Oleh : Ummu Anjaly, S.K.M.
Beberapa waktu lalu, banjir melanda Pamekasan, membuat lebih dari 1.000 keluarga mengungsi. Banjir ini terjadi pada dini hari Senin, 12 Mei 2025, mulai pukul 03.00 WIB dan surut sekitar pukul 10.00 WIB. Banjir yang berdampak pada 1.000 kepala keluarga di 5 kelurahan dan 1 desa ini disebabkan oleh hujan lebat yang berlangsung lama sejak Minggu, 11 Mei 2025, pukul 13.00 WIB.
Menurut Bupati Pamekasan, Kholilurrahman, pengerukan sungai tidak terlalu efektif mengurangi banjir. Ia menduga banjir selama ini terjadi karena aliran air yang sempit akibat tanah yang dilalui banjir. Oleh karena itu, ia menyarankan agar anak sungai diperlebar supaya dapat berfungsi sebagai saluran pembuangan air saat banjir. (Ketik.co.id, 12/5/2025)
Di kabupaten lain, Anggota Komisi III DPRD Sumenep, Akhmadi Yasid, mengungkapkan bahwa area terdampak banjir di Sumenep meluas. Awalnya banjir hanya terjadi di Jalan Trunojoyo dan Jalan Dr. Cipto, kini meluas ke area penyangga seperti Kebonagung, Batuan, Babbalan, dan Patean.
Ia menambahkan, penanganan banjir tidak bisa lagi dilakukan secara parsial atau hanya fokus pada saluran air yang tersumbat di wilayah hilir. Menurutnya, masalah utama banjir justru berasal dari hulu, yaitu karena buruknya tata kelola lingkungan dan banyaknya tambang galian C ilegal, terutama di kawasan Batuan yang sebelumnya tidak pernah terdampak banjir. (Beritajatim.com, 13/5/2025)
Sulitnya penanganan banjir yang kerap melanda Pamekasan dan Sumenep saat musim hujan, bukan hanya karena faktor cuaca, melainkan juga masalah sistemik. Alih fungsi lahan dari hulu ke hilir serta kebijakan pemerintah yang lebih mengutamakan kepentingan oligarki dan investor, menjadi penyebab utama kerusakan lingkungan. Hal ini terlihat dari menyempitnya daerah resapan akibat pembangunan masif untuk berbagai usaha, sehingga keseimbangan lingkungan terganggu.
Sistem kapitalisme sekuler dinilai memperparah kondisi ini, di mana pemerintah hanya menjadi regulator yang tunduk pada kepentingan oligarki, mengabaikan kepentingan rakyat. Akibatnya, pemerintah tidak memiliki kedaulatan penuh dalam mengatur tata kota dan penggunaan lahan, sehingga solusi yang ditawarkan hanya bersifat pragmatis dan tidak akan pernah berpihak pada kesejahteraan rakyat.
Solusi Islam
Sebagai solusi, sistem Islam diyakini mampu mengatasi masalah banjir secara sistematis dan mengakar. Dalam Islam, seorang Khalifah akan senantiasa menjaga kelestarian lingkungan dan mencegah alih fungsi lahan yang merusak. Kebijakan yang dibuat semata-mata untuk kemaslahatan umat, bukan kepentingan individu atau kelompok.
Beberapa kebijakan yang akan diterapkan Khalifah meliputi: Pertama, pengelolaan sumber daya alam (SDA) seperti danau, sungai, dan laut oleh negara untuk kemaslahatan umat. Kedua, menjaga kelestarian hutan dengan mencegah penebangan sembarangan. Ketiga, mempertahankan kawasan hijau dari pembangunan industri dan perkantoran, serta membangun taman kota. Keempat, penerapan sanksi Islam yang tegas untuk perusak lingkungan.
Dengan demikian, penegakan syariat Islam secara kaffah diharapkan dapat mengembalikan keharmonisan lingkungan dan membawa rahmat Allah bagi seluruh alam. Kita merindukan pemimpin bertakwa yang serius mengurus rakyatnya, bukan? Mari terus berjuang demi tegaknya sistem Islam!
Wallahualam bissawab.
Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.
0 Komentar