UKT Tinggi Tumbangkan Cita dan Asa Anak Negeri


Oleh: Imas Royani, S.Pd.

"What? Cita-cita cuma setinggi UKT?
Gak setinggi langit, gitu?"

"Bro, gimana gak setinggi UKT.
Orang sekarang makin tinggi aja tuh UKT 
Kayak mau bersaing sama langit!"

Demikianlah sekilas obrolan para calon & yang sudah jadi mahasiswa di sudut kampus. Betapa tidak! Dari tahun ke tahun, semester ke semester memang besaran UKT semakin tidak bersahabat dengan situasi dan kondisi keluarga besar mahasiswa. Bangku kuliah tak kalah mahalnya dengan bangku pejabat eksekutif. Perlu merogoh kocek dalam-dalam untuk bisa menaikinya.

UKT adalah biaya kuliah per semester yang wajib dibayarkan oleh mahasiswa di Perguruan Tinggi Negeri (PTN). Kebijakan mengenai UKT ini diatur berdasarkan Permendikbudristekdikti 2/2024 tentang Standar Satuan Biaya Operasional Pendidikan Tinggi (SSBOPT).

Dalam program UKT, pemerintah menerapkan sistem subsidi silang sesuai kondisi ekonomi setiap mahasiswa. Sistem ini diklaim mampu memberikan kesempatan bagi mahasiswa dengan berbagai kondisi ekonomi untuk dapat mengenyam pendidikan, bahkan dengan kondisi ekonomi yang kurang. Namun pada faktanya, UKT tetap tidak terjangkau bagi sebagian masyarakat. Banyak pula mahasiswa yang terpaksa putus kuliah karena tidak mampu membayar UKT.

Arus kapitalisasi pendidikan ini diperkuat dengan UU 12/2012 tentang Pendidikan Tinggi yang mengatur perubahan status kampus menjadi Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum (PTN-BH). Berdasarkan UU tersebut, kampus diberi otonomi khusus untuk mengelola sumber pendanaan sendiri. Kebijakan ini menjadikan anggaran negara untuk kampus akan dikurangi sehingga perguruan tinggi dituntut mencari dana sendiri dari pihak mana pun. Akibatnya, kampus yang belum bisa mengembangkan pendapatan dari bisnis lain akan cenderung menaikkan biaya UKT.

Demikianlah buah penerapan sistem Kapitalisme menjadikan negara bercorak kapitalistik yang hanya berfungsi sebagai fasilitator dan regulator, bukan pengurus umat. Negara hanya cukup memfasilitasi dan memberikan regulasi, selebihnya rakyat dibiarkan mengurus dirinya sendiri. Di tengah ekonomi yang makin sulit nominal UKT tetap memberatkan, meski besarannya berjenjang. Lebih miris lagi karena masih ada biaya selain UKT yang harus dibayar oleh mahasiswa yang masuk melalui jalur mandiri, seperti Iuran Pengembangan Institusi (IPI) atau Sumbangan Pengembangan Institusi (SPI). Akibatnya, jenjang pendidikan tinggi makin tidak terjangkau oleh masyarakat luas. 

Berbeda dengan sistem Islam. Islam menjadikan pendidikan sebagai salah satu kebutuhan pokok rakyat yang wajib disediakan negara dengan biaya murah, bahkan gratis. Islam memandang bahwa seluruh individu rakyat berhak menikmati pendidikan di berbagai jenjang, mulai dari prasekolah, dasar, menengah, hingga pendidikan tinggi. 

Rasulullah Saw. bersabda, 
طلب العلم فريضة على كل مسلم
”Menuntut ilmu adalah wajib atas setiap muslim.” (HR. Ibnu Majah, dishahihkan oleh Al Albani dalam Shahih At-Targhib).

Penguasa dalam sistem Islam berperan sebagai raa’in (pengurus umat), artinya penguasa adalah pihak bertanggung jawab untuk memastikan agar kewajiban menuntut ilmu bisa diakses dan dilaksanakan secara maksimal oleh seluruh rakyat. Penyelenggaraan pendidikan berkualitas oleh negara dilakukan dengan dorongan takwa agar hukum Islam bisa diterapkan dengan sempurna, bukan demi orientasi bisnis. Para pemimpin dalam Islam, sangat memahami sabda Rasulullah Saw., “Imam/Khalifah adalah pengurus dan ia bertanggung jawab terhadap rakyat diurusnya.” (HR. Muslim dan Ahmad).


Syekh Taqiyuddin an-Nabhani rahimahullah menyebutkan dalam kitab Muqaddimah Dustur Pasal 173, bahwa negara wajib menyelenggarakan pendidikan berdasarkan apa yang dibutuhkan manusia di dalam kancah kehidupan bagi setiap individu, baik laki-laki maupun perempuan dalam dua jenjang pendidikan, yakni pendidikan dasar dan pendidikan menengah. Negara wajib menyelenggarakan pendidikan bagi seluruh warga negara secara cuma-cuma. Mereka juga diberi kesempatan seluas-luasnya untuk melanjutkan pendidikan tinggi secara cuma-cuma.

Seluruh pembiayaan tadi diambil dari baitulmal, yakni dari pos fai dan kharaj, serta kepemilikan umum yang masing-masing jumlahnya sangat melimpah. Selain itu, ada wakaf yang sangat besar untuk pendidikan dari individu rakyat yang kaya dan cinta ilmu. Itulah sebabnya sepanjang sejarah emasnya, Khilafah mampu mewujudkan layanan pendidikan tinggi secara gratis dan berkualitas bagi seluruh rakyatnya. Tidakkah kita menginginkannya pula?

Wallahu'alam bishshawab.




Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.

Posting Komentar

0 Komentar