Oleh : Ulianafia (Pemerhati Keluarga dan Politik)
Masa libur sekolah hampir usai. Liburan yang seharusnya menjadi waktu penyegaran justru sering berubah menjadi periode kosong yang diisi dengan aktivitas sia-sia. Di salah satu blog Kompasiana misalnya, mengangkat fenomena anak-anak yang menghabiskan liburan dengan pola yang mengkhawatirkan: bangun siang, main HP seharian, lalu tidur lagi. Pola ini berulang setiap hari, hingga liburan berakhir, namun tugas sekolah tidak tersentuh dan aktivitas bermanfaat pun nyaris tak ada.
Ironisnya, kondisi ini tidak hanya terjadi pada anak-anak sekolah umum. Banyak orang tua juga mengeluhkan anak-anak yang pulang liburan dari pondok pesantren, tapi tidak menunjukkan perubahan yang berarti. Bahkan, ada yang justru tampak lebih malas, kehilangan kedisiplinan, menutup diri dari keluarga, serta enggan membantu orang tua. Liburan seakan menjadi “momen balas dendam” dari tekanan selama masa belajar—bukan waktu untuk berkembang atau memperkuat diri.
Fenomena ini semakin dianggap wajar dalam kehidupan keluarga masa kini. Padahal, jika ditelusuri lebih dalam, akar persoalan ini bersumber dari pendidikan modern yang lahir dari rahim sistem kapitalisme sekuler yang menekankan pencapaian nilai, hafalan materi, dan kelulusan semata. Sistem ini menggeser fungsi pendidikan yang seharusnya dalam membentuk karakter, menumbuhkan keimanan, dan memperkuat jati diri anak sebagai hamba Allah. Alih-alih mengenali dirinya, dunianya, dan Rabb-nya, anak justru dijejali tumpukan pelajaran yang kadang belum dibutuhkannya.
Beban akademik yang berat kerap membuat anak merasa tertekan. Tekanan itu tak jarang memunculkan gejala kecemasan, stres, bahkan depresi sejak usia dini. Sebagaimana yang dikeluhkan oleh seorang ibu dalam forum pendidikan, “Anak saya kelas 6 SD, tapi tiap malam mengeluh pusing dan cemas karena besok ada ulangan lagi.” Ini bukan kasus tunggal—melainkan cermin dari realitas yang lebih luas.
Sistem pendidikan sekuler kapitalistik memang dibangun di atas orientasi duniawi. Tujuan utamanya adalah menghasilkan manusia yang kompetitif secara ekonomi, unggul secara akademik, dan siap bersaing di dunia kerja. Nilai-nilai moral dan spiritual dikesampingkan. Guru diposisikan hanya sebagai penyampai materi, sementara murid dijadikan objek belajar yang harus menuntaskan kurikulum tanpa peduli kondisi jiwanya.
Dalam sistem ini, ilmu hanya dijadikan alat untuk sukses dunia. Ukuran keberhasilan pun dilihat dari nilai rapor, ranking, IPK, dan prestasi formal. Padahal, sejatinya pendidikan bukan sekadar mencetak “robot akademik”, melainkan membentuk manusia beradab yang sadar tujuan hidupnya. Maka tak heran, ketika liburan datang, anak-anak justru kehilangan arah. Mereka merasa perlu “bebas dari segalanya” — dari guru, tugas, ibadah, bahkan dari adab.
Liburan dalam Pandangan Islam: Momen Tumbuh, Bukan Melemah
Berbeda dengan sistem sekuler, Islam memandang pendidikan sebagai proses pembentukan pribadi beriman dan bertakwa, bukan hanya alat untuk mengejar sukses duniawi. Pendidikan dalam Islam diarahkan agar manusia mengenal Allah, tunduk kepada-Nya, serta menjalani hidup sesuai syariat. Ilmu adalah cahaya, bukan sekadar alat. Ia membimbing manusia untuk memahami kebenaran, menjalani hidup dengan makna, dan memakmurkan bumi dengan cara yang diridhai Allah.
Ukuran keberhasilan pendidikan dalam Islam pun tidak diukur dari seberapa tinggi nilai akademik, tapi dari sejauh mana ilmu itu mengubah sikap, memperkuat iman, dan melahirkan amal shalih. Guru bukan hanya pengajar, tapi murobbi—pendidik ruhani yang menanamkan keteladanan. Sementara murid adalah subjek pembinaan, bukan sekadar penerima informasi.
Begitu pula dengan liburan dalam perspektif Islam, bukanlah masa untuk lalai. Justru liburan menjadi momen untuk menyegarkan jiwa, mempererat keluarga, memperkuat ruhiyah, dan menumbuhkan tanggung jawab. Aktivitas liburan tetap dalam bingkai ibadah dan nilai, tidak lepas dari kontrol adab dan kedekatan pada Allah. Anak bisa tetap belajar dalam bentuk yang menyenangkan, membantu orang tua, mengisi waktu dengan aktivitas sosial, dan melatih kemandirian.
Liburan Islami menumbuhkan semangat untuk kembali belajar, karena anak merasa diisi dan ditumbuhkan, bukan ditekan dan dilupakan. Sementara liburan ala sistem sekuler justru menambah kerusakan karakter, menjauhkan dari nilai-nilai luhur, dan menyisakan kemalasan untuk kembali ke bangku belajar. Wallahu'alam
Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.
0 Komentar