Kurikulum Cinta Kemenag: Antara Nama Indah dan Ancaman Tersembunyi


Oleh: Shofiyah Amalia Achmad

Baru-baru ini Kementrian Agama (Kemenag) meluncurkan kurikulum pendidikan baru yang bernama; Kurikulum Berbasis Cinta (KBC) sebagai wajah baru pendidikan Islam yang disebut-sebut lebih humanis, inklusif, dan spiritual. Menteri Agama RI, Nasaruddin Umar meluncurkan kepada khalayak tentang kurikulum ini sebagai langkah transformasi dan trobosan besar untuk merespons problem pada dunia pendidikan yang krisis kemanusiaan, intoleransi, hingga degradasi lingkungan yang makin lama makin mengkhawatirkan. Selain itu, adanya kurikulum ini menjawab keresahan Menag terkait Pendidikan yang hanya didominasi dan berfokus pada kognitif semata, kurang menekankan aspek spiritualis, normatif, humanis, dsb.
“Jangan sampai kita mengajarkan agama, tapi tanpa sadar menanamkan benih kebencian kepada yang berbeda. Kurikulum ini adalah upaya menghadirkan titik-titik kesadaran universal dan membangun peradaban dengan cinta sebagai fondasi,” ujar Menag, melalui siaran pers, Jumat (25/7/2025) (SINDOnews.com 25/7/2025).

Dari namanya saja, Kurikulum Cinta ini terdengar indah sekali, bukan? Ternampak menawarkan gagasan yang sangat baik, sangat dibutuhkan, dan bahkan seakan membawa harapan emas. Namun, benarkah ia seindah klaimnya? Sama sekali tidak. Jika dicermati lebih dalam, KBC justru memendam potensi bahaya besar: yakni deradikalisasi sejak dini, dengan segala macam bentuknya, implementasinya, dsb. Di balik narasi cinta, toleransi, dan keberagaman, kurikulum ini ternyata dapat menanamkan sikap selektif dalam berinteraksi—keras terhadap sesama Muslim yang ingin menerapkan syariat Islam secara Kaffah, IslamPhobia, dan nantinya akan diberi label radikal dan ekstrim, dimusuhi, dipersekusi, diancam pengajiannya dibubarkan, dll. Namun justru sebaliknya, lemah lembut, penuh penghormatan, menjunjung tinggi rasa percaya kepada nonmuslim. Praktik seperti ini sudah terlihat: pengajian dibubarkan, dai yang menyeru penerapan syariat dilabeli radikal, sementara perayaan hari raya nonmuslim dihadiri bahkan dirayakan bersama, dan rumah ibadah mereka dijaga ketat. 

Lebih jauh lagi, KBC ini berasaskan paradigma Sekuler—yang mana mampu menjauhkan generasi Muslim dari aturan agama dan menempatkan akal manusia sebagai penentu benar-salahnya segala sesuatu. Padahal, sudah detail sekali dalam Islam dijelaskan bahwa sekularisme adalah ide yang keliru dan batil, karena memisahkan agama dari kehidupan. Kurikulum yang dibangun di atas asas ini hanya akan mengikis identitas iman dan keislaman generasi sekarang dan yang esok mendatang.

Ketentuan yang ada dalam Islam yakni kurikulum harus berbasis akidah Islam, bukan yang lain. Pendidikan berbasis akidah tidak akan membuat anak membenci sesama manusia, justru menumbuhkan kecintaan yang benar: cinta yang lahir dari iman, mengajak kepada kebaikan, dan menolak kemungkaran. Bila akidah suatu generasi kuat, maka mereka akan memandang dunia dengan kacamata Islam, menata hubungan sosial sesuai syariat-Nya, dan menyelesaikan masalah kehidupan sesuai dengan petunjuk Allah, mendapatkan solusi yang sesuai dengan wahyu, bukan semata hawa nafsu atau mungkin trend global yang menyesatkan. Karenanya, akidah adalah asas kehidupan setiap muslim, termasuk asas negara Islam. Negara berkewajiban untuk menjaga akidah rakyatnya, diantaranya dengan menjadikan akidah Islam sebagai asas, agar ia menjadi pondasi dari seluruh aspek kebijakan yang ada, termasuk dalam dunia Pendidikan. Karena, dalam Pendidikan ini terdapat bidang yang strategis bagi masa depan bangsa.

Kurikulum Berbasis Cinta yang digadang-gadang ini mungkin terdengar manis, tetapi sayangnya ia justru menjadi pintu masuk deradikalisasi dan sekularisasi yang tersistematis, maka ia bukan solusi, melainkan ancaman besar bagi masa depan generasi Islam. Pendidikan yang benar menurut Islam adalah pendidikan yang membentuk manusia berakidah kokoh, berkepribadian Islam, dan siap mengamalkan syariat Allah secara kaffah—itulah wajah pendidikan Islam yang sejati.
Apabila akidah yang tertanam dalam sanubari umat itu kuat, maka mereka akan taat secara otomatis dan totalitas kepada syariat-syariat yang Allah gariskan, sehingga mereka mampu menyelesaikan segala problematika yang ada dalam kehidupan. Barakallahu fiik. Wallahu a'lam bisshawwab.




Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.

Posting Komentar

0 Komentar