Oleh: Ai Sopiah
Presiden RI Prabowo Subianto mengucapkan selamat datang kepada Presiden Prancis Emmanuel Macron dan delegasinya yang telah tiba di Indonesia. Prabowo menyebut kunjungan Macron dan delegasinya ini sebagai kehormatan besar.
Yang saya hormati, Presiden Emmanuel Macron, Presiden Republik Prancis bersama delegasi yang saya hormati. Pertama, selamat datang di Indonesia," ujar Prabowo di Istana, Jakarta, Rabu (28/5/2025). "Terima kasih atas kehormatan besar yang diberikan kepada kami dengan kunjungan Yang Mulia," sambungnya.
Prabowo menjelaskan, pada tahun ini, Prancis dan Indonesia memperingati 75 tahun hubungan diplomatik. Dia mengingatkan bahwa hubungan antara Indonesia dan Prancis berawal dari saling menghormati. "Dan lebih dari 1 dasawarsa kemitraan strategis, hubungan bilateral kita dilandasi oleh kerja sama politik yang kuat dan kokoh. Berakar pada saling menghormati dan prinsip-prinsip yang kita anut bersama, yaitu kedaulatan, kemerdekaan, menghormati hak-hak asasi manusia, dan demokrasi," jelas Prabowo. Prabowo menyampaikan, di tengah kemitraan Indonesia-Prancis yang terus berkembang, masih banyak potensi yang bisa digali.
Dia menekankan masih banyak peluang baru yang perlu mereka manfaatkan secara bersama. "Saya menyambut baik pertemuan hari ini karena keadaan geopolitik internasional dengan geoekonomi penuh dengan ketidakpastian. Prancis dan Indonesia dapat memberi sumbangan yang baik kepada stabilitas geopolitik dan geoekonomi," katanya.(Kompascom, 28/5/2025).
Jarang-jarang ada pemimpin Eropa sebesar Prancis yang mau bertandang ke Indonesia. Tidak heran jika glorifikasi di media massa pun sedemikian kuat, sekuat harapan pemerintah bahwa kunjungan yang dianggap fenomenal ini akan berefek positif jangka panjang.
Prancis sendiri diketahui merupakan salah satu negara adidaya setelah Amerika dan Inggris. Prancis dikenal punya pengaruh kuat di berbagai bidang strategis, seperti teknologi, pertahanan, dan energi terbarukan. Itulah yang kemudian digadang-gadang menjadi fokus kunjungannya ke Indonesia, yakni untuk membangun kerja sama dan kemitraan strategis pada bidang-bidang yang disebutkan, terutama pada aspek pertahanan.
Ada 26 perjanjian yang ditandatangani dan disebut-sebut menjadi tonggak sejarah baru bagi hubungan bilateral antarkedua negara. Kesepakatan itu meliputi kerja sama antarpemerintah (G-to-G), antarlembaga (P-to-P), kemitraan swasta (B-to-B), serta berupa kolaborasi antarbank sentral kedua negara.
Keseluruhan perjanjian tersebut ada yang ditandatangani secara langsung oleh Presiden Prabowo dan Presiden Macron, dan sebagian lagi ditandatangani oleh para pelaku usaha dalam Indonesia France Business Forum 2025 di Kantor Kementerian Perekonomian Jakarta, Rabu (28-5-2025).
Di antara kerja sama strategis G-to-G, misalnya terkait diplomasi dan peningkatan SDM, pertahanan dan perlindungan informasi rahasia, aspek pertahanan strategis, mineral kritis dan logam, ekonomi kreatif, kebudayaan, pertanian, kehutanan, kebencanaan, dan transportasi. Khusus untuk kebudayaan, disimbolkan dengan kunjungannya ke Borobudur.
Adapun kerja sama B-to-B meliputi kerja sama PT Danone untuk mendukung program MBG, lalu Danantara–INA–Eramet untuk proyek hilirisasi nikel dan mineral kritis untuk kendaraan listrik. PT RGE – TotalEnergies untuk pengembangan energi surya dan baterai dalam rangka transisi energi. Lalu PT Citra Bonang–Lesaffre terkait produksi ragi untuk ketahanan pangan. Serta PT SMI–PT PLN–HDF untuk pengembangan hidrogen hijau dan pembiayaan energi bersih, dll. Disebutkan ada 350 CEO yang terlibat dalam perjanjian ini.
Adapun kerja sama antarlembaga (P-to-P) antara lain berupa pengembangan ekosistem olahraga berkuda antara Pordasi dan sejumlah institusi Prancis, seperti IFCE, FFE, France Galop, dan AFASEC. Sementara terkait kolaborasi antar bank sentral, ditandai dengan penandatanganan kerja sama antara Bank Indonesia dan Banque de France dalam rangka mempererat hubungan di bidang moneter dan keuangan.
Semua rincian kesepakatan ini secara resmi didokumentasikan di laman resmi sekretariat negara. Di sana disebutkan bahwa dokumen ini menegaskan kedekatan serta komitmen Indonesia dan Prancis dalam memperkuat kemitraan strategis yang inklusif, inovatif, dan berorientasi masa depan. Maklum selama ini, Prancis merupakan mitra utama Indonesia di bidang ekonomi. Pada 2023 saja, realisasi investasi Prancis di Indonesia mencapai 302,8 juta dollar AS, dengan 2.064 proyek.
Tampak ada harapan besar bahwa kerja sama senilai 11 miliar dolar AS ini akan berdampak positif bagi kemajuan Indonesia di tengah ketakpastian global. Indonesia sedang berusaha mempercepat pertumbuhan ekonomi hingga 8% untuk mewujudkan visi Indonesia Emas pada 2045 mendatang. Masalahnya, benarkah demikian?
Menilik poin-poin kesepakatan yang berhasil dicapai oleh kedua negara, terlihat bahwa pihak Prancis jauh lebih diuntungkan, baik secara politik, ekonomi, militer, maupun budaya. Maklum, meski hubungan kedua negara dibalut dalam terminologi “kerja sama” atau “kemitraan strategis”, tetapi secara politik, posisi Indonesia dengan Prancis sejatinya memang tidak setara.
Dalam kitab Mafahim Siyasi Hizb ut-Tahrir digambarkan bahwa Prancis sendiri adalah salah satu negara adidaya di dunia. Meski tidak menempati posisi sebagai negara pertama sebagaimana halnya Amerika, tetapi Prancis merupakan negara kapitalis yang politiknya memiliki karakter imperialis. Oleh karenanya, setiap kebijakan politik luar negerinya tidak mungkin keluar dari visi penjajahan ini.
Pada bidang ekonomi, Prancis pun pandai menyasar sektor-sektor ekonomi strategis dan menancapkan pengaruhnya atas nama investasi dan bantuan pembangunan. Selain melihat Indonesia punya potensi sebagai ceruk pasar superbesar, Prancis pun rupanya tengah berusaha untuk menjadi kekuatan penyeimbang terhadap dominasi Tiongkok dalam berbagai megaproyek di Asia Tenggara, khususnya dalam konteks Belt and Road Initiative (BRI).
Terkait hal ini Prancis pun rupanya paham bahwa kondisi ekonomi Indonesia memang sedang tidak baik-baik saja. Sektor keuangan negara sedang mengalami beban berat akibat berbagai kebijakan populis pemerintah yang menyedot anggaran superbesar, termasuk proyek-proyek infrastruktur yang mandek karena soal pendanaan. Wajar jika kedatangannya dengan membawa berbagai tawaran “kerja sama” dan bantuan benar-benar disambut euforia. Lalu diglorifikasi sebagai keberhasilan diplomasi pemerintah kepada negara besar berdasar prinsip kesetaraan.
Adapun di bidang kebudayaan, Prancis pun tampaknya menang besar. Atas nama kerja sama bidang budaya, Prancis berhasil menutup citranya sebagai negara yang “istikamah mendukung islamofobia”, beserta jejak sejarahnya sebagai negara imperialis pendukung berat Zion*s yang hari ini melakukan pembantaian sistematis warga muslim Gaza. Warga Muslim Indonesia benar-benar dibuat lupa bahwa agamanya menyuruh bersikap keras kepada mereka yang memerangi karena agama.
Sikap pemerintah Indonesia demikian memang mudah dipahami jika mengingat ideologi Islam selama ini tidak dijadikan sebagai landasan. Para pemimpin negeri ini terus bersikukuh menjadikan paham sekularisme liberalisme sebagai landasan bernegara dan menerapkan sistem demokrasi kapitalisme dalam mengatur seluruh urusan rakyat. Padahal, sejatinya itu semua merupakan perangkap negara-negara besar untuk mempermudah jalan penjajahan secara nonmiliter atau nonfisik.
Oleh karenanya, sepanjang negeri ini tegak di atas paham batil sekularisme liberalisme dan menegakkan sistem kapitalisme yang terbukti sangat destruktif, sampai kapan pun negeri ini akan terus terposisi sebagai negara objek yang siap dieksploitasi oleh kepentingan negara-negara besar yang terposisi negara kapitalis subjek. Para pemimpin negeri ini pun akan terus dibodoh-bodohi sehingga hanya dengan iming-iming investasi dan bantuan, serta dukungan atas kekuasaan mereka tidak malu bertindak seperti pecundang.
Situasi ini sangat berbeda ketika kaum muslim memiliki kekuatan politik berlandaskan ideologi Islam. Kekuatan politik ini dikenal dengan nama Khilafah yang merupakan kepemimpinan umum bagi seluruh kaum muslimin untuk menegakkan hukum-hukum syariat Islam dan mengemban dakwah Islam ke seluruh penjuru dunia.
Syariat inilah yang telah berhasil menyatukan seluruh kaum muslim di bawah persatuan hakiki bernama ukhuah islamiah. Dengan hukum-hukum syariat pula, Khilafah mampu mewujudkan kesejahteraan, sehingga sepanjang belasan abad peradaban Khilafah mampu tampil sebagai mercusuar di tengah dunia yang dilingkupi kegelapan.
Khilafah adalah negara dengan visi global yang politik luar negerinya dibangun atas paradigma penyebarluasan risalah Islam sebagai rahmat bagi seluruh alam. Oleh karenanya, Khilafah tampil sebagai negara yang sangat kuat, mandiri, visioner, dan berdaulat, bahkan menjadi negara adidaya dan pertama yang disegani kawan dan ditakuti oleh lawan.
Khilafah juga memiliki kebijakan polugri yang khas, bebas dari intervensi pihak mana pun. Khilafah memetakan negeri selainnya sebagai negeri kufur (dar kufur) dan membedakan dengan siapa boleh bekerja sama (dar muahid), dan mana yang harus dipandang sebagai negara kufur yang pantas diperangi (dar kufur muhariban), baik secara de jure (hukman), maupun secara de facto (fi’lan).
Negara seperti Amerika, Inggris, dan Prancis, nyata-nyata ada dalam posisi sebagai negara kufur muhariban fi’lan karena langsung atau tidak langsung mereka telah memerangi kaum muslim. Salah satunya dengan secara terang-terangan membantu pembantaian muslim Gaza oleh entitas Zion*s. Itulah sebabnya, dalam konteks Khilafah, tidak mungkin dibangun adanya kerja sama, apalagi menjalin hubungan mesra, karena itu berarti melakukan pengkhianatan kepada Allah, Rasul-Nya, dan kaum muslim khususnya yang sedang tertindas.
Pemimpin umat Islam tidak mungkin mau berjabat tangan dengan pemimpin yang tangannya berlumuran darah umat Islam. Mereka justru akan terdepan membela umat Islam yang diperangi karena agama, yakni dengan cara mengerahkan tentara dan senjata hingga kemuliaan kembali ke tangan umat Islam.
Khilafah adalah sistem pemerintahan warisan Rasulullah Saw. yang telah terbukti berhasil memuliakan Islam dan umatnya dalam rentang waktu yang sangat panjang. Justru ketika umat Islam meninggalkannya, kehinaan demi kehinaan terus mendera mereka. Predikat khairu ummah yang Allah berikan hanya tinggal kenangan. Bahkan yang menyedihkan, sebagian umat Islam justru termakan propaganda musuh yang menyebutkan Khilafah sebagai sistem buruk yang layak dimusuhi dan dicampakkan.
Namun demikian, roda sejarah terus berputar. Kebobrokan, kezaliman, dan ketakadilan yang ditimbulkan sistem hari ini nyatanya tidak bisa ditutup-tutupi lagi. Alhasil, dakwah Khilafah dan Islam Kaffah di tengah umat pun makin disadari akan kewajiban dan relevansinya. Sekalipun banyak hambatan yang mengadang, dipastikan ujung dari dakwah ini adalah kemenangan.
Supaya kita tidak berada dibawah jajahan entitas barat. Mari saatnya kita berjuang bersama untuk untuk mengkaji dan mengganti sistem kapitalisme sekulerisme dengan sistem Islam Kaffah yang sudah Allah berikan.
Wallahua'lam bishshawab.
Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.
0 Komentar