Oleh : Ummu Azzam
Puluhan guru di Provinsi Banten menggelar aksi demonstrasi di depan rumah dinas Gubernur Banten pada Kamis (3-7-2025). Mereka menuntut pembayaran honor tugas tambahan (tuta) yang sudah enam bulan sejak Januari 2025 belum dibayarkan. Tugas tambahan tersebut antara lain sebagai wakil kepala sekolah (wakasek), wali kelas, dan pembina ekskul.
Selain menuntut pembayaran tuta, para guru juga menuntut kenaikan tunjangan kinerja bagi para guru. Sebabnya, tunjangan guru saat ini jauh lebih kecil dibandingkan dengan tunjangan kinerja pejabat struktural. Namun, tunjangan kinerja pejabat (termasuk kepala dan pengawas sekolah) yang jumlahnya lebih besar malah tidak dikurangi. Sebagai perbandingan, tuta untuk wakasek adalah sebesar Rp2,5 juta per bulan, sedangkan untuk wali kelas, pembina ekskul, pelatih, dan lainnya hanya Rp450 ribu per Llll.
Sudahlah gaji mereka rendah, tunjangan tambahan juga tidak seberapa besar, sekarang malah akan dihapus. Padahal, mereka bukan guru honorer. Nasib guru honorer tentu lebih memprihatinkan. Janji tunjangan profesi pun hanya tampak di atas kertas.
Honor tuta yang terancam dihapus ini diduga merupakan dampak efisiensi anggaran. Presiden Prabowo telah meneken Inpres 1/2025 tentang Efisiensi APBN dan APBD Tahun 2025 yang menetapkan efisiensi anggaran sekitar Rp306,6 triliun melalui penghematan belanja kementerian/lembaga (K/L) sebesar Rp256,1 triliun dan transfer ke daerah sebesar Rp50,5 triliun.
Yang menjadi masalah, efisiensi anggaran itu justru terjadi di sektor-sektor yang vital untuk publik, seperti pendidikan, kesehatan, infrastruktur, dan industri. Sektor pendidikan sendiri dalam anggaran Kemendikdasmen mengalami pemangkasan sebesar Rp8 triliun. Sedangkan sebelum efisiensi saja anggaran pendidikan belum memadai karena harus dibagi untuk seluruh K/L yang juga menyelenggarakan pendidikan, tidak hanya untuk kementerian yang khusus membidangi pendidikan seperti Kemendikdasmen dan Kemenristekdikti.
Fakta kecilnya tunjangan kinerja untuk guru, sedangkan tunjangan kinerja pejabat (termasuk kepala sekolah dan pengawas) tetap besar dan tidak dikurangi, menunjukkan bahwa anggaran pendidikan masih banyak yang salah sasaran. Padahal, sektor pendidikan secara umum sudah menjadi korban efisiensi anggaran.
Jika sudah begini, tidak berlebihan rasanya bagi kita untuk menyatakan bahwa pemerintah kurang memprioritaskan pendidikan. Sejatinya guru adalah ujung tombak pendidikan karena mereka berinteraksi langsung dengan peserta didik. Namun, gaji yang tidak memadai benar-benar membuat profesi mulia tersebut sarat nestapa.
Jika kita mencermati fenomena miris ini, profesi guru tidak ubahnya para pekerja pada umumnya. Gaji guru yang rendah bagai mengalami standardisasi seperti UMR buruh. Gaji guru honorer bahkan lebih menyedihkan. Nominal Rp200-300 ribu adalah jumlah yang umum mereka terima. Guru honorer yang gajinya lebih rendah dari nominal itu pun masih ada.
Fakta gaji guru ini layak membuat kita mengurut dada. Nominalnya sangat jauh di bawah garis kemiskinan. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), garis kemiskinan nasional per kapita adalah Rp595.242 per bulan (per September 2024). Tidak heran, banyak guru yang harus memiliki lebih dari satu profesi agar mampu mencukupi kebutuhan sehari-hari.
Kondisi miris seorang guru honorer di Banten yang viral dalam sebuah video beberapa waktu lalu menegaskan bahwa kesejahteraan para pahlawan tanda jasa tidak sedikit yang ala kadarnya. Guru honorer tersebut terpaksa tinggal di toilet sekolah selama dua tahun. Gajinya hanya Rp350 ribu per bulan yang cair tiap tiga bulan sekali. Pada saat yang sama, pekerjaan guru honorer jauh lebih berat dibandingkan guru ASN. Namun, gaji guru honorer tampak lebih “main-main” dibandingkan porsi pekerjaannya. Hal itu sudah menjadi rahasia umum.
Sekali lagi, semua ini harus membuat kita menyadari bahwa guru hanyalah pekerja di dalam sistem kapitalisme. Gaji dan kesejahteraan guru dipandang sebagai bagian dari faktor produksi sebuah sistem besar pendidikan yang tidak ubahnya mesin/pabrik untuk mencetak generasi terdidik. Tidak heran, gaji rendah dan kesejahteraan minim yang menimpa para guru adalah bagian dari konsep ekonomi kapitalisme yang meniscayakan penggunaan modal yang sekecil-kecilnya demi memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya.
Hal ini sejalan dengan kapitalisasi pendidikan sebagaimana pepatah “jer basuki mawa beya” yang artinya barang siapa yang menghendaki kesuksesan harus rela mengeluarkan biaya. Kita bisa melihat fenomena tersebut berlaku di dunia pendidikan saat ini. Sekolah berbiaya mahal dimaknai sebagai sekolah berkualitas. Sebaliknya, sekolah gratis dimaknai sebagai sekolah yang tampak lebih rendah derajatnya. Namun, banyak orang lupa bahwa kapitalisasi pendidikan adalah swastanisasi pendidikan. Di baliknya terdapat sikap dan kebijakan penguasa yang abai terhadap kualitas generasi.
Hal ini turut berkelindan dengan kurikulum yang berlaku. Kurikulum tercipta karena mengikuti kehendak pasar. Aspek dan nilai-nilai agama yang semestinya diajarkan di sekolah/lembaga pendidikan dalam rangka menjadi pegangan hidup peserta didik makin luntur seiring dengan proses sekularisasi dan moderasi beragama. Alih-alih melahirkan generasi terdidik yang tangguh dan para calon pemimpin, peran pendidikan telah bergeser menjadi sekadar label bahwa seseorang pernah sekolah.
Pada akhirnya, peran guru pun lambat laun dilupakan dan hanya berakhir menjadi kenangan. Guru tidak lagi diingat sebagai sosok yang “digugu dan ditiru” oleh para murid seumur hidup mereka, tetapi sekadar petugas pelaksana yang diwajibkan menunaikan kurikulum dan memberikan nilai di laporan hasil belajar. Sedangkan untuk memperoleh pendidikan adab dan bekal kehidupan, peserta didik “dipersilakan” mencari sekolah yang lebih mahal yang memang menyediakan fasilitas pengajaran tersebut. Lagi-lagi semua dipandang menurut kacamata ekonomi kapitalisme.
Profesi Guru dalam Perspektif Islam
Di dalam Islam, peran guru sangat vital dalam hal keilmuan serta pendidikan dan pembinaan generasi. Guru adalah pihak yang bertemu dan berinteraksi langsung dengan peserta didik, serta melaksanakan proses pembelajaran dan mendidik mereka. Guru adalah ujung tombak pelaksanaan sabda Rasulullah saw.,
طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيْضَةُ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ
“Menuntut ilmu itu wajib atas setiap muslim.” (HR Ibnu Majah).
Terkait keilmuan, Rasulullah saw. juga bersabda,
إِذَا مَاتَ الْإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَنْهُ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلَاثَةٍ: إِلَّا مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ
“Jika seorang manusia meninggal, terputuslah amalnya, kecuali dari tiga hal, yaitu sedekah jariah, ilmu yang bermanfaat, atau anak saleh yang berdoa untuknya.” (HR Muslim).
Berdasarkan kedua hadis tersebut, sejatinya para guru sangat pantas memperoleh penghargaan yang tinggi, baik di dunia maupun akhirat. Di dunia mereka layak memperoleh kesejahteraan yang sepadan dengan jasanya dalam rangka mencerdaskan generasi dan umat. Bahkan, ilmu yang mereka sampaikan kepada para murid adalah amal yang tidak terputus meski mereka telah wafat.
Menilik peran vital para guru dan tuntutan kewajiban menuntut ilmu dalam Islam, sistem pendidikan adalah faktor yang urgen untuk dikelola. Sistem pendidikan tidak layak diposisikan sebagai komoditas ekonomi sehingga bisa dikapitalisasi. Ketika dikapitalisasi, pendidikan akan kehilangan ruhnya untuk meningkatkan taraf berpikir manusia akibat tergadai pada kekuatan uang. Sejatinya sistem pendidikan adalah wujud pelayanan penguasa kepada rakyatnya karena pendidikan adalah hak publik. Rasulullah saw. bersabda,
الإِمَامُ رَاعٍ وَهُوَ مَسْؤُوْلٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
“Pemimpin masyarakat adalah pengurus dan dia bertanggung jawab atas rakyatnya.” (HR Bukhari dan Muslim).
Di dalam islam kesejahteraan guru sangat diperhatikan, bukan hanya guru namun semua hal dalam kehidupan, mulai dari bangun tidur hingga bangun negara maka aturan-aturan islamlah yang harus digunakan.
Maka dari itu dibutuhkan lah sebuah Khilafah, karena didalam khilafah semua akan diatur termasuk mengelola sumber daya alam secara mandiri dan tidak menyerahkannya kepada swasta, baik lokal maupun asing. Khilafah juga tidak akan terlibat dalam pasar uang yang sangat rentan menimbulkan ketakstabilan ekonomi. Selain itu, kebutuhan-kebutuhan publik, seperti kesehatan, pendidikan, perumahan, dan transportasi bisa tersedia gratis karena merupakan wujud pelayanan negara kepada rakyatnya. Wallaahu a'lam bisshowab.
Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.
0 Komentar