Oleh: Imas Royani, S.Pd.
Indonesia telah merdeka, katanya. Jika dihitung secara matematis dari 1945 hingga 2025 berarti sudah 80 tahun. Jika disandingkan dengan usia manusia maka usia segitu sudah teramat matang, sudah banyak pengalaman, sudah tidak ada waktu lagi yang namanya menyia-nyiakan waktu untuk hal yang tidak bermanfaat. Jangan seperti keladi, semakin tua semakin menjadi.
Termasuk dalam penanganan korupsi. Seharusnya tidak ada lagi yang korupsi, tinggal insafnya. Tinggal menata negeri. Sayangnya hukum yang dipakai Indonesia hingga saat ini tidak menjerakan. Banyak yang berkoar-koar stop korupsi ketika belum menjabat tapi ternyata ikut mengantri dalam mencari kesempatan untuk ikut korupsi. Bahkan ada pejabat yang baru saja keluar penjara akibat kasus korupsi eh sekarang korupsi lagi. Bahaya korupsi melebihi narkoba karena selain merugikan rakyat juga membuat pelakunya ketagihan.
Baru-baru ini Kejaksaan Agung (Kejagung) resmi menetapkan sembilan tersangka baru dalam kasus korupsi dalam tata kelola minyak mentah dan produk kilang pada PT Pertamina (Persero), Sub Holding dan Kontraktor Kontrak Kerjasama (KKKS) tahun 2018-2023, yang merugikan negara hingga Rp285 triliun. Total sudah ada 18 tersangka, dengan sembilan lainnya bersiap menjalani persidangan.
Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung, Harli Siregar, menyampaikan dalam proses pengusutan kasus tersebut, penyidik telah melakukan pemeriksaan terhadap 273 saksi dan 16 ahli dari berbagai latar belakang keahlian. (Liputan6 online, 11/7/2025).
Inilah realitas korupsi yang begitu masif dan terstruktur di negeri ini. Banyak pejabat yang jauh sekali dari profil sebagai pelayan umat, melainkan pelayan korporasi. Untuk itu, solusi korupsi tidak cukup hanya dengan cita-cita, kecaman, apalagi sekadar retorika. Penanggulangan korupsi secara tuntas haruslah dengan ganti sistem karena korupsi adalah produk sistem sekuler kapitalisme.
Islam adalah sebuah ideologi yang perannya tidak hanya sebatas akidah ruhiah (spiritual) tetapi juga akidah siyasiah (politik). Sebagai ideologi, Islam harus diterapkan sebagai tata aturan kehidupan manusia secara kaffah, bukan setengah-setengah. Sistem Islam diterapkan melalui tegaknya negara Islam (Khilafah).
Syekh Taqiyuddin an-Nabhani rahimahullah di dalam kitab Ad-Daulah al-Islamiyah menyatakan bahwa Khilafah adalah sebuah negara yang akan dapat melanjutkan kehidupan islami yang aturannya terpancar dari akidah Islam. Khilafah menerapkan Islam di tengah-tengah masyarakat, setelah terlebih dahulu Islam merasuk ke dalam jiwa dan mantap di dalam akal. Khilafah juga berperan mengemban dakwah Islam ke seluruh penjuru dunia.
Khilafah meneladan Rasulullah Saw. saat mendirikan negara Islam di Madinah. Dalam membangun masyarakat, Rasulullah Saw. mengarahkan pemikiran, perasaan, sistem (aturan), serta interaksi di antara mereka berdasarkan akidah Islam. Rasulullah Saw. memerintah kaum muslim memelihara semua kepentingan mereka, mengelola semua urusan mereka, dan mewujudkan masyarakat Islam.
Hal ini dalam rangka membentuk masyarakat yang khas dan memiliki corak tertentu. Lebih dari itu, sistem Islam juga mampu melahirkan para individu masyarakat yang ber-syakhshiyah (berkepribadian) Islam. Penerapan Islam secara kaffah akan membentuk pola pikir (akliah) dan pola sikap (nafsiah) islami pada diri mereka.
Metode Islam dalam kehidupan dibangun atas tiga prinsip. Pertama, asas yang mendasarinya adalah akidah Islam. Kedua, tolok ukur perbuatan dalam kehidupan adalah perintah-perintah dan larangan-larangan Allah SWT. Artinya, gambaran kehidupan dalam pandangan Islam adalah halal dan haram. Ketiga, makna kebahagiaan dalam pandangan Islam adalah menggapai ketenangan abadi yang tidak akan tercapai kecuali dengan menggapai ridha Allah SWT.
Terkait dengan korupsi, sungguh semua modus korupsi adalah harta yang hukumnya haram dalam Islam karena diperoleh melalui jalan yang tidak sesuai syariat (ghairu al-masyru’) (Syekh Abdul Qadim Zallum rahimahullah, Al-Amwal fi Daulah al-Khilafah). Rasulullah Saw. juga melaknat perilaku yang demikian, sebagaimana riwayat dari Abu Hurairah ra., “Rasulullah melaknat penyuap dan yang menerima suap.” (HR. Tirmidzi dan Ahmad).
Allah SWT. berfirman,
وَلَا تَأْكُلُوْۤا اَمْوَا لَـكُمْ بَيْنَكُمْ بِا لْبَا طِلِ وَتُدْلُوْا بِهَاۤ اِلَى الْحُـکَّامِ لِتَأْکُلُوْا فَرِيْقًا مِّنْ اَمْوَا لِ النَّا سِ بِا لْاِ ثْمِ وَاَ نْـتُمْ تَعْلَمُوْنَ
“Dan janganlah kamu makan harta di antara kamu dengan jalan yang batil dan (janganlah) kamu menyuap dengan harta itu kepada para hakim dengan maksud agar kamu dapat memakan sebagian harta orang lain itu dengan jalan dosa, padahal kamu mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 188).
Korupsi merupakan perbuatan khianat, orangnya disebut khaa’in. Dalam hukum Islam, tindakan khaa’in tidak termasuk definisi mencuri (sariqah) karena definisi mencuri adalah mengambil harta orang lain secara diam-diam (akhdzul maal ‘ala wajhil ikhtifaa’ wal istitar). Sedangkan khianat bukanlah tindakan seseorang mengambil harta orang lain, melainkan tindakan pengkhianatan yang dilakukan seseorang, yaitu menggelapkan harta yang memang diamanatkan kepada seseorang itu (Syekh Abdurrahman al-Maliki rahimahullah, An-Nizhamu al-Uqubat fii al-Islam).
Allah SWT. berfirman,
وَمَا كَا نَ لِنَبِيٍّ اَنْ يَّغُلَّ ۗ وَمَنْ يَّغْلُلْ يَأْتِ بِمَا غَلَّ يَوْمَ الْقِيٰمَةِ ۚ ثُمَّ تُوَفّٰى كُلُّ نَفْسٍ مَّا كَسَبَتْ وَهُمْ لَا يُظْلَمُوْنَ
“Barang siapa yang mengambil harta khianat maka pada hari kiamat dia akan datang membawa harta hasil khianat itu. Kemudian tiap-tiap diri akan diberi pembalasan tentang apa yang dia kerjakan dengan (pembalasan) setimpal, sedangkan mereka tidak dizalimi.” (QS. Ali Imran: 161).
Di dalam kitab An-Nizhamu al-Uqubat fi al-Islam karya Syekh Abdurrahman al-Maliki rahimahullah, disebutkan bahwa Khilafah mampu mewujudkan sanksi tegas bagi pelaku tindak kriminal dan pelanggaran aturan Islam. Sistem sanksi dalam Islam mampu berfungsi sebagai zawajir (pencegah) dan jawabir (penebus). Maknanya, agar orang lain yang bukan pelanggar hukum tercegah untuk melakukan tindak kriminal yang sama dan jika sanksi itu diberlakukan kepada pelanggar hukum, sanksi tersebut dapat menebus dosanya.
Sanksi (uqubat) untuk khaa’in bukanlah hukum potong tangan sebagaimana bagi pencuri (qath’ul yad) menurut kandungan QS. Al-Maidah ayat 38, melainkan takzir, yaitu sanksi yang jenis dan kadarnya ditentukan oleh hakim. Bentuk sanksinya bisa mulai dari yang paling ringan, seperti sekadar nasihat atau teguran dari hakim, bisa berupa penjara, pengenaan denda (gharamah), pengumuman pelaku di hadapan publik atau media massa (tasyhir), hukuman cambuk, hingga sanksi yang paling tegas, yaitu hukuman mati. Teknis hukuman mati itu bisa digantung atau dipancung. Berat atau ringannya hukuman takzir ini disesuaikan dengan berat atau ringannya kejahatan yang dilakukan (Syekh Abdurrahman al-Maliki rahimahullah, An-Nizhamu al-Uqubat fii al-Islam).
Demikianlah pemberantasan korupsi yang efektif. Jelas, pada hakikatnya kekuasaan adalah amanah. Amanah kekuasaan bisa menjadi beban pemangkunya di dunia sekaligus bisa mendatangkan siksa bagi dirinya di akhirat. Penanggulangan tuntas terhadap korupsi tidak bisa dengan sekadar kata-kata, tetapi harus dengan sanksi tegas yang membuat jera. Dalam sistem sekuler demokrasi, hal itu jelas mustahil karena landasan sistemnya adalah sekularisme yang melahirkan tata aturan sekuler dan liberal. Korupsi pun sulit dibendung karena sistem kehidupannya memang mendukung.
Maka jelas, jika Indonesia benar-benar ingin terbebas dari korupsi, harus mengganti sistem yang dipakai saat ini dengan sistem Islam. Langkah pertama yang bisa kita lakukan sebagai warga negara Indonesia yang baik adalah dengan mengkaji Islam kaffah bersama kelompok dakwah Islam ideologis. Jika bukan kita, siapa lagi? Jika bukan sekarang, kapan lagi?
Allah SWT. berfirman:
يٰۤاَ يُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا ادْخُلُوْا فِى السِّلْمِ کَآ فَّةً ۖ وَّلَا تَتَّبِعُوْا خُطُوٰتِ الشَّيْطٰنِ ۗ اِنَّهٗ لَـکُمْ عَدُوٌّ مُّبِيْنٌ
"Wahai orang-orang yang beriman! Masuklah ke dalam Islam secara keseluruhan, dan janganlah kamu ikuti langkah-langkah setan. Sungguh, ia musuh yang nyata bagimu." (QS. Al-Baqarah: 208).
Wallahu'alam bishshawab.
Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.
0 Komentar