Oleh : Hazifah Mujtahidah
Belum lama ini, publik dikejutkan oleh langkah Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) yang melakukan pemblokiran terhadap ribuan rekening bank yang dianggap “dormant” (tidak aktif dalam jangka waktu lama). Kebijakan ini menuai polemik karena dilakukan tanpa prosedur pengadilan, tanpa pemberitahuan langsung kepada pemilik rekening, bahkan tanpa landasan hukum yang jelas.
Kebijakan ini memunculkan kekhawatiran luas di tengah masyarakat. Banyak yang mempertanyakan: Apakah negara kini punya kuasa absolut untuk masuk ke ranah kepemilikan pribadi warganya? Apakah rekening yang tidak aktif selama beberapa bulan bisa disamakan dengan aset hasil tindak kejahatan? Pertanyaan-pertanyaan ini mengarah pada satu titik krusial: sistem pemerintahan dan hukum seperti apa yang melegalkan tindakan pemblokiran sepihak atas aset pribadi warga negaranya?
PPATK dan Rekening Dormant: Tindakan Hukum atau Perampasan Terselubung?
Dalam pemberitaan Republika (29 Juli 2025), disebutkan bahwa PPATK mengklaim langkah pemblokiran rekening dormant dilakukan atas dasar pencegahan tindak pidana pencucian uang (TPPU). Namun, banyak pihak menilai alasan tersebut terlalu dipaksakan, apalagi tanpa proses peradilan terlebih dahulu.
Anggota Komisi III DPR RI, Habiburokhman, bahkan mempertanyakan legalitas tindakan ini. “Apa dasar hukumnya PPATK bisa memblokir rekening pribadi seseorang hanya karena tidak aktif? Ini menyangkut hak milik warga negara,” tegasnya. Sikap ini diamini oleh banyak pakar hukum, yang menilai bahwa tindakan sepihak tanpa proses hukum bertentangan dengan prinsip due process of law dan hak atas kepemilikan yang dijamin UUD 1945.
Dalam berita lain yang dikutip dari BBC Indonesia (2025), seorang nasabah menyatakan bahwa rekening miliknya diblokir tanpa pemberitahuan, dan ketika hendak mengaksesnya, sistem hanya menampilkan notifikasi: "Akun Anda dalam pengawasan PPATK." Ketika dikonfirmasi ke pihak bank, mereka tak memberikan penjelasan yang memadai, hanya menyarankan untuk menghubungi langsung PPATK.
Tindakan seperti ini jelas mencederai rasa keadilan. Kepemilikan pribadi menjadi rentan terhadap intervensi negara, hanya karena alasan administratif yang tidak memiliki urgensi hukum nyata. Apalagi, tidak semua rekening dormant terkait dengan aktivitas mencurigakan. Banyak dari mereka adalah warga yang sengaja menyimpan dana cadangan atau memang tidak aktif dalam transaksi perbankan.
Negara Jadi Pemeras? Sisi Gelap Kapitalisme Sekuler
Fenomena pemblokiran rekening ini tak bisa dilepaskan dari karakter sistem kapitalisme sekuler yang mendominasi tata kelola negara saat ini. Dalam sistem kapitalis, negara bukanlah pelindung rakyat (raa’in), melainkan aktor ekonomi yang berperan mencari sumber-sumber pendapatan sebanyak-banyaknya, termasuk dari rakyatnya sendiri. Negara bukan sekadar mengatur, tetapi juga bisa bertindak layaknya korporasi besar yang mencari "celah pemasukan" dari kantong warganya.
Kapitalisme meletakkan asas keuangan negara pada prinsip pajak, utang, dan pungutan. Maka tak mengherankan jika tindakan seperti pemblokiran rekening dormant ini dimaknai sebagian pihak sebagai bentuk lain dari upaya negara untuk “menyentuh” aset warga negara. Bahkan tak sedikit yang mengkhawatirkan bahwa ini menjadi awal dari penerapan sistem kontrol keuangan yang lebih ketat dan represif ke depannya, seperti pembekuan dana, penyitaan aset digital, hingga pembatasan transaksi tunai atas nama “transparansi”.
Negara dalam sistem kapitalisme juga cenderung menganggap warga sebagai objek eksploitasi, bukan subjek perlindungan. Maka tidak mengherankan jika banyak kebijakan keuangan dan fiskal bersifat menekan masyarakat, bukannya menyejahterakan.
Islam Menjamin Kepemilikan Pribadi secara Mutlak
Berbeda dengan kapitalisme, Islam menempatkan hak kepemilikan pribadi sebagai bagian dari maqashid al-syari’ah (tujuan syariat). Islam sangat menghormati dan melindungi hak milik individu. Negara dalam sistem Islam (Khilafah) tidak boleh mengganggu, apalagi menyita harta milik rakyatnya secara semena-mena tanpa proses hukum yang sah dan bukti yang kuat.
Prinsip dasar dalam Islam menyatakan bahwa setiap individu bebas dari tuduhan sampai terbukti sebaliknya dengan bukti yang sah. Ini dikenal dengan prinsip al-bara'ah al-asliyah (praduga tak bersalah). Rasulullah SAW bersabda: “Bukti itu atas orang yang menuduh dan sumpah bagi yang mengingkari.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)
Artinya, negara tidak berhak menuduh seorang pemilik rekening melakukan kejahatan hanya karena rekeningnya tidak aktif. Pembuktian dan proses hukum harus didahulukan sebelum adanya tindakan represif seperti pembekuan atau pemblokiran. Bahkan dalam situasi darurat, syariah Islam tetap mengharuskan keterbukaan dan keadilan proses hukum.
Adapun kepemilikan pribadi dalam Islam bersifat sakral. Rasulullah SAW bersabda: “Sesungguhnya darah kalian, harta kalian, dan kehormatan kalian adalah suci atas kalian, seperti sucinya hari ini, di bulan ini, di negeri ini.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)
Hadis ini menunjukkan betapa Islam menjaga betul aspek kehormatan, nyawa, dan harta setiap individu. Maka dalam negara Islam (Khilafah), pejabat atau lembaga negara tidak bisa seenaknya mengintervensi atau merampas hak milik warga.
Negara Khilafah sebagai Raa’in, Bukan Pemalak
Dalam sistem Khilafah, negara dipimpin oleh seorang Khalifah yang tugas utamanya adalah menjadi raa’in (pengurus) dan junnah (pelindung) bagi rakyatnya. Ia bukanlah pemilik rakyat atau penguasa absolut, tetapi pemimpin yang mengemban amanah besar di hadapan Allah SWT untuk menegakkan hukum syariat dan menjaga kesejahteraan masyarakat.
Negara tidak boleh menarik harta rakyat kecuali untuk kepentingan umum yang telah jelas syar’i-nya. Khalifah Umar bin Khattab pernah menolak mengambil harta dari baitul mal hanya untuk sekadar kebutuhan pribadi, meskipun ia adalah kepala negara. Bahkan, seorang pejabat pun diinterogasi jika kekayaannya bertambah tidak wajar.
Transparansi, keadilan, dan keterikatan pada syariat menjadikan negara Islam sebagai institusi yang dipercaya oleh rakyat. Bukan negara yang dicurigai rakyatnya sebagai pemeras. Maka tidak akan ditemukan praktik seperti pemblokiran rekening karena alasan teknis atau administratif tanpa dasar syar’i yang jelas.
Sistem Islam Kaffah: Solusi Tuntas dan Menenangkan
Dalam sistem Islam kaffah, seluruh aspek kehidupan diatur oleh syariat Islam. Mulai dari sistem ekonomi, pemerintahan, hukum, hingga perbankan. Ini melahirkan kejelasan antara yang hak dan yang batil. Tidak ada zona abu-abu atau celah hukum yang bisa dimanipulasi penguasa untuk menekan rakyat.
Ketenangan masyarakat dalam sistem Khilafah bukan hanya karena tidak adanya pajak sewenang-wenang atau pemblokiran rekening, tapi karena keadilan ditegakkan secara konsisten. Rakyat hidup dalam kepastian hukum yang menjamin hak-haknya, bukan ketakutan akan intervensi negara yang tidak sah.
Dalam sistem ekonomi Islam, fungsi negara adalah menjamin distribusi kekayaan yang adil. Jika ada pelanggaran seperti pencucian uang atau korupsi, maka penindakan dilakukan berdasarkan hukum Islam yang adil dan terbuka, bukan berdasarkan kecurigaan semata atau otoritas sepihak lembaga tertentu.
Saatnya Umat Menuntut Sistem yang Adil dan Rabbani
Fenomena pemblokiran rekening oleh PPATK ini bukan sekadar persoalan teknis perbankan, tapi cerminan bobroknya sistem sekuler kapitalistik yang membuka ruang selebar-lebarnya bagi negara untuk menekan rakyat. Kejadian ini menjadi sinyal peringatan bahwa hak-hak dasar seperti kepemilikan pun tak lagi aman dalam sistem yang menjadikan rakyat sebagai objek pendapatan negara.
Umat Islam harus menyadari bahwa sistem ini tidak layak dipertahankan. Sudah saatnya umat menuntut perubahan mendasar—bukan sekadar ganti pemimpin atau kebijakan, tapi mengganti sistem yang melandasi seluruh tata kelola kehidupan.
Islam, dengan sistem Khilafahnya, menawarkan jalan keluar yang adil, menenteramkan, dan berpihak pada rakyat. Sebuah sistem yang tidak hanya menjamin hak kepemilikan, tapi juga menjaga marwah umat di dunia dan menjanjikan keselamatan di akhirat. Sebagaimana firman Allah SWT: "Barang siapa tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itulah orang-orang yang zalim." (QS Al-Maidah: 45)
Kezaliman sistem buatan manusia harus dihentikan. Saatnya umat kembali kepada hukum Allah, dan menegakkan sistem Islam kaffah demi keadilan yang hakiki.
Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.
0 Komentar