Oleh: Imas Royani, S.Pd.
Ketua Umum Apindo, Shinta Kamdani menyebut bahwa persoalan pemutusan hubungan kerja (PHK) yang kini marak bukanlah isu paling mengkhawatirkan. Justru, kata dia yang lebih mengancam adalah minimnya penciptaan lapangan kerja baru di tengah tekanan ekonomi global dan domestik. Menurutnya, setelah gelombang PHK, para pekerja yang terdampak sulit mendapatkan pekerjaan pengganti.
"Yang paling mengkhawatirkan bukan hanya angka PHK, melainkan apa yang terjadi sesudahnya, yaitu tidak cukup banyak lapangan pekerja baru yang tercipta. Ini adalah tantangan terbesar, tidak cukupnya lapangan pekerja," kata Shinta dalam acara BPJS Ketenagakerjaan Dewas Menyapa Indonesia, di Jakarta, Senin (28/7). (Merdeka online, 28/7/2025).
BPS mencatat pada 2022, jumlah pencari kerja sebanyak 937.176 orang, sedangkan lowongan kerja hanya berjumlah 59.276. Artinya 1 lowongan kerja diperebutkan oleh sekitar 16 warga. Jumlah tersebut belum ditambah pekerja asing yang keberadaannya makin didukung regulasi.
Per Februari 2023, BPS mencatat masih terdapat 7,99 juta pengangguran di Indonesia. Walaupun dari tahun ke tahun pencari kerja makin turun, tetapi jumlah lowongan kerja pun jauh makin menurun. Ketimpangan ini tentu terus menambah jumlah keluarga miskin dan kian menurunkan tingkat kesejahteraan bangsa.
Dalam survei terbaru yang dilakukan Apindo ke pengusaha, lebih dari 50 persen responden menyatakan telah mengurangi tenaga kerja, dan sebagian lainnya masih berencana melakukan hal yang sama dalam waktu dekat. Penyebab utama stagnasi lapangan kerja adalah keengganan dunia usaha untuk berekspansi. Banyak perusahaan memilih menahan investasi dan rekrutmen karena menghadapi ketidakpastian yang tinggi, baik dari sisi kebijakan dalam negeri maupun perkembangan global.
Gejolak geopolitik, fluktuasi nilai tukar, dan proyeksi ekonomi yang suram membuat pelaku usaha lebih berhati-hati. Mereka memilih fokus pada efisiensi internal ketimbang mengambil risiko membuka usaha baru atau memperluas lini produksi. Akibatnya, peluang kerja baru pun mandek.
Pemerintah mengeklaim penyebab makin berkurangnya lowongan kerja adalah karena perubahan teknologi informasi. Cepatnya perkembangan digitalisasi menjadi ancaman nyata bagi pasar tenaga kerja Indonesia yang didominasi oleh tenaga kerja unskilled-workers. Walhasil, faktor terbesar tingginya pengangguran di Indonesia adalah karena kompetisi tenaga kerja yang ada sangat rendah.
Adapun solusi dari pemerintah adalah dengan terus mengadakan pelatihan-pelatihan untuk menekan pengangguran. Melihat Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) di Indonesia yang didominasi oleh tingkat pendidikan SMK dan SMA, kini pemerintah tengah menggencarkan pelatihan vokasi. Ke depan, pelatihan dan pendidikan vokasi harus berjalan beriringan.
Namun demikian, solusi pemerintah menggencarkan pelatihan vokasi untuk menekan pengangguran dianggap klise dan tidak akan mampu menyelesaikan masalah pengangguran. Alasannya, selain karena pemborosan dana untuk program vokasi. Juga karena program pendidikan dan pelatihan vokasi yang sudah lama berjalan ini dianggap tidak menuai hasil, bahkan menjadikan lulusan SMK malah menjadi warga terbanyak menganggur.
Persoalan klasik yang tidak bisa dijawab oleh sistem ekonomi kapitalisme salah satunya adalah tingginya pengangguran. Persoalan ini bukan hanya dialami oleh negara berkembang, tetapi juga oleh negara-negara maju. Lihatlah kondisi AS dan Cina yang kini pun sedang dihantam persoalan tingginya pengangguran.
Setidaknya ada tiga sebab pengangguran terus menjadi persoalan di sistem ini. Pertama, sistem ini fokus kepada keuntungan individu pemilik. Sebuah perusahaan akan terus menekan biaya produksi agar mencapai keuntungan yang maksimal, sedangkan biaya produksi yang paling mudah untuk ditekan adalah upah pekerja. Walhasil, upah rendah dan PHK disebut sebagai bentuk efisiensi perusahaan. Inilah yang akan makin mengurangi jumlah lowongan kerja.
Kedua, persaingan bebas antarperusahaan akan menciptakan kondisi “saling caplok”. Perusahaan yang memiliki modal besar akan mencaplok perusahaan kecil sehingga dunia usaha hanya dikuasai oleh segelintir orang. Pengusaha kecil yang perusahaannya diakuisisi, pada akhirnya akan mengantre untuk menjadi pekerja.
Ketiga, negara abai. Sistem kapitalisme menyerahkan seluruh urusan umat kepada swasta termasuk lapangan pekerjaan. Walhasil, kebijakan untuk menyerap tenaga kerja fokus pada pertumbuhan satu perusahaan (teori trickle down effect). Akhirnya pemerintah fokus untuk memperbesar perusahaan agar lapangan pekerjaan terbuka lebar. Padahal, teori ini penuh manipulasi dan tidak akan pernah menjadi realitas. Ini karena perusahaan yang makin tinggi akan terus mengalirkan keuntungan melimpah kepada pemiliknya. Sementara itu, percikan yang diharapkan kepada rakyat hanya sedikit dan tidak sebanding dengan mudarat yang ditimbulkannya.
Mudaratnya bukan hanya berbicara lingkungan yang rusak karena kerakusan pemilik modal, tetapi juga terciptanya kemiskinan yang makin akut. Dari kemiskinan akan lahir persoalan lainnya, seperti kelaparan, kebodohan, hingga kriminalitas.
Berbeda dengan sistem Islam. Sistem ekonomi Islam terbukti mampu menyejahterakan seluruh warganya hingga berabad-abad lamanya. Setidaknya ada tiga faktor. Pertama, Islam memiliki regulasi kepemilikan yang tidak dimiliki oleh kapitalisme. Kapitalisme menganggap bahwa setiap manusia berhak memiliki apa pun sehingga barang milik umum, seperti air dan barang tambang yang melimpah, boleh dikuasai siapa pun, termasuk asing.
Islam mengharamkan barang milik umum dikuasai individu sebab barang tersebut milik seluruh rakyat. Islam mengatur harta milik umum berdasarkan hadis, “Kaum Muslim berserikat dalam tiga perkara yaitu padang rumput, air dan api.” (HR. Abu Dawud dan Ahmad).
Barang tersebut harus dinikmati oleh rakyat. Negara hanya boleh mengelolanya dan harus dikembalikan kepada rakyat. Dari sini, sebenarnya persoalan kemiskinan akan terselesaikan karena SDA yang melimpah dan dikelola negara akan benar-benar disalurkan kepada rakyat.
Kedua, jika pengelolaan SDA yang melimpah ada di tangan negara, hal ini akan sangat menyerap lapangan pekerjaan. Eksplorasi bahan mentah sangat membutuhkan tenaga kerja. Saat ini, tersebab pengelolaan diserahkan pada swasta, swasta bebas menentukan asal tenaga kerjanya. Walhasil, tenaga kerja asing masuk pada saat warga negara menganggur.
Ketiga, pengaturan upah dalam sistem Islam sangat berbeda dengan kapitalisme. Sistem Islam tidak menjadikan upah sebagai biaya produksi. Ini karena upah bukan berdasarkan hitung-hitungan biaya produksi, melainkan kesepakatan antara pekerja dan majikan, atau sering disebut upah sepadan. Walhasil, tidak akan ada demonstrasi penuntutan kenaikan upah sebab hal demikian telah disepakati.
Adapun terkait dengan kesejahteraan pekerja, ini bukan tanggung jawab majikan, melainkan negara. Jika dengan upah sekian, pekerja tersebut tidak mampu memenuhi kebutuhan hidupnya, negaralah yang akan bertanggung jawab.
Keempat, negara sebagai pihak sentral dalam menyelesaikan persoalan umat, termasuk menciptakan lapangan pekerjaan. Negara akan memastikan para laki-laki bekerja dan mampu memenuhi kebutuhan tanggungannya. Dari sini akan lahir kesejahteraan bagi semua.
Sungguh, hal demikian telah terukir dalam sejarah betapa Islam mampu menyejahterakan rakyatnya hingga berabad-abad lamanya. Tengoklah kisah saat khalifah Umar bin Abdul Aziz menjadikan rakyatnya tidak ada yang berhak menerima zakat. Juga kisah kegemilangan Khalifah Harun Arrasyid yang mengosongkan baitulmal hingga tidak ada satu pun rakyatnya yang kelaparan.
Sungguh PHK dan sedikitnya lapangan pekerjaan berada di tingkat yang sama yang harus segera diselesaikan oleh negara. Untuk menyelesaikan masalah tersebut, langkah pertama yang harus dilakukan negara adalah mengganti sistem yang dipakai saat ini dengan sistem Islam yang telah terbukti selama 13 abad memberikan cahaya gemilang kepada seluruh alam.
Dan sebagai warga negara Indonesia yang baik, langkah pertama yang bisa kita lakukan sekarang adalah mengkaji Islam kaffah bersama kelompok dakwah Islam ideologis dan mendakwahkannya di tengah-tengah masyarakat. Mari bersama-sama kita melakukannya, tanpa nanti tanpa tapi. Allahu Akbar!
Wallahu'alam bishshawab.
Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.
0 Komentar