Oleh : Hazifah Mujtahidah
Kasus seorang anak di Bekasi yang tega memukuli ibu kandungnya sendiri karena hanya ditolak permintaannya meminjam motor bukan hanya berita kriminal biasa. Kasus ini adalah cerminan dari realitas yang lebih dalam dan kompleks tentang kerusakan relasi antar generasi, khususnya relasi anak terhadap orang tua. Fenomena ini bukan hanya menyentuh aspek moral, tapi juga menyentuh akar sistemik dari cara sebuah masyarakat membentuk generasi, mendidik anak, membangun makna kebahagiaan, hingga membentuk nilai-nilai yang diyakini dan dihidupi bersama.
Peristiwa ini diberitakan secara luas oleh media nasional, seperti dalam laman Merdeka.com (28 Juni 2025), yang mengungkap bahwa seorang pria muda asal Bekasi tega memukuli ibunya sendiri hanya karena tidak diberi pinjaman uang Rp30.000 dan motor. Pelaku bahkan disebut mengamuk dan melakukan kekerasan secara fisik. Bagi banyak orang, ini terlihat seperti kisah Malin Kundang versi modern — anak durhaka yang tak segan menyakiti ibu kandungnya karena urusan duniawi.
Namun, melihat kasus ini hanya dari aspek personal atau moral semata akan membuat kita gagal menemukan akar masalah dan solusi fundamentalnya. Apakah ini semata karena si anak memang jahat? Apakah hanya karena si ibu gagal mendidik? Atau ini justru merupakan puncak gunung es dari krisis sosial yang lebih luas?
Pola Asuh yang Gagal Menyentuh Fitrah dan Akal Anak
Pertama-tama, kita perlu melihat bahwa pola pengasuhan memiliki peran besar dalam membentuk kepribadian anak. Keluarga adalah sekolah pertama bagi seorang manusia. Dalam keluarga, anak bukan hanya diberi makan dan perlindungan, tetapi juga ditanamkan nilai-nilai dasar kehidupan: mana yang benar dan salah, bagaimana memperlakukan sesama, hingga bagaimana menghormati orang tua.
Namun, dalam realitas masyarakat sekuler saat ini, banyak orang tua mengalami disorientasi dalam mendidik anak. Tujuan pengasuhan tak lagi diarahkan untuk membentuk anak yang bertakwa dan berakhlak mulia, tetapi untuk menjadikan anak “sukses secara materi”, bisa bersaing, dan menang dalam kehidupan dunia. Akibatnya, banyak orang tua sejak awal telah menanamkan nilai materialisme kepada anak-anaknya: bahwa hidup ini tentang uang, status sosial, dan kekuasaan.
Tak mengherankan jika akhirnya seorang anak bisa bersikap brutal kepada orang tua sendiri hanya karena permintaan kecil tidak dipenuhi. Bagi mereka, orang tua tidak lagi dilihat sebagai sosok yang wajib dihormati dan dicintai, melainkan sebagai pihak yang harus memenuhi kebutuhan dan keinginan anak. Ketika keinginan itu tidak terpenuhi, anak bisa merasa kecewa, marah, dan bahkan membalas dengan kekerasan.
Nilai-Nilai Masyarakat yang Rusak karena Pandangan Hidup Materialistik
Pola pikir anak tentu tidak tumbuh di ruang hampa. Masyarakat di mana ia tumbuh juga punya peran penting dalam membentuk kepribadiannya. Dalam sistem kehidupan sekuler, kebahagiaan didefinisikan semata-mata sebagai pencapaian materi: kekayaan, barang mewah, popularitas, atau kekuasaan. Akibatnya, seseorang — termasuk anak-anak — belajar sejak dini bahwa hidup ini adalah tentang “punya apa”, bukan “jadi siapa”.
Dalam masyarakat seperti ini, orang tua tidak lagi otomatis dihormati karena jasa dan pengorbanannya, tapi dinilai dari apa yang bisa mereka berikan secara materi. Jika orang tua tidak punya uang, tidak bisa memenuhi keinginan anak, maka posisinya bisa “turun derajat”. Sementara itu, masyarakat terus menampilkan narasi sukses ala kapitalis: punya mobil, gadget terbaru, pakaian bermerek — semua dinilai dari sisi materi.
Hal ini kian diperparah dengan derasnya pengaruh media sosial dan budaya pop yang menampilkan gaya hidup hedonis dan bebas, di mana anak-anak muda dibombardir oleh narasi bahwa “kebebasan” adalah segalanya dan “kebutuhan pribadi” adalah yang utama. Slogan-slogan seperti “do what you love”, “hidup cuma sekali”, atau “my body, my choice” makin menjauhkan generasi dari nilai-nilai pengorbanan, ketaatan, dan rasa syukur — nilai yang sangat penting dalam membentuk generasi yang patuh pada orang tua.
Sistem Pendidikan yang Sekuler dan Jauh dari Akhlak Islam
Salah satu faktor paling besar dalam membentuk kepribadian anak adalah sistem pendidikan. Sayangnya, sistem pendidikan hari ini lebih berfokus pada capaian akademik dan nilai ujian ketimbang pembentukan akhlak dan iman. Kurikulum pendidikan nasional yang berbasis sekularisme tidak menempatkan akidah Islam sebagai dasar pembentukan kepribadian anak. Nilai-nilai agama hanya menjadi pelengkap atau mata pelajaran sekunder, bukan menjadi asas utama dalam mendidik manusia.
Padahal dalam Islam, pendidikan harus berlandaskan akidah Islam dan bertujuan untuk membentuk manusia yang bertakwa, cerdas, dan memiliki kepribadian Islam. Rasulullah ï·º bersabda: "Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah, maka kedua orangtuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani, atau Majusi." (HR. Bukhari dan Muslim).
Hadis ini menunjukkan pentingnya pendidikan — baik dalam keluarga maupun masyarakat — untuk menjaga fitrah anak agar tetap lurus dalam Islam. Dalam Islam, anak diajarkan untuk menghormati orang tua, bersikap lemah lembut, dan senantiasa taat kepada keduanya selama tidak dalam maksiat kepada Allah. Islam mengajarkan bahwa surga itu ada di bawah telapak kaki ibu, bahwa orang tua adalah pintu surga, bahwa menyakiti mereka adalah dosa besar.
Namun, bagaimana nilai-nilai luhur ini bisa tertanam jika sistem pendidikan kita bahkan membolehkan promosi gaya hidup bebas, pergaulan bebas, bahkan secara tidak langsung mendukung pembangkangan kepada otoritas orang tua dengan dalih kebebasan berekspresi?
Sistem Kapitalisme dan Gagalnya Negara dalam Membangun Generasi
Lebih dalam lagi, krisis generasi hari ini tidak bisa dilepaskan dari sistem kapitalisme yang menjadi dasar sistem kehidupan modern. Kapitalisme menempatkan nilai materi sebagai tujuan utama kehidupan. Dalam sistem ini, manusia hanya dianggap berharga jika bisa menghasilkan uang, barang, atau keuntungan ekonomi. Tak heran jika nilai-nilai spiritual, emosional, dan akhlak menjadi kian terpinggirkan.
Negara yang menganut sistem kapitalisme tidak benar-benar mengambil tanggung jawab penuh dalam mendidik generasi. Tugas pendidikan sering diserahkan kepada swasta. Sementara itu, regulasi tentang media, internet, dan budaya populer dibiarkan begitu saja tanpa kontrol yang berpihak pada pembentukan moral publik. Akibatnya, anak-anak tumbuh di tengah banjir informasi yang merusak, tanpa perlindungan yang memadai dari negara.
Fenomena anak memukul orang tua bukanlah insiden tunggal. Ia adalah gambaran dari suatu generasi yang kehilangan arah — generasi yang lahir dalam sistem yang salah. Sistem ini menjauhkan anak dari agama, dari moral, dari fitrah. Maka selama sistem ini tetap dipertahankan, kita akan terus menyaksikan generasi yang makin rusak: anak yang membunuh temannya hanya karena tersinggung, anak yang bunuh diri karena gagal ujian, hingga anak yang tega menyakiti ibu kandungnya karena urusan sepele.
Solusi Islam: Membangun Generasi Mulia dengan Sistem Hidup yang Lurus
Islam adalah satu-satunya sistem kehidupan yang mampu menyelesaikan krisis generasi ini dari akarnya. Dalam Islam, negara memiliki peran vital dalam membangun generasi. Negara wajib memastikan bahwa setiap anak mendapatkan pendidikan berbasis akidah Islam sejak dini. Kurikulum pendidikan dalam Islam bukan sekadar soal membaca, menulis, dan berhitung, tetapi tentang membentuk kepribadian Islam: menjadikan iman sebagai dasar berpikir dan akhlak sebagai dasar bertindak.
Negara Islam juga mengontrol media dan sistem informasi agar tidak menjadi alat penyebaran gaya hidup rusak. Setiap informasi, tontonan, dan konten digital harus disesuaikan dengan nilai-nilai Islam yang luhur, bukan dibiarkan bebas atas nama kebebasan individu. Negara Islam juga menjamin kesejahteraan keluarga, sehingga orang tua bisa mendidik anak dengan tenang dan tidak teralihkan oleh beban ekonomi yang berat.
Pendidikan dalam Islam adalah tanggung jawab kolektif: orang tua, masyarakat, dan negara. Ketika semua pihak menjalankan fungsinya sesuai syariat, akan lahir generasi yang mencintai Allah, menghormati orang tua, menjaga lisan, dan menjauhi kekerasan. Generasi seperti ini pernah dibuktikan dalam sejarah: generasi sahabat Nabi yang tumbuh dalam sistem Islam dan berhasil membawa peradaban agung ke seluruh penjuru dunia.
Penutup
Kasus pemukulan ibu oleh anak di Bekasi adalah alarm keras bagi umat ini bahwa generasi kita sedang tidak baik-baik saja. Kita tidak bisa lagi menutup mata dan terus menyalahkan individu atau keluarga semata. Kita harus sadar bahwa sistem hidup kita saat ini — yang berakar pada sekularisme dan kapitalisme — telah gagal total dalam membentuk manusia yang berakhlak.
Umat Islam harus segera bermuhasabah dan berani mengatakan cukup. Cukup dengan solusi tambal sulam. Cukup dengan regulasi semu. Solusi hakiki untuk membangun generasi mulia adalah dengan kembali kepada Islam secara kaffah. Islam tidak hanya agama ibadah ritual, tapi juga sistem hidup yang mengatur pendidikan, keluarga, masyarakat, dan negara.
Kini saatnya umat bergerak — mendidik anak dengan akidah Islam, mendakwahkan pentingnya sistem Islam, dan mendukung tegaknya kembali peradaban Islam yang akan membina generasi pencinta Allah dan penghormat orang tua.
Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.
0 Komentar