Oleh : Lintang Kencana Wulandari
Musim hujan kerap kali menjadi mimpi buruk bagi sebagian besar masyarakat, terutama bagi mereka yang tinggal di kawasan rawan banjir. Namun yang lebih menyakitkan adalah ketika banjir terjadi di kawasan perumahan baru, yang secara logika seharusnya layak huni dan aman secara lingkungan. Inilah yang terjadi di Perumahan Arthera Hill 2, Cikarang Selatan, Kabupaten Bekasi.
Warga yang baru saja menghuni kawasan ini justru menghadapi kenyataan pahit: banjir sebanyak enam kali dalam kurun satu tahun terakhir. Ketika harapan akan hunian nyaman dan aman pupus, kekecewaan warga pun meledak. Mereka menuntut tanggung jawab pengembang, namun sayangnya, sistem yang menopang dunia properti saat ini justru menjadikan para korban sebagai pihak yang tersudut.
Kisah ini bukan hanya soal banjir, tapi juga cermin dari ketidakadilan struktural akibat sistem ekonomi kapitalistik, yang mengaburkan nilai-nilai kemanusiaan dan membiarkan transaksi rumah, yang seharusnya menjadi hak dasar rakyat, justru menjadi alat eksploitasi melalui mekanisme riba dan manipulasi tata ruang.
Realita di Lapangan: Banjir Bertubi-tubi dan Aksi Protes Warga
Perumahan The Arthera Hill 2 yang berlokasi di Desa Sukasejati, Cikarang Selatan, menjadi sorotan publik setelah kembali terendam banjir untuk keenam kalinya dalam satu tahun terakhir. Puncaknya terjadi pada 2 Agustus 2025 lalu, ketika hujan deras menyebabkan air setinggi lutut orang dewasa merendam puluhan unit rumah. Ironisnya, mayoritas warga baru saja menghuni rumah tersebut dalam hitungan bulan, bahkan ada yang baru pindah sepekan sebelum banjir terjadi.
Menurut laporan BeritaSatu (2/8/2025), warga sudah berkali-kali mengadukan kejadian ini ke pengembang PT Putra Jaya Samudra (PJS), namun tidak mendapat respons memuaskan. Warga kemudian menggeruduk kantor pemasaran untuk menuntut dua opsi: pengembalian uang (buyback) atau relokasi. Namun pengembang berdalih tidak bisa memenuhi tuntutan karena mayoritas rumah dibeli secara kredit dan telah terikat akad pembiayaan dengan pihak bank.
Artinya, meskipun rumah tersebut terbukti berada di lokasi tidak layak huni, warga tidak bisa begitu saja mundur dari transaksi karena terbelenggu skema pembiayaan riba. Alhasil, kerugian bukan hanya berupa material akibat banjir, tetapi juga ketidakberdayaan hukum warga dalam membatalkan akad yang cacat secara substansial.
Ketika Hunian Dipaksakan Demi Keuntungan
Peristiwa ini menggambarkan bagaimana proyek perumahan kerap dipaksakan berdiri di atas lahan yang secara teknis tidak layak—misalnya daerah cekungan, eks-resapan air, atau wilayah tanpa drainase memadai. Pengembang tetap memasarkan kawasan tersebut karena iming-iming keuntungan besar akibat lonjakan permintaan hunian.
Dalam kasus Arthera Hill 2, lokasi pembangunan diketahui berada di dataran rendah yang minim kanal pembuangan dan dekat dengan aliran air kampung. Bahkan menurut warga, sebelum dibangun, kawasan tersebut sempat tergenang selama berhari-hari setiap musim hujan. Namun pengembang tetap melanjutkan proyek tanpa solusi infrastruktur yang memadai.
Sayangnya, dalam sistem kapitalistik, selama sertifikat tanah dan izin pembangunan bisa diperoleh—meski dengan celah prosedural—maka pembangunan akan terus berlanjut. Warga tidak pernah benar-benar dilibatkan dalam perencanaan tata ruang, dan pemerintah pun cenderung bertindak sebagai fasilitator perizinan, bukan pelindung rakyat.
Akad Jual Beli yang Menzalimi: Riba dan Persekongkolan Lembaga Keuangan
Masalah menjadi semakin kompleks karena hampir seluruh unit rumah dibeli melalui skema KPR (Kredit Pemilikan Rumah) berbasis bunga (riba). Dalam akad ini, pembeli rumah terikat pada dua institusi: pengembang dan bank. Ketika rumah terbukti cacat atau tidak layak huni, tidak serta-merta akad bisa dibatalkan, karena ada tanggungan utang kepada pihak ketiga.
Bank tidak akan membatalkan pembiayaan hanya karena rumah kebanjiran. Pengembang juga menolak buyback karena dana sudah masuk ke pihak bank. Akhirnya, korban menjadi pihak yang paling dirugikan: membayar cicilan untuk rumah yang tak bisa dihuni.
Di sinilah tampak jelas bagaimana sistem kapitalistik menyusun akad jual beli yang tidak adil. Islam sangat menekankan kejelasan akad (akad bai’) serta melarang segala bentuk riba, gharar (ketidakjelasan), dan tadlis (penipuan). Rasulullah ï·º bersabda: “Barangsiapa menipu kami, maka ia bukan bagian dari golongan kami.” (HR. Muslim)
Riba dalam KPR tidak hanya haram dari sisi akidah, tetapi juga menciptakan struktur ekonomi yang tidak memberi ruang perlindungan kepada konsumen. Rakyat kecil, yang memimpikan rumah sebagai tempat tinggal dan kenyamanan, justru dijerat utang riba selama puluhan tahun, bahkan untuk rumah yang rusak atau tak layak huni.
Tata Ruang Asal-asalan : Cermin Ketidakpedulian Kapitalisme terhadap Lingkungan
Kasus Arthera Hill 2 juga mencerminkan tata ruang yang tidak dirancang berdasarkan prinsip kemaslahatan, tetapi hanya berorientasi pada nilai jual. Sistem kapitalistik menjadikan lahan sebagai komoditas, bukan amanah publik. Lahan kosong yang sebelumnya merupakan resapan air dengan mudah dikonversi menjadi perumahan, tanpa ada audit dampak lingkungan yang jujur dan komprehensif.
Pemerintah daerah pun tidak memiliki sistem pengawasan tata ruang yang ketat. Fungsi pengendalian biasanya bersifat formalitas, sementara pelanggaran kerap ditoleransi karena adanya kolusi antara pengembang dan oknum birokrasi.
Padahal dalam Islam, negara memiliki tanggung jawab langsung dalam menjaga kemaslahatan umum. Rasulullah ï·º bersabda: “Imam (pemimpin) adalah pengurus dan dia akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyatnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Tata ruang dalam Islam bukan sekadar administratif, tetapi menyatu dalam konsep hima (kawasan lindung), harim (zona larangan pembangunan), dan qismatul amlak (pembagian lahan) yang mengacu pada prinsip kemanfaatan dan keadilan.
Solusi Islam : Hunian Tanpa Riba dan Tata Ruang Berdasarkan Syariah
Islam tidak hanya mengharamkan riba dan penipuan, tetapi juga memberi panduan konkret dalam urusan jual beli dan pengelolaan tanah. Dalam sistem Islam:
1. Akad Jual Beli Transparan dan Adil
Setiap akad rumah harus jelas: harga, kondisi barang, dan tanggung jawab masing-masing pihak. Tidak boleh ada transaksi yang menguntungkan salah satu pihak secara zalim, apalagi dengan intervensi lembaga riba.
2. Kepemilikan Rumah Tanpa Utang Riba
Islam tidak mengenal konsep KPR riba. Negara dalam Khilafah Islam akan menyediakan rumah rakyat dari dana baitulmal atau dengan skema sewa beli tanpa bunga. Rakyat miskin akan diprioritaskan untuk mendapat rumah layak tanpa cicilan memberatkan.
3. Negara Bertanggung Jawab Penuh atas Tata Ruang
Pemerintah Islam tidak menyerahkan urusan perumahan kepada swasta semata. Setiap proyek wajib melalui audit lingkungan dan maslahat, serta dikawal agar tidak merusak fungsi alam (seperti kawasan resapan).
4. Perlindungan Konsumen melalui Qadhi Hisbah
Islam memiliki lembaga pengawas pasar yang disebut Qadhi Hisbah, yang bertugas menangani penipuan, manipulasi akad, hingga perumahan cacat. Qadhi Hisbah dapat membatalkan akad sepihak jika terbukti ada kecurangan.
5. Larangan Membangun di Kawasan Banjir
Dalam fiqh muamalah, Rasulullah melarang pembangunan yang merugikan tetangga dan lingkungan. Kaidahnya: "Laa dharara wa laa dhirar" (tidak boleh membahayakan diri dan orang lain). Maka pembangunan di area banjir tanpa solusi jelas termasuk kezaliman struktural.
Kasus banjir di Perumahan Arthera Hill 2 bukan sekadar peristiwa alam, melainkan akibat dari kelalaian sistemik dalam perencanaan, pembiayaan, dan regulasi yang lahir dari sistem kapitalisme. Warga dirugikan karena tidak memiliki posisi tawar di hadapan pengembang dan bank. Negara pun tak sepenuhnya hadir sebagai pelindung, hanya menjadi penonton dari kesewenang-wenangan transaksi properti.
Islam hadir dengan sistem alternatif yang adil dan solutif. Hunian dalam Islam bukan komoditas yang dieksploitasi, melainkan hak dasar yang wajib dijamin negara. Jual beli dilakukan tanpa riba, tata ruang dirancang berdasarkan maslahat, dan negara memikul tanggung jawab penuh atas kesejahteraan rakyatnya.
Sudah saatnya umat Islam menyadari bahwa keadilan sejati tidak mungkin lahir dari sistem kapitalisme yang mengabdi pada keuntungan, tetapi hanya bisa diwujudkan dalam sistem Islam kaffah di bawah naungan Khilafah.
Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.
0 Komentar