LINGKARAN SISTEM SEKULER, MENYUBURKAN PELAKU KEKERASAN SEKSUAL


Oleh : Nurul Hijeriah.SP (Pemerhati Generasi Muda)

Baru-baru ini,pelecehan seksual didunia pendidikan kembali terjadi, Tim Reaksi Cepat Perlindungan Perempuan dan Anak (TRC PPA) Kalimantan Timur tengah mengawal kasus dugaan pelecehan seksual saat kegiatan pramuka di Samarinda.

Dugaan pelecehan tersebut terjadi pada Jumat dini hari, 13 Juni 2025 lalu. Bermula saat oknum pembina pramuka diduga melakukan pelecehan seksual terhadap empat remaja perempuan (alumni sekolah), saat kegiatan kepramukaan di salah satu sekolah menengah di Samarinda.

Awalnya, oknum pembina pramuka ini memanggil sejumlah alumni tersebut untuk membantu kegiatan perkemahan di sekolah. Menurut keterangan Ketua Tim Reaksi Cepat Perlindungan Perempuan dan Anak (TRC PPA) Kalimantan Timur, Rina Zainun, dugaan pelecehan berlangsung dalam suasana yang dibuat mistis oleh pelaku.

Miris sekali, lingkungan pendidikan yang seharusnya steril dari aktivitas amoral, justru menjadi tempat subur bagi berlangsungnya perbuatan asusila. Kasus pelecehan seksual bukan hanya terjadi di satuan pendidikan tingkat menengah atau tinggi, tetapi sudah menjangkau aktivitas ekskul berbalut pendidikan. Semua ini semakin membuktikan bahwa sistem dan aturan yang diterapkan di negeri ini telah gagal mewujudkan masyarakat berakhlak serta beradab.


Dampak Rusaknya Sistem

Fenomena Kasus pelecehan seksual yang terjadi di lingkungan pendidikan dengan oknum pembina pramuka sebagai pelaku, tidak ubahnya ini bak fenomena gunung es. Kasus-kasus yang viral hanyalah sebagian kecil dari yang tampak di permukaan, sementara yang luput dari pemberitaan masih sangat banyak.

Sungguh miris, pembina pramuka yang seharusnya menjadi teladan dalam kegiatan dalam rangka membetuk moral dan akhlak, tetapi justru menjadi pelaku pelecehan seksual yang tidak lain adalah perbuatan maksiat yang keji. Ini jelas masalah serius di tengah masyarakat kita, khususnya dalam sistem pendidikan dan pergaulan.

Sistem pendidikan saat ini dibangun dengan asas sekuler, yaitu pemisahan antara agama dan kehidupan. Sekularisme itu pula yang menjadi asas sistem demokrasi kapitalisme yang diterapkan di negara kita. Dalam sistem ini, agama dianggap sebagai bagian dari ranah privat dan hanya boleh mengatur urusan ibadah ritual individu saja. Urusan kehidupan lainnya diatur dengan prinsip demokrasi, yaitu menyerahkan hak pembuatan hukum kepada akal manusia.

Asas sekuler dalam sistem pendidikan telah menyebabkan visi pembinaan menjadi melenceng. Visi yang awalnya ingin membentuk pemuda agar memiliki jiwa dan watak Pramuka yang berlandaskan iman dan takwa, ternyata hanya jargon dan formalitas belaka.

Sistem sekuler juga memberi ruang bagi kebebasan berpikir dan berperilaku. Seseorang bebas berpendapat dan bertingkah laku selama dianggap tidak merugikan orang lain. Perbuatan asusila seperti perzinaan diklaim tidak bisa dianggap sebagai kejahatan, selama dilakukan atas dasar suka sama suka sehingga perbuatan ini juga tidak bisa tersentuh hukum.

Namun solusi yang ditawarkan dalam mengatasi hal ini malah edukasi seks yang aman dan sehat. Sedangkan kemungkinan besar perbuatan semacam itu justru menjadi benih bagi tindak pelecehan/kekerasan seksual, karena aktivitas seksual menyebabkan candu para pelakunya.

Tidak heran, meski berbagai UU dan regulasi hukum sudah diterbitkan untuk mencegah kejahatan seksual, namun masih belum mampu menuntaskannya. Sebagai contohnya, UU 12/2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) dan UU 23/2022 tentang Perlindungan Anak yang bahkan sudah dua kali direvisi dengan sanksi hukum yang makin berat dan hukuman kebiri. Selain itu, ada juga Permendikbud 82/2015 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Tindak Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan.

Namun regulasi itu sama sekali tidak bisa memberikan efek jera dan menghentikan terjadinya kasus serupa. Yang terjadi, kasus-kasus baru malah terus bermunculan. Apalagi sudah menjadi rahasia umum, bahwa hukum di negara kita bisa dibeli. Wajar jika akhirnya kasus pelecehan seksual terus terjadi, tidak terkecuali di lingkungan pendidikan.

Kondisi ini menjadi bukti nyata rusaknya sistem sekuler demokrasi kapitalisme yang diterapkan saat ini. Sistem tersebut adalah buah dari akal manusia yang serba terbatas sehingga melahirkan lingkungan dan individu-individu yang rusak. Terlebih ketika fungsi kontrol sosial tidak berjalan sebagaimana mestinya, sebagai dampak sikap individualistis masyarakat. Atas alasan menghormati privasi, kegiatan amar makruf nahi mungkar malah dianggap sebagai kesalahan.

Jelas, selama sistem sekuler demokrasi kapitalisme yang rusak dari akarnya ini masih tetap diterapkan oleh negara, selama itu pula kasus pelecehan seksual di lingkungan pendidikan akan terus berulang.


Perspektif Islam Menutup Semua celah Pelecehan Seksual

Sebagai sistem kehidupan yang sempurna, Islam memiliki mekanisme yang khas dan komprehensif untuk mengatasi pelecehan seksual, tidak hanya di sekolah tetapi juga di seluruh lingkungan masyarakat. Dalam hal ini, ada tiga bagian sistem yang saling terkait, yaitu sistem pergaulan, sistem pendidikan, dan sistem sanksi.

Pertama, sistem pergaulan Islam telah menetapkan sejumlah aturan tertentu yang berupa perintah dan larangan terkait hubungan antara laki-laki dan perempuan. sejumlah aturan pergaulan laki-laki dan perempuan yang dikutip dari kitab Nizhamu al-Ijtima’i fii al-Islam karya Syekh Taqiyuddin an-Nabhani rahimahullah yaitu Islam telah memerintahkan kepada manusia, baik laki-laki maupun perempuan untuk menundukkan pandangan, kemudian Islam pun memerintahkan kepada para perempuan untuk menutup auratnya dengan pakaian sempurna berupa jilbab dan khimar dan Islam pun juga sangat memperhatikan perempuan tidak untuk melakukan perjalanan selama sehari semalam kecuali jika disertai mahram dan tidak benerkan didalam Islam laki-laki dan perempuan untuk berkhalwat (berdua-duaan), bahkan Islam sangat detail terkait perizinan agar perempuan untuk keluar dari rumahnya mendapat izin dari walinya dan bisa dipastikan Islam menjaga agar dalam kehidupan khusus jemaah perempuan terpisah dengan jamaah laki-laki dan Islam membatasi kerjasama antara laki-laki dan perempuan hanya pada aktivitas muamalah yang bersifat umum.

Dengan aturan pergaulan yang jelas dan rinci itu, hubungan laki-laki dan perempuan dalam Islam akan berlangsung penuh kehormatan. Aturan Islam akan membuat setiap individu dan masyarakat terhindar dari perbuatan nista dan terjaga kesuciannya. Selain disampaikan sebagai bahan ajar di sekolah-sekolah, aturan Islam juga diterapkan secara praktis oleh negara.

Kedua, sistem pendidikan yang berlandaskan akidah Islam menjadikan fokus pembelajaran pada amal perbuatan yang nyata, bukan terbatas pada aspek teori. Islam dipelajari untuk dipahami dan diterapkan, bukan demi nilai ujian. Ketaatan pada aturan Islam adalah buah dari keimanan, bukan karena takut terhadap sanksi atau ancaman. Dengan begitu, tiap individu akan berusaha taat dan terikat dengan syariat tiap saat.

Ketiga, jika kasus pelecehan seksual tetap terjadi, negara akan memberlakukan sistem sanksi yang tegas. Untuk pelaku zina yang belum menikah, baik laki-laki maupun perempuan, akan dijilid sebanyak seratus kali cambukan. Sedangkan pezina yang sudah menikah, akan dirajam sampai mati. Hal itu sesuai dengan firman Allah Taala di dalam QS An-Nuur ayat 2, yang artinya, “Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera. Dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah.”

Untuk kemaksiatan atau pelanggaran atas kehormatan seperti perbuatan cabul (meliputi segala bentuk pornografi, pornoaksi, dan pornoliterasi) atau perbuatan melanggar kesopanan, yang tidak ditetapkan had dan kafaratnya oleh Allah, pelakunya dijatuhi hukuman takzir yang jenis dan kadarnya ditetapkan oleh khalifah.

Dengan penerapan sistem sanksi tersebut, selain akan menghasilkan efek jera, juga berfungsi sebagai penebus dosa atas kesalahan yang telah diperbuat pelaku. Sanksi hukum di dalam Islam memiliki dua fungsi, yaitu sebagai pencegah (agar orang lain tidak melakukan pelanggaran serupa), juga sebagai penebus (atas dosa dari pelanggaran yang dikerjakan pelaku). Wallahualam bissawab.




Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.

Posting Komentar

0 Komentar