Oleh : Wulan Safariyah (Aktivis Dakwah)
Jalan poros Samarinda-Balikpapan nyaris putus. Tepatnya di ruas Km 28 Desa Batuah, Kecamatan Loa Janan, Kabupaten Kutai Kartanegara. Jalan ini mengalami penurunan tanah sejak beberapa pekan terakhir dan semakin parah memasuki Mei ini. Jalan yang nyaris putus ini membuat kendaran umum maupun truk yang lewat kesulitan. Bahkan terjadi kemacetan hingga dini hari karena banyaknya truk bermuatan yang melalui jalur ini.
“Untuk sementara pengendara yang ingin menuju ke Balikpapan atau sebaliknya, maupun ke Sangasanga sebaiknya melewati tol Balikpapan-Samarinda,” ucap suara di sebuah video kondisi jalan yang viral. (kaltimpost.jawapost.com)
Selain jalan, longsor juga menyebabkan puluhan rumah amblas dan warga yang terdampak sebagian masih tinggal di tenda. Sebagaimana penjelasan Hasna ketua RT 25, Dusun Tani Jaya, Desa Batuah. "Awalnya hanya enam rumah, sekarang sudah 15 rumah dari total 57 rumah di RT 25," terang Hasna. Beberapa rumah yang ambles juga sudah tak dihuni lagi. Di samping itu, Masjid Hidayatullah di RT tersebut juga mulai ambles. Dikutip dari (kaltimkece.id)
Wacana bantuan dari pemerintah berupa rumah hunian yang bersifat pinjam atau berbayar telah muncul, namun masih belum jelas implementasinya. Kepada warga, Pemkab Kutai Kartanegara menjanjikan relokasi. Warga akan dibangunkan rumah tipe 36 atau 45 yang disesuaikan dengan luas rumah sebelumnya."Tapi, dalam pertemuan tersebut, disebutkan bahwa statusnya hanya pinjam pakai," menurut keterangan warga.
Kepada kaltimkece.id, Kepala Desa Batuah, Abdul Rasid, menjelaskan, ada kesalah pahaman mengenai skema relokasi dari Pemkab Kukar. Rasid menyebutkan, ada dua skema yang ditawarkan. Pertama, pemerintah mencarikan lahan kosong di tanah milik negara. Rumah warga akan dibangun di atas lahan tersebut sesuai kesepakatan. "Ukurannya juga beragam, bukan hanya tipe 36 tapi ada tipe 45 bergantung rumah warga yang terdampak," sebutnya. Skema ini disebut berstatus pinjam pakai karena rumah didirikan di atas tanah negara. Skema kedua, warga bisa mencari lokasi di luar tanah negara. Di atas tanah tersebut nantinya didirikan rumah yang dapat sepenuhnya dimiliki warga. Hanya biaya tanah yang dibebankan kepada warga.
Salah satu warga, mengatakan pihaknya menduga kejadian ini diakibatkan aktivitas tambang dan pengeboran sumur air yang ada di sekitar wilayah tersebut. "Getaran mesin dari aktivitas tambang itu dampaknya sangat memengaruhi kestabilan tanah," kata Ipul, Jumat (23/5/2025). (seputarfakta.com)
Kepala desa menjelaskan, banyak dugaan penyebab tanah bergerak di kawasan tersebut. Pemerintah desa tidak ingin berspekulasi. Ia berinisiatif meminta bantuan kepada Pemkab Kukar melalui instansi terkait untuk meneliti penyebab tersebut. Namun, upaya tersebut menemui jalan buntu. Menurut penjelasan yang ia dengar, dana kebencanaan sudah menipis karena dipakai buat menangani sejumlah bencana alam di berbagai tempat di Kukar. Padahal, berdasarkan keterangan tim geofisika dari Universitas Mulawarman, Samarinda, penelitian memerlukan alat khusus yang memerlukan biaya operasional yang cukup besar.
Rasid mengatakan, penyebab pergerakan tanah harus diketahui dengan jelas berdasarkan uji ilmiah. Dengan begitu, pemerintah desa bisa meminta ganti rugi semisal longsor benar-benar disebabkan aktivitas perusahaan tambang yang beroperasi di wilayah tersebut. (kaltimkece.id)
Perlu Perhatian Serius dari Pemerintah
Jalan poros yang nyaris putus tentunya memerlukan perhatian serius dari pemerintah. Sebab, kondisi jalan yang rusak parah dapat mengganggu aktivitas masyarakat dan mengancam keselamatan. Perpbaikan jalan poros yang hampir putus harus menjadi prioritas utama, jangan sampai dibiarkan lama tanpa diurus. Negara harus betul-betul memastikan warga terdampak dan pengguna jalan aman.
Selain itu, penyebab longsor yang berakibat putusnya jalan dan amblasnya rumah warga harus segera diteliti apakah karena faktor alamiah atau akibat ulah manusia. Karena, kita tidak bisa menampik bahwa salah satu penyebab tanah longsor adalah kerusakan lingkungan. Jika kerusakan lingkungan terjadi akibat ulah manusia, tidak pelak hujan yang semestinya menjadi rahmat justru berubah menjadi bencana. Selain itu, proses alih fungsi lahan yang bersamaan dengan pembangunan ugal-ugalan tetapi abai terhadap AMDAL, juga berpeluang besar menyebabkan tanah longsor.
Negara harus memberikan perhatian serius, jangan sampai sembunyi tangan tanpa pertanggungjawaban. Hasil penelitian sementara harus segera ditangani di lapangan jangan sampai kondisi semakin parah. Negara seharusnya tidak hitung-hitungan terhadap rakyat, jalankan amanah bukan sekedar pencitraan.
Penyebab Tata Kelola Alam Menjadi Mafsadat
Sistem kapitalisme sekuler membuat tata kelola alam menjadi mafsadat (rusak). Para kapitalis melakukan segala cara demi memuluskan bisnisnya dan meraup cuan sebanyak mungkin. Mereka tidak pernah merasa cukup dengan keuntungan yang sudah diperoleh, lantas melakukan penggundulan hutan dan alih fungsi lahan demi keuntungan yang lebih besar. Mereka tidak peduli dampaknya pada masyarakat dan lingkungan, yang penting mereka mendapatkan untung besar. Mereka terus melakukan pembabatan hutan hingga mencakup area yang sangat luas.
Sistem kapitalisme menjunjung tinggi prinsip kebebasan. Salah satunya adalah Kebebasan kepemilikan, yang meliputi kepemilikan terhadap lahan milik umum, misalnya hutan. Kebebasan ini mengakibatkan individu/perusahaan dapat menguasai hutan, membabatnya, dan melakukan alih fungsi lahan untuk kepentingan bisnis, misalnya untuk tambang, perkebunan, pariwisata, permukiman, industri, perdagangan, dan lain-lain meski merugikan dan membahayakan masyarakat.
Inilah realitas sistem kapitalisme yang rusak dan merusak. Kapitalisme rusak karena asasnya, yaitu sekularisme, memang melepaskan diri dari agama, padahal agama (Islam) adalah petunjuk bagi manusia. Penerapan sistem kapitalisme telah merusak kehidupan manusia dan lingkungannya sehingga mendatangkan bencana. Maha Benar Allah Taala dengan firman-Nya, “Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan perbuatan tangan manusia. (Melalui hal itu) Allah membuat mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (QS Ar-Rum: 41). Kerusakan ini tidak akan terjadi jika kita menerapkan sistem Islam (Khilafah).
Untuk itu, solusinya tidak lain adalah dengan kembali kepada aturan Allah sebagai pedoman dalam kehidupan, termasuk dalam pengambilan berbagai kebijakan politik oleh penguasa. Semua itu semestinya tecermin dari pembangunan dan pengelolaan bumi yang tidak melulu demi reputasi, alih-alih kapitalisasi dan angka-angka semu pertumbuhan ekonomi.
Tata Kelola Alam di dalam Islam
Tata kelola alam dan lahan dalam Islam akan diatur sesuai syariat sehingga berbuah maslahat. Sistem ekonomi Islam mengatur jenis kepemilikan dan pengelolaannya. Ada tiga jenis kepemilikan, yaitu kepemilikan individu, umum, dan negara. Individu tidak boleh memiliki kekayaan alam yang terkategori milik umum. Kepemilikan umum harus dikelola oleh negara untuk kemakmuran rakyat.
Syekh Abdul Qadim Zallum rahimahullah dalam kitabp Al-Amwal fi Daulah al-Khilafah (Sistem Keuangan Negara Khilafah) hlm. 83 menjelaskan, harta milik umum adalah harta yang telah ditetapkan kepemilikannya oleh Asy-Syari’ (Allah dan Rasul-Nya) bagi kaum muslim dan menjadikan harta tersebut sebagai milik bersama kaum muslim. Individu-individu dibolehkan mengambil manfaat dari harta tersebut, tetapi mereka dilarang untuk memilikinya secara pribadi. Barang tambang (sumber alam) yang jumlahnya tidak terbatas termasuk salah satu harta milik umum yang tidak boleh dikelola oleh individu/perusahaan.
Pada dasarnya hujan adalah rahmat yang membawa keberkahan bukan bencana. Allah Taala berfirman, “Dialah yang mendatangkan angin sebagai kabar gembira yang mendahului kedatangan rahmat-Nya (hujan) sehingga apabila (angin itu) telah memikul awan yang berat, Kami halau ia ke suatu negeri yang mati (tandus), lalu Kami turunkan hujan di daerah itu. Kemudian Kami tumbuhkan dengan hujan itu berbagai macam buah-buahan.” (QS Al-A’raf [7]: 57).
Sedemikian teliti Allah menggambarkan proses terjadinya hujan. Kita pun dianjurkan membaca doa “allahumma shayyiban naafi’aa” saat turun hujan agar hujan tersebut menjadi hujan yang bermanfaat.
Jika terjadi bencana akibat faktor alamiah maupun ulah tangan manusia, maka negara khilafah memiliki tanggung jawab untuk mencegah terjadinya bencana dan menangani bencana. Pada kasus tanah longsor yang disebabkan curah hujan yang tinggi, gundulnya dataran tinggi, serta tersumbatnya aliran air dari atas, maka sebelum terjadinya bencana Khilafah akan menempuh upaya-upaya sebagai berikut:
Memastikan terserapnya air, baik yang langsung diserap oleh tanah, maupun dialirkan ke bawah. Selain menjaga daerah tersebut tetap subur dengan pepohonan, dan tanaman sehingga akarnya bisa memperkuat konstruksi tanah, juga serapan dan aliran air dari atas ke bawah dipastikan tidak mengalami sumbatan. Karena itu, Khilafah bisa membangun saluran air dari atas ke bawah, sehingga bisa mengurasi debit air yang tidak mampu ditampung oleh tanah, ketika curah hujan sangat tinggi.
Membangun pondasi di lereng-lereng dataran tinggi sebagai tanggul penahan, dengan disertai saluran pori-pori air yang memadai, agar bisa berfungsi menahan tanah yang berada di dataran tinggi tidak longsor ke bawah. Aliran air yang meluncur dari atas bisa dibuatkan penampungan raksasa, semacam waduk, yang bisa digunakan untuk berbagai kepentingan. Bisa untuk supplay air ketika musim kering, atau untuk pembangkit listrik, dan sebagainya.
Sebagai contoh, pada tahun 370 H/960 M, ‘Adlud al-Daulah seorang amir dari dinasti Buwayhi (Buyid) membuat bendungan hidrolik raksasa di sungai Kur, Iran. Insinyur- insinyur yang bekerja saat itu, menutup sungai antara Shiraz dan Istakhir, dengan tembok besar (bendungan) sehingga membentuk waduk raksasa. Di kedua sisi danau itu dibangun 10 noria (mesin kincir yang di sisinya terdapat timba yang bisa menaikkan air). Setiap noria terdapat sebuah penggilingan. Dari bendungan itu air dialirkan melalui kanal-kanal dan mengairi 300 desa. Di daerah sekitar 100 km dari kota Qayrawan, Tunisia, dibangun dua waduk yang menampung air dari wadi Mari al-Lil. Waduk kecil difungsikan sebagai tangki penunjang serta tempat pengendapan lumpur. Sedangkan waduk besar memiliki 48 sisi dengan beton penyangga bulat di setiap sudutnya berdiameter dalam 130 meter, kedalaman 8 meter.
Khilafah akan memetakan daerah-daerah rendah yang rawan terkena tanah longsor (akibat kapasitas serapan tanah yang minim dan lain-lain), dan selanjutnya membuat kebijakan melarang masyarakat membangun pemukiman di wilayah-wilayah tersebut; atau jika ada pendanaan yang cukup, Khilafah akan membangun kanal-kanal baru atau resapan agar air yang mengalir di daerah tersebut bisa dialihkan alirannya, atau bisa diserap oleh tanah secara maksimal. Dengan cara ini, maka daerah-daerah dataran rendah bisa terhindar dari tanak longsor.
Jika sebelumnya di daerah-daerah tersebut digunakan sebagai pemukiman, maka Khilafah akan merelokasi pemukiman warga di daerah tersebut ke daerah lain dengan memberikan ganti rugi atau kompensasi kepada mereka. Berupa tanah dan rumah yang memadai untuk kehidupan mereka.
Di daerah-daerah seperti ini, Khilafah akan mendirikan pos pemantau, yang melibatkan BMKG, sehingga bisa memberikan laporan diri akan terjadinya pergerakan tanah, sebelum terjadinya longsor. Khilafah juga akan membangun early warning (peringatan dini), agar bisa sesegera mungkin melakukan tindakan cepat dan darurat, khususnya bagi warga yang mungkin bisa terkena dampak, jika musibah tanah longsor ini terjadi.
Tidak kalah pentingnya adalah edukasi kepada masyarakat, baik yang terkait dengan potensi bencana, bagaimana cara menyelamatkan diri, juga bagaimana menyikapi bencana dengan benar. Edukasi ini sangat membantu, bukan hanya negara, tetapi juga masyarakat.
Pasca bencana, Khilafah akan menangani korban bencana dengan bertindak cepat, melibatkan seluruh warga yang dekat dengan daerah bencana. Khilafah menyediakan tenda, makanan, pakaian, dan pengobatan yang layak agar korban merasa nyaman, tidak kekurangan makanan, atau tempat istirahat yang tidak memadai.
Dalam pembangunan pemukiman baru bagi warga, Khilafah membuat kebijakan bahwa pembukaan pemukiman baru harus membuat variabel-variabel drainase. Penyediaan daerah serapan air, serta penggunaan tanah berdasarkan karakteristik tanah dan topografinya. Hal ini bertujuan mencegah kemungkinan terjadinya pergeseran tanah.
Untuk pembangunan jalan umum yang terputus akibat longsor khilafah akan segera melakukan perbaikan dengan perencanaan yang matang, membuat desain drainase yang efektif, membangun pondasi di lereng-lereng dataran tinggi sebagai tanggul penahan, dengan disertai saluran pori-pori air yang memadai, menyiapkan daerah resapan air, menanam pepohonan hijau dll, untuk mencegah terjadinya longsor dan kerusakan jalan di masa depan.
Khilafah menetapkan daerah-daerah tertentu sebagai daerah cagar alam yang harus dilindungi. Khilafah juga menetapkan kawasan hutan lindung, dan buffer zone yang tidak boleh dimanfaatkan kecuali dengan izin. Khilafah menetapkan sanksi tegas bagi siapa saja yang merusak lingkungan hidup tanpa pernah pandang bulu. Khilafah terus menerus menyosialisasikan pentingnya menjaga lingkungan, serta kewajiban memelihara hutan dan resapan dari kerusakan tangan manusia.
Teladan Rasulullah atau Khalifah dalam mengurus rakyatnya ketika bencana melanda, Mencontohkan bahwa seorang pemimpin bertanggung jawab atas segala urusan rakyatnya. "Imam (Khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya” (HR al-Bukhari)
Dalam Islam, negara adalah raa’in (pengurus) rakyat yang bertanggung jawab tehadap nasib rakyat, termasuk saat terjadi bencana. Khilafah akan secara sungguh-sungguh melakukan mitigasi secara disiplin sehingga bisa meminimalkan risiko akibat bencana banjir. Khilafah akan mengerahkan segala sumber daya yang ada demi segera terselesaikannya bencana, meski untuk itu butuh biaya yang besar.
Negara Khilafah akan menjamin ketersediaan dana dalam menanggulangi bencana banjir. Negara tidak akan melimpahkan tanggung jawabnya pada swadaya masyarakat. Berapa pun dana yang dibutuhkan, negara akan memenuhinya. Hal ini mudah dilakukan karena Khilafah memiliki sumber pemasukan yang beragam, bukan didominasi oleh utang dan pajak sebagaimana terjadi saat ini.
Di dalam baitulmal Khilafah terdapat pos khusus untuk keperluan bencana alam. Syekh Abdul Qadim Zallum menjelaskan di dalam kitab Al-Amwal fi Daulah al-Khilafah bahwa pada bagian belanja negara terdapat Seksi Urusan Darurat/Bencana Alam (Ath-Thawaari). Seksi ini memberikan bantuan kepada kaum muslim atas setiap kondisi darurat/bencana yang menimpa mereka.
Biaya yang dikeluarkan oleh seksi ini diperoleh dari pendapatan fai dan kharaj serta dari harta kepemilikan umum. Apabila tidak mencukupi, kebutuhannya dibiayai dari harta kaum muslim secara sukarela.
Rakyat tidak perlu khawatir, ketersediaan dana untuk bencana akan terwujud karena dalam Islam tidak ada model APBN seperti dalam sistem hari ini yang bersifat tahunan sehingga kerap kali dana yang ada tidak mencukupi.
Dalam Khilafah, jika ada kebutuhan dana untuk kepentingan rakyat, negara akan menyediakan secara langsung dari berbagai pos penerimaan yang ada. Demikianlah keunggulan sistem Islam dalam menanggulangi bencana. Penanganan akan dilakukan secara serius dan pasti.
Wallahu'alam bissawab.
Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.
0 Komentar