yaitu Khilafah yang akan menjadi pelindung umat sekaligus penggerak jihad untuk membebaskan bumi Palestina. Umat Islam harus memahami bahwa seruan penegakan Khilafah bukan berarti merelakan rakyat Gaza terus dibantai. Justru sebaliknya, inilah bukti keimanan dan keseriusan umat menyiapkan pertolongan hakiki bagi saudara-saudara kita di Palestina. Sejak puluhan tahun lalu, opini solusi dua negara terus dijajakan, tetapi tidak pernah menghentikan pembantaian. Artinya, berharap pada jalur kompromi buatan Barat hanya akan menjauhkan umat dari janji kemenangan yang telah Allah tetapkan melalui jalan jihad yang terorganisir di bawah kepemimpinan yang sah.

Tragedi Gaza seharusnya menjadi momen kebangkitan kesadaran bahwa sistem sekuler kapitalisme global tidak pernah peduli pada penderitaan umat Islam. Hanya Khilafah-lah yang terbukti dalam sejarah menjadi perisai umat, mengomando pasukan, membuka negeri, dan menegakkan keadilan di atas hukum Allah SWT. Maka tugas umat hari ini adalah mendukung perjuangan penegakan Khilafah, tidak berhenti di lisan, tetapi sungguh-sungguh terjun bersama kelompok dakwah ideologis yang berjuang di jalan yang benar.

Inilah bentuk pertolongan nyata bagi Gaza dan Palestina: bukan hanya sekadar sumbangan kemanusiaan, tetapi menyiapkan barisan yang akan membebaskan Al-Aqsa sebagaimana para Khalifah terdahulu membebaskannya dari cengkeraman penjajah. Dengan demikian, tidak hanya rakyat Gaza yang terselamatkan, tetapi seluruh umat Islam akan terangkat dari kehinaan akibat hidup dalam naungan sistem sekuler kapitalisme yang rusak.




Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.

Posting Komentar

0 Komentar