Oleh : Lisa Agustin (Aktivis Muslimah)
Setiap tanggal 23 Juli diperingati sebagai Hari Anak Nasional (HAN). Berdasarkan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 44/1984 yang menetapkan Hari Anak Nasional diperingati setiap tanggal 23 Juli. Keppres itu dikeluarkan oleh Presiden Soeharto karena ia menilai anak-anak adalah aset kemajuan bangsa, sehingga perlu diberi hari penting nasional. Sejak saat itu, perayaan anak-anak terus digelar sebagai wujud Indonesia negara yang ramah anak.
Dibalik seremoni peringatan Hari Anak Nasional, ternyata ada masalah sosial yang menimpa Anak Indonesia yang terjadi beberapa tahun belakangan ini. Yaitu kasus anak yang berhadapan dengan hukum (ABH).
Kota Balikpapan, Dinas Sosial Kota Balikpapan mencatat sebanyak 200 anak berhadapan dengan hukum (ABH) hingga pertengahan tahun 2025. Jumlah ini sedikit menurun dibanding tahun sebelumnya, namun tetap menjadi perhatian serius pemerintah kota Balikpapan, sebab kebanyakan kasus sosial ini adalah kasus asusila.
Kepala Dinas Sosial Balikpapan, Edy Gunawan, mengungkapkan bahwa kasus-kasus yang tercatat hanya mencerminkan mereka yang berani melapor. Masih banyak kasus yang tidak terlaporkan karena rasa malu atau tekanan sosial.
ABH yaitu anak yang berhadapan dengan hukum (ABH) didefinisikan sebagai anak yang terlibat dalam proses peradilan karena melakukan perbuatan yang diatur oleh undang-undang, baik itu perbuatan yang dapat merugikan dirinya sendiri maupun orang lain.
Edy mengimbau orang tua agar lebih memperhatikan anak-anak mereka, baik dari segi pengawasan, pola asuh (parenting), maupun penguatan nilai keagamaan. Ia menekankan bahwa lingkungan dan keluarga sangat berpengaruh terhadap perkembangan karakter anak.
"Lingkungan memengaruhi pola hidup. Ini tanggung jawab bersama agar anak-anak kita tidak terlibat masalah sosial maupun kriminal," tegasnya. (tribunkaltim.co, 13/7/2025).
Dampak Jauhnya Peran Agama
Di tengah kehidupan hari ini, lingkungan dan pola hidup masyarakat sudah semakin jauh dari nilai-nilai agama. Sehingga tidak mengherankan ketika anak-anak yang sedang mengalami proses pertumbuhan dan perkembangan jati diri, terbawa arus lingkungan dan pola hidup masyarakat yang jauh dari nilai-nilai agama.
Saat agama tidak lagi berpengaruh dalam kehidupan masyarakat, angka kejahatan dan kriminalitas akan semakin subur. Mirisnya secara terus menerus anak-anak terpapar oleh pemberitaan kriminalitas dengan berbagai modusnya, baik yang bersumber dari cerita teman, media sosial maupun televisi. Akhirnya menjadi inspirasi yang masuk ke dalam memori mereka.
Tanpa dukungan lingkungan masyarakat dan peran negara, keadaan ini akan menambah beban orang tua untuk membentuk karakter dan kepribadian yang benar bagi anak-anaknya. Maka solusinya tidak hanya dalam bentuk himbauan saja, harus ada upaya sistematis untuk memperbaikinya.
Minimnya peran agama dalam kehidupan masyarakat dan negara saat ini, merupakan akibat dari diterapkannya sistem sekuler demokrasi kapitalisme neoliberal. Sistem ini mendewakan kebebasan (liberal) dan menjadikan kebahagiaan berdasarkan capaian materi belaka.
Sistem sekuler demokrasi kapitalisme neoliberal telah merobohkan ketakwaan masyarakat, dengan menyebarkan nilai-nilai kebebasan (liberal) sebagai mantra ajaib yang hanya menguntungkan segelintir orang kaya, dan mengubah kebahagiaan menjadi komoditas yang hanya bisa dibeli dengan uang.
Penerapan sistem sekuler demokrasi kapitalisme neoliberal juga mengakibatkan hilangnya tradisi amar makruf nahi mungkar yang ada dalam benak individu dan masyarakat. Padahal tradisi ini adalah upaya untuk melindungi individu agar senantiasa berperilaku baik (makruf) dan mencegah perilaku kriminal (mungkar).
Kembali Kepada Islam
Maka untuk menyelesaikan masalah anak yang berhadapan dengan hukum (ABH) wajib dipahami dengan paradigma yang benar. Kita harus kembali kepada ajaran Islam, yaitu dengan menggunakan sudut pandang Islam secara kaffah (menyeluruh)
Pertama, definisi dan status anak harus didasarkan pada syariat Islam. Definisi anak adalah setiap individu yang belum akil baligh. Statusnya belum layak dijatuhi beban hukum. Maka tanggung jawab orang tuanya untuk mendidik anak-anaknya berdasarkan prinsip akidah Islam.
Kedua, jika anak-anak sudah melalui akil baligh, maka tidak terkategori anak-anak lagi walaupun usianya belum genap 18 tahun. Maka statusnya berubah menjadi individu mukallaf, yaitu individu yang layak dijatuhi beban hukum. Artinya segala bentuk kemaksiatan (kriminal) yang dilakukan, akan mendapatkan konsekuensi hukum sanksi.
Ketiga, peran orang tua yang didukung penerapan sistem Islam kaffah akan berupaya untuk melahirkan anak-anak yang sholeh jauh dari kemaksiatan apalagi kejahatan. Karena negara akan menjamin lingkungan dan pola hidup masyarakat berdasarkan prinsip akidah Islam.
Negara akan menerapkan sistem pendidikan yang berdasarkan akidah Islam, bersinergi dengan sistem sosial, sistem ekonomi, sistem politik, sistem hukum dan sistem lainnya demi terwujudnya masyarakat dan peradaban yang islami.
Melihat sejarah peradaban Islam, tampak bahwa penerapan Islam secara kaffah dalam naungan Khilafah menjadi kunci munculnya generasi terbaik yang berhasil membawa umat pada kebangkitan.
Generasi Islam ini kukuh dalam ketakwaan dan ahli dalam menyolusi berbagai problem kehidupan. Wajar jika sepanjang belasan abad, umat Islam mampu tampil sebagai pionir peradaban. Wallahu a'lam
Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.
0 Komentar