Oleh: Dhiyaul Haq
Sebanyak lima orang ditetapkan sebagai tersangka imbas operasi tangkap tangan (OTT) di wilayah Mandailing Natal, Sumatera Utara, pada Kamis (26/6) lalu. OTT itu terkait dengan dua perkara berbeda.
Pertama, terkait proyek pembangunan jalan di Dinas PUPR Provinsi Sumatera Utara. Kedua, terkait proyek di Satker PJN Wilayah 1 Sumatera Utara. Nilai kedua proyek itu sebesar Rp 231,8 miliar.
Adapun tersangka penerima suap yakni:
> Kepala Dinas PUPR Provinsi Sumut, Topan Obaja Putra Ginting;
> Kepala UPTD Gunung Tua Dinas PUPR Provinsi Sumut, Rasuli Efendi Siregar; dan
> PPK Satker PJN Wilayah 1 Provinsi Sumatera Utara, Heliyanto.
Sementara, untuk tersangka pemberi suap yakni:
> Direktur Utama PT DNG, M. Akhirun Efendi Siregar; dan
> Direktur PT RN, M. Rayhan Dulasmi Pilang.
Ironisnya kasus-kasus ini muncul di tengah upaya pemerintah melakukan efisiensi anggaran yang jelas-jelas telah berdampak pada berkurangnya kualitas dan kuantitas layanan negara atas hak dasar rakyat dan pendanaan untuk sektor strategis, semisal penonaktifan PBI, pengurangan tukin guru, dana bansos, dana riset, militer dan lain-lain.
Demokrasi Biang Keroknya
Kasus korupsi dalam demokrasi tak pernah berhenti. Alih-alih menurun yang terjadi kasus korupsi semakin merajalela. Pelaku tak pandang kondisi rakyat yang semakin hari semakin tercekik. Korupsi selalu dilakukan demi kepuasan nafsu pribadi.
Demokrasi-Kapitalis terbukti sangat ramah dengan para koruptor. Sehingga jelas bagaimanapun orang yang ditunjuk untuk mendapatkan jabatan tidak lagi dilihat kapablitias dan keloyalannya kepada rakyat, sehingga mantan koruptor pun tetap mempunyai peluang menerima jabatan demi memndapatkan keuntungan materi. Pandangan demokrasi bukan bersandar pada halal dan haram, melainkan hanya kepada keuntungan semata. Inilah yang menjadi demokrasi semakin berhasilkan menumbuh suburkan para koruptor di Negara.
Kembalilah Pada Islam
Sungguh tak cukup bagi rakyat hanya menelan kekecewaan, akan tetapi harus sadar betul bahwa semua ini akan terselesaikan dengan kembalinya kita berhukum dengan Islam secara keseluruhan.
Risywah (suap) ialah memberikan harta kepada seorang pejabat untuk menguasai hak dengan cara batil, atau membatalkan hak orang lain atau agar haknya didahulukan dari orang lain. Nabi Saw telah melaknat para pelakunya, baik yang menerima maupun yang memberi suap, “Rasulullah saw. telah melaknat penyuap dan penerima suap.” (HR at-Tirmidzi dan Abu Dawud)
Jika seorang pejabat menggunakan kedudukannya untuk memuluskan suatu transaksi bisnis, atau ia mendapatkan fee (komisi) dari suatu proyek, maka itu adalah cara kepemilikan harta yang haram. Pelakunya berhak diganjar dengan sanksi tegas Khalifah.
Sistem demokrasi dan Islam bagaikan minyak dan air yang tidak bisa dipersatukan. Keduanya lahir dari asas yang saling bertentangan. Yang satu kebenaran, yang lain kekufuran. Ia meyakinkan, selama demokrasi dikukuhi, kasus korupsi dan penyimpangan lain tidak mungkin bisa dieliminasi apalagi dihapuskan.
Maka dalam Islam, pelaku suap, korupsi atau penerima gratisfikasi diberi sanksi penjara hingga hukuman mati sesuai keputusan qadhi sebagai ta’zir dalam sistem pidana Islam. Hal ini berbeda sekali dengan hukuman yang diberikan oleh Demokrasi kepada para koruptor. Para koruptor mendapatkan fasilitas tempat yang mewah sehingga wajar tidak memberikan efek jera kepada para pelakunya.
Jelas sistem islam lah yang mampu untuk melahirkan para pemimpin yang amanah. Prestasi seperti ini belum pernah bisa diraih peradaban mana pun dalam sejarah, kecuali Islam dalam bingkai Khilafah. Karena itu, sudah saatnya umat kembali pada syariat Islam yang datang dari Allah Maha Sempurna. Masihkah meragukan keberhasilan Khilafah memimpin Dunia?
Wallahu a’lam bi ash-shawab
Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.
0 Komentar