Oleh: Ai Sopiah
Dalam waktu dekat ini viral sebuah video tentang kondisi sejumlah pulau di kepulauan Raja Ampat yang menjadi lokasi tambang nikel. Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) menemukan banyaknya pelanggaran serius di Raja Ampat terkait aktivitas pertambangan nikel di wilayah Raja Ampat. Di wilayah yang terkenal akan keindahan pariwisatanya itu, terdapat empat perusahaan tambang nikel yang menjadi objek pengawasan KLH. Keempat perusahaan itu yakni PT Gag Nikel, PT Kawei Sejahtera Mining, PT Anugerah Surya Pratama, dan PT Mulia Raymond Perkasa.
"Hasil pengawasan menunjukkan berbagai pelanggaran serius terhadap peraturan lingkungan hidup dan tata kelola pulau kecil," kata Menteri Lingkungan Hidup, Hanif Faisol Nurofiq, dalam keterangan yang diterima Tirto, Jumat (6/6/2025).
Hanif mengungkapkan, dari keempat perusahaan tambang itu sendiri, hanya PT Mulia Raymond Perkasa yang tidak memiliki izin usaha pertambangan (IUP).
"PT Mulia Raymond Perkasa ditemukan tidak memiliki dokumen lingkungan dan PPKH dalam aktivitasnya di Pulau Batang Pele. Seluruh kegiatan eksplorasi dihentikan," ucap Hanif.
Dijelaskan Hanif, untuk PT Kawei Sejahtera Mining terbukti membuka tambang di luar izin lingkungan dan di luar kawasan PPKH. Total luas area yang digunakan sebagai lokasi penambangan mencapai 5 hektare di Pulau Kawe.
Sementara PT Anugerah Surya Pratama melakukan kegiatan pertambangan di Pulau Manuran seluas ±746 hektare tanpa sistem manajemen lingkungan dan tanpa pengelolaan air limbah larian. Di lokasi ini, pihak kementerian pun telah memasang plang peringatan sebagai bentuk penghentian aktivitas.
Untuk PT Gag Nikel, kata Hanif, perusahaan ini beroperasi di Pulau Gag dengan luas ±6.030,53 hektare yang tergolong pulau kecil. Sehingga aktivitas pertambangan di dalamnya bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
"Penambangan di pulau kecil adalah bentuk pengingkaran terhadap prinsip keadilan antargenerasi. KLH/BPLH tidak akan ragu mencabut izin jika terbukti merusak ekosistem yang tak tergantikan,” ujar Hanif.
KLH, kata Hanif, tengah mengevaluasi Persetujuan Lingkungan yang dimiliki PT ASP dan PT GN. Jika terbukti bertentangan dengan ketentuan hukum yang berlaku, izin lingkungan mereka akan dicabut.
Dia menegaskan, prinsip kehati-hatian dan keberlanjutan akan menjadi dasar penindakan terhadap pelanggaran ini.
Di sisi lain, Menteri ESDM Bahlil Lahadalia mengungkap, dirinya akan langsung menuju ke lokasi untuk melakukan pengecekan. Dia juga akan mengecek sejumlah lokasi untuk memastikan dampak terhadap kondisi sekitar. (tirto id, 7/6/2025).
Yang mana Raja Ampat sebagai keindahan alam yang sudah Allah berikan untuk dijaga, bukan untuk dimiliki segelintir individu saja. Jika kita mencermati semua itu, ambisi pemerintah terkait tambang nikel jelas makin besar. Bahkan semua itu harus dibayar dengan eksploitasi SDA secara ugal-ugalan. Larangan ekspor bijih nikel yang katanya menjadi angin segar bagi kedaulatan ekonomi nasional, ternyata merusak lingkungan dan mengorbankan masyarakat lokal.
Setelah semua yang terjadi itu kita harus membuka mata bahwa sistem kapitalisme yang mereka puja memang nyata sistem yang rusak dan merusak. Dampak dari kapitalisme adalah sistemis, tidak menimpa satu, dua, atau sekelompok orang saja. Namun, tiap hari para penguasa kapitalis senantiasa menjadi penikmat cuan kapitalisasi, padahal tambang itu sejatinya aset milik rakyat.
Kita harus sadar, kapitalisme meniscayakan segelintir orang yang mendapatkan keuntungan, tetapi masyarakat satu negeri yang tertimpa kemalangan jangka panjang. Kapitalisme memandulkan peran penguasa/pemerintah sebagai pengurus urusan rakyatnya. Penguasa kapitalis akan selalu memihak kepada para pemilik modal, serta membela kepentingan mereka.
Negara pun hanya berperan sebagai fasilitator untuk memberi ruang pengelolaan SDA pada individu/perusahaan yang dilegalkan UU. Rakyat dibiarkan bagai barang terbengkalai, sedangkan nasibnya hanya digantungkan pada kucuran bansos dan program-program receh. Pada akhirnya pengusaha sejahtera, tetapi rakyat sengsara.
Sungguh, hutan terbesar di Indonesia yang masih tersisa hanya ada di Papua. Mungkin rakyat Papua tidak menyumbang uang dalam jumlah besar untuk negara, tetapi hutan mereka memberi sesuatu yang jauh lebih penting, yaitu oksigen. Kita tentu bisa membayangkan jika hutan itu dibabat secara ugal-ugalan demi eksploitasi tambang, kerusakan alam sungguh niscaya, bahkan bisa mengancam ketersediaan oksigen. Oleh sebab itu, penguasa semestinya bijak mengelola aset rakyat.
Jika kita mencermati kasus Raja Ampat ini, ternyata tidak hanya nikel yang dieksploitasi, tetapi juga pulau-pulau di sana. Ruang hidup warga lokal jadi terampas. Padahal, keberadaan nikel sebagai SDA tambang maupun pulau-pulau tersebut sejatinya adalah harta kepemilikan umum yang hasilnya harus dikembalikan kepada masyarakat luas.
Semua gambaran ini sangat berbeda dengan penguasa di dalam sistem Islam dan di bawah naungan negara Islam (Khilafah). Di dalam Islam, posisi penguasa adalah sebagai raa’in (pengurus) terhadap urusan rakyatnya. Sebagaimana sabda Nabi Saw:
فَاْلإِمَامُ الَّذِيْ عَلَى النَّاسِ رَاعٍ وَ هُوَ مَسْئُوْلٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
Pemimpin (kepala negara) adalah pengurus rakyat dan dia bertanggung jawab atas rakyat yang dia urus (HR. Al-Bukhari).
Dengan ini, kasus Raja Ampat terkait erat dengan penjelasan Syekh Abdul Qadim Zallum rahimahullah di dalam kitab Al-Amwalu fi Daulati al-Khilafati, bahwa laut, sungai, danau, teluk, pulau, selat, kanal, lapangan umum, dan masjid-masjid adalah milik umum bagi tiap anggota masyarakat. Harta kepemilikan umum ini menurut asal pembentukannya menghalangi seseorang untuk memilikinya. Rasulullah Saw. bersabda, “Mina milik orang-orang yang lebih dahulu sampai.” (HR. Abu Daud).
Untuk itu kepemilikannya tidak boleh diserahkan kepada individu/swasta karena seseorang tidak boleh memiliki sesuatu secara khusus yang merupakan bagian dari kepemilikan umum. Rasulullah Saw. bersabda, “Tidak ada penguasaan (atas harta milik umum) kecuali bagi Allah dan Rasul-Nya.” (HR. Abu Daud).
Terkait dengan tambang nikel di Raja Ampat, yang diketahui baru di empat pulau menunjukkan bahwa keberadaannya melimpah. Status tambang yang demikian ini sudah jelas bahwa tambang tersebut adalah harta kepemilikan umum, tidak boleh dimiliki oleh pihak-pihak tertentu saja. Jadi, keberadaannya harus dibiarkan sebagai milik umum bagi seluruh kaum muslim, dan mereka berserikat atas harta tersebut. Rasulullah Saw. bersabda, “Kaum muslim itu berserikat dalam tiga hal, yaitu air, padang rumput, dan api.” (HR. Abu Daud).
Selanjutnya, negaralah yang wajib menggalinya, memisahkannya dari benda-benda lain, meleburnya, menjualnya atas nama kaum muslim, dan menyimpan hasil penjualannya di baitulmal kaum muslim. Dalam hal ini tidak ada perbedaan antara barang tambang terbuka (terdapat di permukaan bumi) dan yang ada di dalam perut bumi. Khilafah akan membiayai berbagai kebutuhan masyarakat dengan pemasukan baitulmal dari hasil pengelolaan harta kepemilikan umum ini.
Demikianlah gambaran kebijakan Khilafah dalam rangka mengelola tambang sebagai bagian dari aset rakyat/milik umum. Konsep eksplorasi SDA berdasarkan dalil-dalil syara mustahil terjadi di dalam sistem kapitalisme, melainkan Khilafah sebagai sistem pelaksana syariat Islam Kaffah. Perlunya kita hidup berlandaskan aturan yang telah Allah berikan, kita tidak bisa diam, maka dari itu mari kita mengkaji Islam secara Kaffah dan berjuang untuk mengganti sistem kufur kapitalisme dengan sistem Islam.
Wallahua'lam bishshawab.
Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.
0 Komentar