Sengketa Empat Pulau Aceh, Sengketa yang Berulang


Oleh : Ummu Haura

Gelombang protes muncul dari bumi serambi Mekkah sebagai protes atas berpindahtangannya empat pulau kecil di Samudera Hindia yaitu Pulau Panjang, Pulau Lipan, Pulau Mangkir Gadang, dan Pulau Mangkir Ketek, yang selama ini diakui dan dikelola oleh Kabupaten Aceh, Singkil, secara sepihak. Pihak lain menilai bahwa Pemerintah Pusat menunjukkan arogansi dalam permasalahan hilangnya empat pulau tersebut. Selain itu muncul spekulasi terkait adanya potensi migas yang dimiliki pulau-pulau tersebut. Dilansir dari laman www.tempo.co tanggal 13 Juni 2025 menurut Bobby Gubernur Sumatera Utara empat pulau yang sekarang menjadi bagian Tapanuli Tengah, Sumatera Utara itu memiliki potensi cadangan migas yang bisa dijadikan sumber pendapatan asli daerah. 

Konflik terkait sengketa pulau bukan hal yang baru terjadi di Indonesia, harian Tempo telah merangkum sederet perkara sengketa yang ada di Tanah Air. Beberapa telah diputuskan rampung, sementara yang lain masih menggantung, antara lain: Sengketa Pulau Berhala Antara Kepri dan Jambi, Sengketa Gugus Pulau Tujuh Antara Kepri dan Bangka Belitung, Sengketa Kepulauan Seribu Antara Banten dan Jakarta, Sengketa Pulau Galang Antara Gresik dan Surabaya, Sengketa 13 Pulau Antara Trenggalek dan Tulungagung serta Sengketa pulau Sipadan dan Ligitan antara Indonesia dan Malaysia. Faktor utama yang menjadi pemicu adanya perebutan pulau-pulau tersebut adalah perebutan sumber daya alam yang dijadikan sebagai Pendapatan Asli Daerah (PAD) untuk membiaya urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sebagai akibat penerapan konsep desentralisasi dan otonomi daerah.
 
Konsep otonomi daerah di Indonesia muncul pertama kali muncul pada awal abad ke-20, ditandai dengan dikeluarkannya Decentralisatie Wet oleh Menteri Koloni Hindia Belanda. Konsep desentralisasi yang digunakan oleh Pemerintah Kolonial pada wilayah jajahannya bertujuan untuk mempermudah administrasi dan menjaga stabilitas wilayah. Sehingga, berdasarkan awal mula kemunculannya, konsep otonomi daerah adalah sistem yang lahir dalam kerangka demokrasi sekuler-kapitalis, terutama dari pemikiran negara-negara Barat pasca-revolusi industri dan modernisasi pemerintahan.

Konsep otonomi daerah membuat masing-masing daerah diberi kewenangan penuh pada daerah dalam mengatur urusan pemerintahan, termasuk dalam mengatur pendapatan daerah. Pemerintah Daerah dengan kemandirian fiskal atau tidak memiliki PAD yang memadai akan kesulitan membiayamaka berdampak pada ketergantungan kepada Pemerintah Pusat, ketidakseimbangan pembangunan antar daerah dan pertumbuhan ekonomi yang cenderung melambat. Otonomi daerah akan memicu adanya perbedaan taraf hidup rakyat di masing-masing daerah. Oleh karena itu wajar jika adanya dugaan kandungan migas atau kekayaan alam lainnya memicu rebutan wilayah. 

Otonomi Daerah juga dapat memicu adanya kecemburuan sosial suatu daerah yang memiliki PAD tinggi. Wajar jika terjadi sengketa wilayah yang memiliki kekayaan SDA melimpah untuk memperebutkan kekayaan alam tersebut. 

Pengelolaan SDA seperti halnya minyak dan tambang mineral merupakan proyek padat modal, yang secara otomatis membutuhkan investasi besar dan menjadi celah terbukanya pengelolaan SDA oleh pihak swasta atau asing. Pemerintah Daerah hanya menjadi penonton tanpa menikmati hasil kekayaan alam seperti yang terjadi di daerah Papua. Tambang emas yang dikelola oleh PT. Freeport hanya menjadi angin lalu bagi masyarakat Papua tanpa memberikan dampak kesejahteraan dari hasil kekayaan. Dalam hal ini, negara seolah tidak peduli dengan kesenjangan ekonomi dan sosial yang muncul akibat pengerukan SDA selam kepentingan pemilik modal tercapai atas nama investasi. Disintegrasi wilayah sepertinya sengaja dipelihara untuk memudahkan negara-negara penjajah terus mengesploitasi SDA, sehingga kedaulatan menjadi lemah. Konsep Otonomi Daerah ini jika berlangsung terus menerus maka tidak mungkin negara akan semakin terpecah belah dan kondisi tersebut adalah cita-cita neokolonialisme.

Ketika desentralisasi dan otonomi daerah melahirkan kerusakan dan kekacauan lantas apakah tepat jika menggunakan konsep sentralisasi wilayah? Beberapa pihak mengkhawatirkan konsep tersebut akan menjadikan Indonesia kembali pada masa orde baru yang otoritarian. Ketika konsep sentralisasi dibangun atas pola pikir manusia yang terbatas dan cara pandang yang salah maka otoritarian dan kediktatoran menjadi sebuah keniscayaan.

Islam yang tidak hanya sekadar agama, tetapi memiliki cara pandang yang berasal dari wahyu Allah SWT. pencipta alam semesta dan manusia memiliki konsep yang sempurna untuk menyelesaikan setiap permasalahan hidup manusia. Sistem tata kelola pemerintahan yang sentralisasi mampu menjawab tantangan zaman yang terbukti selama kurang lebih 1400 tahun menjadikan umat manusia hidup sejahtera dibawah naungan sistem kekhilafahan yang mencakup hampir 2/3 dunia. Konsep negara yang dibangun atas wahyu Allah SWT menjadikan ketakwaan individu dan pejabat pemerintah serta sistem sanksi yang paripurna menjadi benteng yang kokoh. 

Selain itu, sebagaimana penjelasan Syekh Taqiyuddin an-Nabhani rahimahullah di dalam kitab Nizhamu al-Iqtishadiyi fi al-Islam (Sistem Ekonomi Islam), bahwa kesejahteraan di dalam Khilafah tidak membuahkan kesenjangan, baik antarwarga maupun antarwilayah. Ini karena konsep kesejahteraan ekonomi Khilafah berprinsip pada tercapainya pemenuhan kebutuhan primer (sandang, pangan, dan papan) warga secara individu per individu (fardan fardan).

Sedangkan untuk wilayah-wilayah yang kaya SDA tidak lantas memiliki posisi eksklusif sebagai provinsi kaya sehingga berdampak pada terciptanya kesenjangan dengan provinsi lain yang “kurang kaya” serta memicu sengketa/perebutan wilayah di antara keduanya. Ini sebagaimana kisah Khalifah Umar bin Khaththab ra. saat terjadi musim paceklik di Madinah. Melihat situasi rakyatnya, Umar ra. menulis surat kepada para walinya di sejumlah wilayah untuk meminta pertolongan. Beliau menulis surat kepada ‘Amru bin al-Ash ra., wali beliau di Mesir. Surat serupa juga dikirimkannya kepada Muawiyah bin Abi Sufyan ra. di Damaskus, Abu Ubaidah bin Jarrah ra. di Palestina, juga kepada Saad bin Abi Waqqash ra. di Irak.

Dengan demikian, sistem Islamlahan yang mampu mewujudkan kesejahteraan rakyat secara keseluruhan. Sistem Islam itu adalah sistem Khilafah 'alaa minhaajin nubuwwah. 

Wallahu’alam bissawab




Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.

Posting Komentar

0 Komentar