Oleh : Eulis Nurhayati
Peringatan Hari Keluarga Nasional (HARGANAS) ke-31 dan Hari Anak Nasional (HAN) ke-40 di Sumedang akan dilaksanakan pada tanggal 29 Juni 2025, dengan fokus pada keluarga harmonis dan penurunan stunting, menurut Pemerintah Kabupaten Sumedang. DPPKBP3A Sumedang juga akan menggelar pelayanan KB serentak mulai 16 Juni hingga 30 Juni 2025 dalam rangka memperingati Harganas, dikutip dari Kabar Sumedang, “Guna mendekatkan pelayanan KB kepada pasangan usia subur (PUS) Dinas Pengendalian Penduduk Keluarga Berencana Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DPPKBP3A) Kabupaten Sumedang akan menggelar pelayanan KB secara serentak.
Kepala Bidang KB DPPKBP3A Sumedang Dadan Mulyadan mengatakan pelayanan KB serentak ini digelar berkaitan dengan peringatan Hari Keluarga Nasional (Harganas) Tingkat Provinsi Jawa Barat. "Untuk pelaksanaannya akan dimulai 16 Juni - 30 Juni 2025 di berbagai fasilitas kesehatan (faskes) pemerintah maupun swasta serta tempat praktek bidan mandiri," jelas Dadan Minggu 15 Juni 2025.
Ditambahkan Dadan pelayanan KB serentak ini mencakup beberapa alat kontrasepsi seperti IUD, Implant, Tubektomi, Vasektomi, kondom, pil, suntik. Adapun target sasaran peserta pelayanan KB serentak ini total 7.360 yang tersebar di 26 Kecamatan wilayah Kabupaten Sumedang. Lebih lanjut dikatakan Dadan, pelayanan KB serentak ini juga dilakukan untuk mewujudkan pelayanan akses dan kualitas pelayanan KB serta peningkatan komitmen dan dukungan berbagai pihak dalam percepatan program pembangunan keluarga dan kependudukan dan keluarga berencana (Bangga Kencana)”. Program Pembangunan Keluarga, Kependudukan, dan Keluarga Berencana (Bangga Kencana) ini adalah program pemerintah yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup keluarga dan mengendalikan pertumbuhan penduduk. Program ini berfokus pada perencanaan keluarga, pendidikan, kesehatan reproduksi, dan pemberdayaan keluarga.
Dari kutipan lansiran diatas memang bisa dikatakan masyarakat itu ibarat sebuah lanskap sosial dengan beragam kompleksitasnya. Norma, nilai, agama, hingga kepercayaan kerap disebut sebagai penopang dalam hidup bermasyarakat. Keputusan dalam bertindak kerap merujuk pada faktor-faktor tersebut. Kompleksitas masyarakat ini seharusnya menjadi sebab pentingnya standarisasi hukum yang memahami fitrah manusia. Tentu saja, agama adalah rujukan tertinggi manusia dalam bertindak. Agamalah yang menjadi spirit norma maupun nilai yang berkembang di masyarakat. Teks suci (Al-Qur’an) bukanlah doktrin, tetapi kalam Allah yang mengarahkan perbuatan manusia. Imam Al-Muzani rahimahullah berkata,
وَالقُرْآنُ كَلاَمُ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ وَمِنْ لَدُنْهُ وَلَيْسَ بِمَخْلُوْقٍ فَيَبِيْدُ
“Al-Qur’an itu kalamullah (firman Allah ‘azza wa jalla), berasal dari sisi-Nya. Al-Qur’an itu bukanlah makhluk yang akan binasa.”
Untuk itu dalam Islam, konsekuensi keimanan adalah menjadikan al-Quran bukan hanya kitab suci, tetapi juga merupakan pedoman hidup yang lengkap dan komprehensif bagi umat Islam, yang mengatur berbagai aspek kehidupan mereka. Dan aturan Sang Pencipta ini juga harus dijadikan sebagai referensi dalam bertindak, dengan ridha dan kepatuhan. Yang mana ini merupakan sebuah realisasi penghambaan, bukan keterpaksaan.
Jika kita menelaah secara jernih, Islam sesungguhnya memiliki tuntunan bagaimana merealisasikan keluarga berencana. Hanya saja, sikap emosional yang ada dalam diri terkadang membuat mereka (para pembuat peraturan kebijakan) membingkai syariat berdasarkan perasaan. Ini berujung pada penafsiran-penafsiran ayat-ayat Allah yang mengikuti kehendak manusia, sesuai zamannya. Dilihat dari fakta tadi bisa kita ketahui bahwa dalam pelayanan KB Serentak yang digelar berkaitan dengan peringatan Hari Keluarga Nasional (Harganas) Tingkat Provinsi Jawa Barat ini ada beberapa cakupan alat kontrasepsi yang mana diantaranya ada Tubektomi dan Vasektomi yang jelas menurut hukum Islam pada dasarnya haram (dilarang), Karena ada beberapa hal yang prinsipil, yaitu Kontrasepsi Tubektomi dan Vasektomi berakibat kemandulan tetap. Dan untuk hal ini seharusnya para pembuat kebijakan memperhatikan agar masyarakat tidak terjerumus melakukan hal yang demikian.
Sementara itu, dalam bingkai syariat, keluarga dituntut untuk merencanakan bagaimana menggapai kebahagiaan dunia, dalam rangka mewujudkan kebahagiaan di akhirat kelak bersama seluruh anggota keluarga. Lantas, bagaimana Islam memberikan tuntunan khas bagi suami istri dalam mengatur rumah tangga, termasuk dalam merencanakan jarak kelahiran dan bagaimana pula Islam memberikan pemahaman bahwa seorang pemimpin/penguasa (para pembuat kebijakan) harus berperan dan bertanggung jawab menjaga masyarakatnya dalam menjalani kehidupan ini agar tidak terjerumus ke dalam hal yang mengakibatkan dosa?
Salah satu ulama kontemporer, K.H. Shiddiq al-Jawi menjelaskan bahwa KB dapat dipahami sebagai aktivitas individual untuk mencegah kehamilan (man’u al-hamli) dengan berbagai cara dan sarana (alat). Misalnya dengan kondom, IUD, pil KB, dan sebagainya. KB juga dikenal dengan istilah tanzhim an-nasl atau pengaturan kelahiran.
Hukum KB dalam arti tahdid an-nasl (pembatasan kelahiran), yaitu sebagai sebuah program nasional untuk membatasi jumlah populasi penduduk (tahdid an-nasl), hukumnya haram. Tidak boleh ada sama sekali ada suatu undang-undang atau peraturan pemerintah yang membatasi jumlah anak dalam sebuah keluarga (Lihat Prof. Ali Ahmad as-Salus, Mausu’ah al-Qadhaya al-Fiqhiyah a-Mu’ashirah, [Mesir: Daruts Tsaqafah – Maktabah Darul Qur’an], 2002, hal. 53).
Adapun hukum KB dalam arti tanzhim an-nasl (pengaturan kelahiran), yaitu aktivitas yang individu masyarakat jalankan (bukan dijalankan karena program negara) untuk mencegah kelahiran (man’u al-hamli) dengan berbagai cara dan sarana, hukumnya mubah, bagaimanapun juga motifnya (Taqiyuddin an-Nabhani, An-Nizham al-Ijtima’i fi al-Islam, hlm. 148). Dalil kebolehannya antara lain hadis dari sahabat Jabir ra. yang berkata, ”Dahulu kami melakukan ‘azl (sanggama terputus) pada masa Rasulullah ﷺ sedangkan Al-Qur’an masih turun.” (HR Bukhari).
Hanya saja kebolehannya disyaratkan tidak adanya bahaya (dharar). Kaidah fiqih menyebutkan: Adh-dhararu yuzaal (Segala bentuk bahaya haruslah dihilangkan) (Imam Suyuthi, Al-Asybah wa an-Nazha’ir fi al-Furu’, [Semarang: Maktabah Usaha Keluarga], hlm. 59). Kebolehan pengaturan kelahiran juga terbatas pada pencegahan kehamilan yang bersifat temporal (sementara), misalnya dengan pil KB dan kondom. Adapun pencegahan kehamilan yang bersifat permanen (sterilisasi), seperti vasektomi atau tubektomi, hukumnya haram sebab Nabi ﷺ melarang pengebirian (al-ikhtisha’), sebagai teknik mencegah kehamilan secara permanen yang ada saat itu (Muttafaq ‘alaih, dari Sa’ad bin Abi Waqqash ra).
Selain itu didalam Islam seorang penguasa atau pemimpin adalah pelindung bagi rakyat dan orang-orang yang dipimpinnya. Ia bertanggung jawab atas rakyat yang dipimpinnya. Kelak ia akan dimintai pertanggungjawabannya pada Hari Kiamat atas amanah kepemimpinannya itu. Rasulullah saw. bersabda, “Imam adalah raa’in (penggembala) dan ia bertanggung jawab atas rakyatnya.” (HR Bukhari). Selain itu, pemimpin dalam Islam digambarkan sebagai perisai. Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya al-imam (khalifah) itu junnah (perisai) yang mana (orang-orang) akan berperang di belakangnya (mendukung) dan berlindung (dari musuh) dengan (kekuasaan)nya.” (HR Al-Bukhari, Muslim, Ahmad, Abu Dawud).
Selain itu, kepemimpinan dalam Islam dipahami sebagai tanggung jawab dunia dan akhirat. Artinya, seorang penguasa atau pemimpin di dunia bertanggung jawab atas nasib rakyatnya. Ia wajib menjaga agama rakyatnya supaya tetap dalam keimanan dan ketakwaan kepada Allah taala. Ia juga wajib memelihara agar urusan sandang, pangan, dan papan rakyatnya bisa tercukupi. Demikian juga kebutuhan kolektif mereka, seperti pendidikan, kesehatan, dan keamanan tetap terjaga. Para pemimpin ini juga paham bahwa tanggung jawab mengurus urusan rakyat ini akan dimintai pertanggungjawaban hingga ke akhirat. Rasulullah saw. menegaskan dalam sebuah riwayat hadits, “Tidaklah seorang manusia yang diamanahi Allah Swt. untuk mengurus urusan rakyat lalu mati dalam keadaan ia menipu rakyatnya, melainkan Allah mengharamkan surga baginya.” (HR Bukhari).
Dari sini maka jelaslah ketika seorang pemimpin atau penguasa (para pembuat kebijakan) berada dalam naungan/sistem Islam, bisa dipastikan akan mengeluarkan berbagai kebijakan/program sesuai dengan apa yang Allah Swt perintahkan dan meninggalkan apa-apa yang jelas sudah Allah Swt larang. Termasuk dalam hal pelayanan Keluarga Berencana dan lain sebagainya.
Wallahu a’lam bish-shawab.
Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.
0 Komentar