Oleh : Sophia Halima Ismi
Pada Juli 2025, Kementerian Agama (Kemenag) meluncurkan Kurikulum Berbasis Cinta (KBC), yang diklaim sebagai wajah baru pendidikan Islam yang humanis, inklusif, dan spiritual. Menteri Agama Nasaruddin Umar menyatakan bahwa KBC hadir sebagai respons terhadap krisis kemanusiaan, intoleransi, hingga degradasi lingkungan yang terus menguat. Kurikulum ini dipandang sebagai transformasi besar ekosistem pendidikan nasional, yang siap mencetak generasi Islami yang moderat dan toleran. Sumber-sumber dari Republika, Antara, dan Sindo mencakup detail perancangan hingga filosofi pendidikan yang menekankan empati dan toleransi.
Namun apakah kurikulum cinta ini benar-benar solutif, atau malah sebuah jebakan ideologis? Sekilas tampak seperti inovasi tercanggih, tapi implikasinya mengancam ketahanan akidah generasi muslim.
Data dan Perspektif Resmi
Kemenag mensosialisasikan KBC sebagai kurikulum pendidikan Islam yang membangun nilai cinta sebagai inti pembelajaran. Materinya mencakup keseimbangan antara cinta kepada Allah, cinta kepada nabi, cinta orang tua, lingkungan, hingga sesama manusia tanpa melihat latar agama dan etnis (Sumber Kemenag; Antara, 2025). Teori pembelajarannya berbasis pedagogi kasih sayang, dialog lintas iman, dan kesadaran ekologis.
Beberapa poin utama yang disampaikan:
> Pembelajaran spiritual yang emotional dan empatik,
> Pendidikan karakter, moral dan sosial ditingkatkan melalui cinta universal,
> Cinta ditransformasikan sebagai nilai dasar pendidikan Islam agar generasi kelak menjadi manusia inklusif.
Kemenag menganggap model ini “kebutuhan mendesak” dalam sistem pendidikan Islam yang selama ini dianggap terlalu dogmatis dan represif.
Analisis Kritikal : Lemahnya Landasan Akidah Islam dalam KBC
Meskipun kurikulum ini terdengar progresif, risiko ideologisnya sangat besar. Berikut beberapa kritik utama berdasarkan analisis sistemik:
1. Deradikalisasi Terselubung terhadap Generasi Muslim
KBC cenderung mengadopsi nilai-nilai sekuler yang memisahkan moral akidah dari identitas keislaman. Dengan norma “cinta universal”, generasi muslim dibidik agar bersikap lembut terhadap non-Muslim, sementara ketegasan dalam menegakkan agama Islam dikerdilkan. Anak-anak Muslim yang ingin menerapkan syariat Islam secara kaffah terancam dicap “ekstrim” dan diasingkan.
Dalam suasana pendidikan yang demikian, basis akidah umat dipermainkan: loyalitas utama terhadap Allah digantikan loyalitas terhadap “kemanusiaan”, “toleransi umum”, dan kepatuhan sosial. Ini pada akhirnya mengikis keberanian jihadiyah, kepemimpinan spiritual, dan karakter Islam yang utuh.
2. Sekularisme Tersembunyi dalam Pendidikan
Kurikulum cinta adalah produk paradigma sekuler: menjadikan akal manusia sebagai sumber hukum dan norma utama. Ia menggantikan nilai wahyu dengan nilai empati dan mandiri. Padahal dalam Islam, akal hanya berfungsi ketika ia dimurnikan dengan wahyu. Tanpa akidah kuat, umat akan rapuh menghadapi retorika global, perang ideologi, dan tekanan materialisme.
3. Ketidaksiapan Institusional dan Efek Negatif Jangka Panjang
Mengimplementasikan kurikulum semacam ini tanpa penguatan akidah dan literasi Islam yang memadai bisa menjadi bumerang. Guru-guru sekolah mungkin tidak siap menghadapi ketegangan antara ajaran Islam kaffah dan norma cinta universal. Akibatnya, konten Islami disederhanakan, syariat dipinggirkan, dan ruang dakwah di sekolah formal semakin menyempit.
Lebih parah lagi, generasi seksual bebas dan nihil akhlak menjadi ancaman bila nilai cinta ditafsirkan sempit: cinta berarti toleransi absolut, yang tanpa kontrol akhlak akan melahirkan tindakan yang bertentangan dengan syariat Islam.
Solusi Pendidikan dalam Perspektif Islam dan Khilafah
Islam menetapkan bahwa akidah bukan hanya bagian dari pendidikan tetapi asas utama dalam kehidupan. Negara Islam (Khilafah) memiliki tanggung jawab moral dan politik untuk memastikan pendidikan nasional berlandaskan akidah. Berikut jalur solusinya:
1. Akidah sebagai Pondasi Kurikulum
Negara wajib menjadikan akidah Islam sebagai basis seluruh mata pelajaran: Tauhid, fiqh, sejarah Islam, ekonomi Islam, dan lain-lain. Pendidikan tidak boleh sekadar moral dan sosial; anak-anak Islam harus memahami tauhid, hakikat hukum Allah, dan tujuan hidup berlandaskan syariat.
2. Rekonstruksi Kurikulum
Kurikulum tidak boleh mengedepankan nilai moral universal yang mengaburkan ajaran Allah. Kurikulum Islam dalam sistem Islam menjunjung nilai cinta kepada Allah dan Rasul-Nya sebagai inti, bukan sekadar cinta kepada manusia. Secara bersama-sama anak-anak diajarkan hikmah cinta terhadap umat Islam secara kolektif, kewajiban berjihad, dan menjaga aqidah umat.
3. Pendidikan Institusional dalam Naungan Khilafah
Dalam sistem Khilafah:
> Semua sekolah dan madrasah dibiayai negara, tanpa biaya untuk rakyat,
> Kurikulum seragam berbasis wahyu, dipastikan implikasi syariatnya dijalankan,
> Guru Islam berkualifikasi tinggi, menanamkan karakter Islami kuat,
> Pendidikan menyiapkan generasi menjadi pemimpin dunia, bukan hanya pekerja pasar.
4. Pelestarian Identitas dan Keteguhan Akidah
Islam tidak melarang cinta kepada makhluk, tapi cinta melalui konsepsi akidah: hormat terhadap non-Muslim, namun cinta kepada agama sendiri. Dalam Khilafah, apa pun program pendidikan yang merusak dasar tauhid akan ditolak. Negara menindak keras ideologi yang dianggap meruntuhkan fondasi umat Islam.
Kurikulum Berbasis Cinta yang diluncurkan Kemenag nampak sebagai inovasi progresif, namun jelas berbahaya ketika mengabaikan akidah sebagai dasar pendidikan Islam. Ia bukan jawaban atas krisis pendidikan Islam, melainkan bagian dari upaya deradikalisasi dan sekularisasi sejak dini.
Solusi hakiki hanya bisa terwujud dengan sistem pendidikan yang berakar pada wahyu dan diatur oleh negara Islam. Pendidikan Islam sejati tak bisa dikuasai oleh paradigma cinta tanpa syariat. Hanya dengan itu generasi Islam tidak rapuh secara moral, kuat secara spiritual, dan mampu membangun peradaban sesuai syariat.
Bagi umat Islam hari ini, tugas kita adalah menolak sistem pendidikan yang meminggirkan akidah, memperjuangkan pendidikan Islam yang kaffah, dan mendukung tegaknya institusi Khilafah sebagai wadah satu payung yang diridhai oleh Allah dan Rasul-Nya.
Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.
0 Komentar